Menjelang 19

Gue sekarang masih 18, esok hari udah masuk 19, deh. Ahh, ulang tahun ya, tambah umur dong—hmm, sayangnya di keluarga gue nggak kenal istilah ulang tahun. Dalam kebiasaan, kan, ada istilah make a wish saat ulang tahun, minta pada Tuhan tentang sesuatu harapan.

Terus apa, ya, yang mesti gue harepin buat hari lahir besok? Jadi Boss? Jadi Penulis Buku-buku Best Seller? Bikin lirik-lirik yang akhirnya bisa masuk label? Jadi Pemimpi terus? Jadi Copywriter? Jadi Penyiar di radio (yang lebih) komersil? Jadi bapak yang baik—ehemm, yang ini jangan dulu deh, ntar aja menjelang 25? Atau apa?

Gue akui, sejak dulu, ritual membuat a wish seolah jadi keharusan. Meskipun tidak banyak, namun setiap orang selalu berusaha menyempatkan diri menyusun daftar beberapa keinginan yang berebut untuk diwujudkan ketika usia berjalan—termasuk gue. Meski terkadang hal itu menjadi mimpi yang senantiasa menggelayut bagai asa kosong.

Namun, siapa bilang mimpi adalah asa kosong bagai para pemurung yang menghabiskan waktu di dunia sempitnya? Sebab mimpilah yang membuat dunia berubah, mimpilah yang telah menunjukkan keperkasaan para pelaut untuk bisa menaklukkan ombak besar dan menciptakan peradaban baru yang mengukir wajah dunia seperti sekarang ini. Mimpilah yang membuat perubahan dalam suatu peradaban. Mimpi jualah yang membuat ribuan maha karya seni tercipta dan menjadi inspirasi banyak orang untuk bisa mengekpresikan perasaan.

Menjelang 19 ini, seharusnya bikin gue sedikit bisa untuk mengevaluasi; apakah keinginan-keinginan yang lalu itu cuma sebatas keinginan atau bahkan formalitas untuk mengisi ritual ketika hari lahir? Maka, menyongsong 19 kali ini, sebisa mungkin agar gue tak membiarkan keinginan hanya sebagai suatu formalitas dan pelengkap ritual hari lahir belaka.

Terus terang nih, terkadang gue masih kebawa senengnya main-main, gonta-ganti suasana, males akan sesuatu yang sama setiap hari. Uuuhhh miss my past.

Dalam otak gue saat ini cuman ada gambaran halus keinginan, masih sangat abstrak. Belum pada nyambung satu sama lainnya. Sesuatu yang indah sih, cuman emang gak jelas! Hahah… Untuk itu, kata orang-orang di sekeliling gue, gue tuh harus B E R U B A H!!

Nah, yang jadi masalah adalah terkadang gue terlalu sok bisa berubah, menganggapnya mudah, kagak mau lewatin proses dulu, itu yang bikin kacau. Liat aja kuliah ogah-ogahan. Ngerjain kerjaan yang kadang bikin keteteran. Semangat sih, cuman tanpa toleransi; babat sana babat sini. Haha… Hmmm, kalau berkreasi: banyak sih, cuman tanpa pola. Pacaran… heemmm he he he (gue nggak minat pacaran! Ngabisin duit setiap ketemuan! Haha… mendingan langsung kawin aja kalau segala sesuatunya sudah siap dan BERES! Haha… parah juga gue yak?!)

Hmm, tapi jujur aja, banyak keinginan gue yang mengendap dalam otak. Dan di usia 19 ini, gue berharap sekiranya bisa menjadi seperti apa yang gue impikan, di antaranya:

1. Tambah cakep (jahahaha…)
2. Bisa sukses membawa Indiego Media Kreasi sebagai penerbitan buku dan (menyusul) film, yang diminati oleh khalayak. Dan mampu membesarkan nama Indiego Media Kreasi sebagai media untuk berkreasi pilihan manusia-manusia kreatif Indonesia,
3. SECRET
4. SECRET
5. Banyak temen (eh, Sahabat)

OK, sekarang gue harus berubah, maafkan saya (hmmm… sekarang pakai saya, biar sedikit terdengar dewasa! Hahaha), saya akan berusaha!!! Tapi emang harus pelan-pelan aja sih. Mencoba melakukannya dengan tenang dan tanpa beban!

