Ree, teman saya, pernah bilang, bahwa ia membenci perilaku menyontek. Di sela diskusi kami di sebuah coffee shop, ia berteori, “Menyontek itu berkontribusi besar dalam hal degradasi moral. Makanya gue tobat,” katanya.
Saya bilang, betul. Tapi, sebelum membetulkan pernyataannya, saya sempat mengernyitkan dahi. Dalam hati, saya kurang mempercayai hal yang dititahkannya: tentang pernyataan tobatnya. Secara nyata, saya melihat Ree adalah sosok yang cerdas―itu terbukti dari caranya melemparkan ide-ide dalam setiap diskusi yang kerap kami lakukan. Meski begitu, dengan berucap pernyataan seperti itu, entah mengapa saya jadi berpikir, barangkali karena ia gengsi jika harus mengakui perilakunya di hadapan saya.
Seperti membaca pikiran saya, Ree tersengeh, lalu melanjutkan ucapannya. Ia mencoba mencari pembenaran atas pernyataan tentang tobat menyonteknya. Ia mengaku, dulu pernah menyontek, meski ia melakukannya saat sedang kepepet. “Tapi gue sadar, sangat bego kalau gue terus-terusan memelihara kelakuan ‘busuk’ itu. Dengan menyontek, itu artinya gue nggak percaya dengan kemampuan diri gue sendiri!” tuturnya.
Seperti palu besar yang dipukulkan di kepala saya, saya merasa tersinggung dengan ucapannya. Saya mengaku, bahwa saya juga pernah melakukan perilaku yang dibilang Ree ‘busuk’ itu. Dan terkadang, Ree kerap mengomel kepada saya jika mengetahui saya berencana melakukan ‘kebusukan’ tersebut. Tapi saya tidak tahu, apakah Ree berucap seperti itu sekadar bercerita atas hikayatnya, atau memang sengaja menyinggung saya?
***
“Nyontek itu berkaitan dengan budaya pelajar di Indonesia yang masih memandang nilai sebagai orientasi belajar mereka […]”
Sementara Ree masih melempar teori-teori menyonteknya, pikiran saya telah melayang, membawa saya pada masa saat sedang melakukan ‘kebusukan-kebusukan’ dikala ujian. Menyontek. Seketika hati saya kelabu, sekelabu awan hitam yang terbingkai etalase sebuah coffee shop di samping tempat kami duduk. Mengingat-ingat ‘kebusukan’ saat ujian, bagi saya sangat memalukan.
Sejujurnya, sama seperti Ree, saya hampir tidak pernah melakukan ‘kebusukan’ itu saat ujian. Kecuali, jika kepepet! Kepepet yang saya maksud, ada beberapa hal: biasanya, karena saya tidak mempunyai waktu belajar, karena terganggu oleh aktivitas saya di luar perkuliahan; bisa juga karena saya memang tidak mengerti sama sekali (bahkan tidak punya bahan materi) perihal mata kuliah yang bersangkutan, dikarenakan cara penyampaian materi oleh dosen yang kurang baik. Mayoritas, dua hal tersebut yang menjadi penyebab saya melakukan ‘kebusukan’ saat ujian.
Saya juga sepaham dengan Ree, bahwa menyontek berkaitan dengan tingkat kepercayaan diri seseorang. Saya merasakan itu. Saya pernah tidak yakin dengan jawaban ujian saya, dan ketika mendapat sontekan dari teman, dengan bodohnya, saya mencoba mengganti jawaban saya.
Dengan kebodohan dan ketidakpercayaan diri tersebut, saya sangat menyesal luar biasa, karena jawaban saya sebelum diganti lebih mendekati benar. Ketika hasil ujian diumumkan, nilai saya luar biasa buruk! Itulah mengapa saya sempat tersinggung dengan pernyataan Ree yang mengatakan, “Dengan menyontek, itu artinya gue nggak percaya dengan kemampuan diri gue sendiri!” Kalimat itu selalu terngiang di telinga saya. Seakan berusaha mendobrak alam bawah sadar saya untuk menyadari, bahwa saya harus menghentikan ‘kebusukan’ itu.
Saya kembali tergugah dari lamunan. Pandangan saya menerawang, menembus etalase di samping saya. Di atas sana, saya dapati warna langit seperti hendak memuntahkan hujan. Gelap dan kelabu.
***
Sore ini, sepanjang Jalan Merdeka tersesak macet. Awan kelabu yang sedari tadi menggantung di langit Bandung telah tumpah menjadi hujan. Sembari bercerita perihal hikayat menyontek saya pada Ree, saya mencoba mengamati antrian panjang tersebut dari etalase kaca di samping tempat saya dan Ree duduk berhadapan. Sementara bocah-bocah ojek payung sedang menawarkan jasanya pada pengunjung yang berteduh tepat di depan pintu masuk mal, saya berusaha mengamati kerumunan itu dan sesekali mencoba menulis.
“Lo percaya nggak, kepercayaan diri itu akan muncul karena adanya kejujuran?” Ree, yang sedari tadi berpindah fokus pada sebuah Koran harian, tiba-tiba kembali membuka topik yang memang saya minta untuk didiskusikan: menyontek.
