Saya, Ree, dan Hikayat Menyontek*


Ree, teman saya, pernah bilang, bahwa ia membenci perilaku menyontek. Di sela diskusi kami di sebuah coffee shop, ia berteori, “Menyontek itu berkontribusi besar dalam hal degradasi moral. Makanya gue tobat,” katanya. 

Saya bilang, betul. Tapi, sebelum membetulkan pernyataannya, saya sempat mengernyitkan dahi. Dalam hati, saya kurang mempercayai hal yang dititahkannya: tentang pernyataan tobatnya. Secara nyata, saya melihat Ree adalah sosok yang cerdas―itu terbukti dari caranya melemparkan ide-ide dalam setiap diskusi yang kerap kami lakukan. Meski begitu, dengan berucap pernyataan seperti itu, entah mengapa saya jadi berpikir, barangkali karena ia gengsi jika harus mengakui perilakunya di hadapan saya. 

Seperti membaca pikiran saya, Ree tersengeh, lalu melanjutkan ucapannya. Ia mencoba mencari pembenaran atas pernyataan tentang tobat menyonteknya. Ia mengaku, dulu pernah menyontek, meski ia melakukannya saat sedang kepepet. “Tapi gue sadar, sangat bego kalau gue terus-terusan memelihara kelakuan ‘busuk’ itu. Dengan menyontek, itu artinya gue nggak percaya dengan kemampuan diri gue sendiri!” tuturnya. 

Seperti palu besar yang dipukulkan di kepala saya, saya merasa tersinggung dengan ucapannya. Saya mengaku, bahwa saya juga pernah melakukan perilaku yang dibilang Ree ‘busuk’ itu. Dan terkadang, Ree kerap mengomel kepada saya jika mengetahui saya berencana melakukan ‘kebusukan’ tersebut. Tapi saya tidak tahu, apakah Ree berucap seperti itu sekadar bercerita atas hikayatnya, atau memang sengaja menyinggung saya? 

***