-anak kecil yang sok dewasa/orang dewasa yang sok kecil-

Nesting Place


tempat bersarang yang terlihat cukup nyaman bagi gue. tapi terkadang tempat ini suatu saat bisa jadi berasa seperti neraka, karena tempatnya yang sempit, membuat kamar gue jadi pengap, panas, dan gampang berantakannya. makanya, gue kepikiran buat pindah semester depan. dan sekarang sedang mencari sebanyak-banyaknya rekomendasi kostan dari temen-temen gue. berharap semester depan bisa dapet kostan yang bener-bener gue idamkan: luas, murah, bersih, bangunannya nggak jadul, dan situasi kostan yang asik tentunya. :)
kalian tahu,
sebenernya gue sedang mengagumi seseorang.
Dia sosok perempuan yang smart
(itu gue liat ketika membaca tulisan-tulisan dia),
dewasa,
berdarah seni,
suka sastra,
pecinta buku-buku,
musik,
film,
announcer,
: sama kayak gue.

Cuman, gue nggak tahu secara pasti siapa namanya
yang gue tahu namanya Dee
seorang yang menjadi inspirasi buat gue
setiap gue baca tulisannya
tapi dia bukan penulis

dia seorang pemvisualisasi iklan tv
gue suka karyanya
gue suka semangatnya
gue suka idenya
gue suka gayanya
gue suka pemikirannya
gue suka orangnya
tapi, gue hanya bisa mengagumi dia lewat karya-karyanya

Sairoh: Gadis “kecil” yang Malang

"kenapa kita sebagai manusia seringkali “jahat” kepada sesama manusia lain (yang kita tahu sendiri bahwa kita diciptakan sama oleh Tuhan). Banyak orang yang menilai seseorang lain bukan dari hati, namun dari fisik. Bahkan sampai sekarang, saya seringkali menemui manusia-manusia “BUSUK” seperti itu. Masih bagus kalau seorang yang “menghujat” teman sendiri itu memiliki kreadibilitas yang (lebih) bagus dari yang mereka “perolok”. Namun, kebanyakan dari mereka, TIDAK LEBIH BAGUS DARI ORANG YANG MEREKA HINA! Sampai sekarang saya membenci perbedaan ini. Bahkan ketika di bangku kuliah sekalipun. Saya menganggap mereka bodoh. Dan tidak lebih BEGO dari KERBAU. Hmmm… sebab Kerbau saja masih bisa menerima dan berbagi dengan sesamanya, sedangkan kenapa manusia (yang sering pilih-pilih sahabat) tidak?”

(tulisan tersebut hanya sebagian yang ingin saya tekankan, dan sebagai ilustrasinya, sahabat bisa baca artikel saya selanjutnya)
______________________________________


Tidak ada yang istimewa dari nama ini. Tapi iya bagi saya, yang pernah bersahabat dengan seorang gadis cilik bernama Sairoh. Ketika itu saya masih menimba ilmu sebagai seorang anak SD di sebuah kampung, Sumatera Selatan.

Entah apa yang membedakannya dengan kami (sahabatnya), sehingga menjadikannya seorang gadis cilik yang terdeskreditkan dari lingkungan sekolahnya. Barangkali, apakah karena dia berasal dari koloni kaum miskin? Hmmm… aku rasa tidak begitu, sebab sahabat kami ketika itu juga sama-sama berasal dari keluarga miskin (meski hanya sebagian), termasuk juga saya. Tapi apa yang menyebabkannya menjadi ajang perolokan bagi anak-anak SD kami? Hmmm… ada yang bilang, “karena dia dekil. Bau. Rambutnya lepek dan kutuan. Jelek dan menjijikkan!” begitulah satu kalimat yang saya ingat dari seorang sahabat semasa kecil saat berkomentar tentang Sairoh.

Memang, kebanyakan sahabat kami ketika itu berasal dari koloni kaum miskin. Meski begitu, namun, dandanan mereka tidak senorak dan dekil seperti Sairoh, sahabat saya. Saya pun dulu tergolong sebagai anak-anak kampung miskin. Namun, saya masih memperhatikan penampilan saya: baju disetrika (meski zaman dulu masih menggunakan seterika arang), selalu berganti baju dan kaos kaki jika sudah 2 hari dipakai. Meski saya ingat, bahwa sepatu saya juga sangat rombeng namun tetap terlihat bersih dan tidak bau. Hmm…

Barangkali perbedaan itulah yang menyebabkan sahabat saya itu menjadi seorang gadis pendiam dan berasa cuek bebek dengan teman-teman SD kami yang lain. Namun, ia pernah bercerita padaku, bahwa memang seperti itulah keadaannya. Semiskin-miskinnya kami (sahabat-sahabatnya), masih terlampau miskinlah keluarganya. Sebab, aku jadi terbuka fikiran, kenapa gadis itu selalu berpenampilan dekil? Karena memang dia hanya memiliki satu seragam, yang dipakainya 6 kali dalam seminggu.