Saya alihkan pandangan saya pada Ree. Dia kembali melanjutkan pembicaraannya. “Tanpa kejujuran, manusia tidak dapat berani menjadi diri sendiri[**],” ujarnya. Kalimat tersebut jelas ia baca dari selembar Koran yang terbit hari ini.
Setelah membaca kalimat tersebut, kemudian Ree kembali berteori. Ia bertutur, bahwa secara psikologis, sebenarnya perilaku menyontek mencerminkan sikap tidak percaya diri. Beberapa penyebabnya, selain karena tidak adanya kesiapan dalam menempuh ujian, juga karena kurangnya sikap kejujuran. “Padahal, kejujuran adalah dasar setiap upaya menjadi pribadi yang kuat secara moral,” pungkasnya.
Saya mengangguk paham mendengar penuturan Ree. Ia memang selalu mudah membuat saya terpukau dengan ide-idenya. Di sela diskusi kami, entah mengapa, saya selalu menggenggam erat segelas Caramel Macchiato di antara kedua tangan saya. Kemudian, saya coba hirup aroma kopi kesukaan saya tersebut. Hangat. Sebelum Ree sempat berteori kembali, saya mencoba lebih dulu menjejalinya dengan satu pertanyaan: “Ree, apa yang membikin lo bisa tobat menyontek?”
Ree terpaku sejenak. Sebelum menjawab, ia memberi pernyataan optimisnya, bahwa setelah mendengar ceritanya, ia yakin bahwa saya tidak akan menganggapnya sok suci. Saya mengangguk, lalu tersenyum dan mentatap mata beningnya. Perlahan, Ree kembali menceritakan hikayat menyonteknya.
Ree percaya, menyontek merupakan sebuah kecurangan yang jika dipelihara akan tumbuh menjadi sebuah kejahatan. Ree termasuk sosok yang memiliki pandangan kuat terhadap agamanya. Maka, berkali-kali ia menyebut tak ingin menambah dosa. Saya cuma tersenyum dan mengangguk. Percaya dengan segala kejujurannya.
Perlahan, saya kembali menjejalinya dengan pertanyaan―tentang cara bagaimana ia menghilangkan kebiasaan ‘busuk’-nya. Namun Ree menjawab, tidak tahu pasti. Banyak belajar, percaya diri, dan selalu berdoa, merupakan hal yang ia anjurkan. Namun, selain ketiga hal tersebut, ia menegaskan kembali pentingnya sikap jujur. “Kejujuran merupakan sikap moral bagi tingkah laku, tutur kata, dan pemikiran untuk menyelesaikan berbagai masalah. Jadi, tiga komponen awal (belajar, percaya diri dan berdoa) tidak akan menjadi metode yang kuat tanpa adanya kejujuran,” tuturnya, sembari merapatkan sweat shirt indigo berleher kura-kuranya.
***
Saya dan Ree sama-sama menoleh ke arah kerumunan manusia yang tengah menunggu hujan reda. Kerumunan itu berdiri tepat di pintu masuk mal. Antara kami dan kerumunan itu hanya terpisahkan sebatas dinding kaca.
Sama seperti saya, Ree pernah menyontek. Namun ia telah jera dengan kelakuan ‘busuk’-nya. Dan efek jera tersebut ia tularkan kepada saya. Karena memang, sebagai sahabat, Ree tak pernah mengeluh jika saya benar-benar membutuhkannya. Ia adalah partner diskusi yang cerdas!
Banyak pernyataan Ree yang selalu terngiang di telinga saya, termasuk, ketika ia mengomel pada saya saat saya merencanakan kecurangan dalam ujian: “Padahal lo udah mahasiswa, umur udah dewasa, tapi pemikiran lo masih aja cetek!” Saya ingat sekali bagaimana cara ia mencemooh kebodohan saya. Tapi saya sadar, itu kesalahan saya.
Sekali lagi, saya merapatkan jaket saya. Hujan lebat kembali mengguyur, sekaligus mematahkan harapan para penunggu hujan reda yang bersesakan. Sementara Ree mulai fokus pada majalah Nylon Guys kepunyaan saya, saya mencoba menulis bagian akhir kisah ini:
“Menyontek, selain menjadikan seseorang krisis kepercayaan diri, juga mampu mendegradasi moral. Dan yang pasti, selihai apapun seseorang menyontek, akan lebih berguna jika belajar. Sebab menyontek hanya mengikis harga diri, mengaburkan harapan dan masa depan. Berhentilah!”[]
[*] Tulisan ini saya gubah kembali setelah sebelumnya gagal menjadi pemenang dan hanya menjadi finalis dalam Lomba Menulis Artikel "Jera Menyontek" yang diadakan oleh Yayasan Pendidikan Telkom, 2012.
[**] Jotidhammo Mahathera. (2012). “Renungan Waisak: Kebijaksanaan Tonggak Kejujuran”. Kompas. Edisi Sabtu, 5 Mei 2012, halaman 1.
1 komentar:
Online Casino | Online casino, Slots, Blackjack, Poker, Casino
Online Casino. Online Casino The most popular, in fact, is Live Casino. 온카지노 We are a real person, not just a computer, a computer worrione and 1xbet korean we are real people. It
Posting Komentar