Suatu kali dia pernah curhat padaku, meskipun dia sering diejek oleh teman-teman kami yang lain, tetapi dia akan tetap meneruskan sekolahnya sampai ke jenjang yang dimampunya (dalam hal finansial). Dia tidak mau seperti sahabat kami, Mutoharroh, seorang gadis yang keadaannya sama seperti dia, yang akhirnya meninggalkan bangku sekolahnya (ketika itu masih SD kelas 1)hanya karena malu atas ejekan sahabat-sahabatnya.

Tahun berganti, tentu usia kami pun semakin bertambah. Sejak kami naik kelas 6, sahabat kami, Sairoh pun masih tetap bertahan untuk melanjutkan pendidikan dasarnya. Namun, saat kelas 6, tubuhnya tumbuh subur, tidak seperti kami. Dia lebih tepat menjadi anak SMA, ketimbang disebut anak SD. Dan sahabat kami dahulu sering menyebutnya “Emak-emak”. Karena memang ciri fisiknya sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis “kecil” (dalam hal usia) dengan postur yang jangkung dan “dewasa” (dalam hal fisik).

Malah, hal yang menjadikannya semakin tersudut adalah ketika tanpa diduga sesuatu “darah kotor” mengalir dan menodai seragam yang dipakainya. Bahkan kursi bekasnya duduk juga sedikit tertinggal bekas “itu”. Sejak saat itulah, dia benar-benar malu untuk pergi ke sekolah keesokan harinya.

Seminggu sudah sahabat kami itu tidak hadir. Lantas, banyak isu yng tersebar bahwa gadis “kecil” yang bernama Sairoh itu hamil. Tentu saya terbelalak mendengarnya. Lantas, kami (teman sekelasnya) dengan didampingi satu guru kami, mendatangi rumah Sairoh untuk meminta kejelasan. Berulangkali kami membujuk gadis “kecil” itu, namun dia tetap tidak mau pergi bersekolah lagi. Karena dia benar-benar malu dengan keadaanya tempo lalu, dan bahkan atas isu miring yang menerpanya (meskipun isu miring tersebut tidak terbukti kebenarannya).
Padahal yang saya ingat, seminggu setelah kunjungan kami ke “gubuk” Sairoh, kami akan melangsungkan Ujian Nasional. Sedangkan suatu kali saya mendapatkan sepucuk surat dari Sairoh, bahwa dia selalu menangisi kenyataan hidupnya. Dan di akhir suratnya, dia berkata bahwa dia akan dikirim ke tempat sanak saudaranya di Jawa, oleh keluarganya. Dan dia akan menekuni suatu kursus di sana. Namun, sejak saat itu saya tidak lagi mendapati kabar dari sahabat saya itu. Sebab kepergiannya tanpa meninggalkan jejak.

Sampai kini saya sering berfikir, “kenapa kita sebagai manusia seringkali “jahat” kepada sesama manusia lain (yang kita tahu sendiri bahwa kita diciptakan sama oleh Tuhan). Banyak orang yang menilai seseorang lain bukan dari hati, namun dari fisik. Bahkan sampai sekarang, saya seringkali menemui manusia-manusia “BUSUK” seperti itu. Masih bagus kalau seorang yang “menghujat” teman sendiri itu memiliki kreadibilitas yang (lebih) bagus dari yang mereka “perolok”. Namun, kebanyakan dari mereka, TIDAK LEBIH BAGUS DARI ORANG YANG MEREKA HINA! Sampai sekarang saya membenci perbedaan ini. Bahkan ketika di bangku kuliah sekalipun. Saya menganggap mereka bodoh. Dan tidak lebih BEGO dari KERBAU. Hmmm… sebab Kerbau saja masih bisa menerima dan berbagi dengan sesamanya, sedangkan kenapa manusia (yang sering pilih-pilih sahabat) tidak?”***
DELETE