Hari Ini Bapak Operasi

Hari ini Bapak bakal operasi mata. Gue nggak tahu apa yang menyebabkan beliau harus operasi mata? Sebab Ibu, Mbak, Mas dan Keluarga di rumah nggak mau ngasih tahu, meski udah gue desak dan nangis abis-abisan. Mereka cuma bilang: Bapak nggak apa-apa, kok! Begitupulalah yang gue dengar ketika Bapak nelpon gue. Beliau cuma bilang: Bapak nggak apa-apa, kok!

Terimakasih, Tuhan, kalau Bapak memang nggak apa-apa. Tapi, kenapa ketika beliau nelpon suaranya terdengar parau dan beda banget. Berasa sendu dan terdengar berat mau ngucap. Jujur, semaleman gue nangis nggak karuan. Sebab takut Bapak tercinta kenapa-napa.

Yang lebih mirisnya, semalem Mas, Mbak dan keluarga yang lain nggak ikut nemenin Ibu nungguin Bapak di Rumah Sakit. Sumpah, hati gue berasa sakit. Sebab memang, Mbak belum bisa dateng dengan berbagai alasan yang memang logis. Mas juga gitu. Dan setelah gue maki-maki ke mereka, (rencananya) memang mereka bakal ikut nemenin Bapak pas operasi siang nanti.

Tuhan, hamba berharap, agar operasi Bapak bisa lancar. Oh, ya, semalem gue sempat mimpi tentang Bapak. Menyenangkan sekali! Gue berharap Bapak benar-benar bisa melanjutkan aktivitasnya seperti terakhir gue ninggalin bliau ke Bandung. Seandainya minggu ini nggak UAS, pastilah gue langsung balik, nungguin beliau sampai sembuh dan sehat total!

Gue nggak tahu lagi gimana harus menuangkan perasaan ini. Hmm... akhirnya, perasaan ini gue bagikan kepada dunia via blog ini (tentu kepada mereka yang bisa dan segan untuk membaca catatan kecil ini). Juga sebagai permohonan bantuan doa dari kalian (pembaca) semua.

Bapak, I miss youuuuu...
dan sama halnya dengan Ibu yang tegar: I miss you so much!

S-E-M-A-N-G-A-T

(Sebuah Tulisan yang Geje)


Sucks!
Padahal besok UAS, tapi gue masih nyatai aja.
Internetan terusss.
Shopping mulu.
Ngeceng ke Gramedia sama Rumah Buku tiap sore selalu.
Kapan lo bisa seriusnya, Zumaaa?

Hikss...

Sebenernya dan sejujurnya, gue ngerasa "salah angkot" dalam memilih kuliah.
Udah tahu dari dulu gue nggak suka Ekonomi.
Nggak suka teori ICT.
Nggak suka Akuntansi.
Eh, malah gue berani-beraninya kuliah di jurusan Manajemen (yang sudah pasti banyak ilmu hitungnya, baik Ekonomi, Akuntansi, Statistik, Matematika Ekonomi) yang juga berbasis ICT.

Hiksss...

Pengen pindah kuliah di jurusan yang gue minati (Sastra, senimatografi, atau Fikom),
tapi ortu nggak ngizinin!
Katanya nanggung.
Yaudah, terpaksa gue harus bertahan kuliah di kampus tercinta dengan jurusan yang nggak gue minati.

Hmmm... tapi, tapi, untung aja ntar di semester 4,
di kampus gue ada program konsentrasi penjurusan,
dan salah satu program konsentrasi penjurusan itu ada jurusan yang lumayan gue minati:
Media Komunikasi & Konten.

Ahahahaa... gue berharap bangeeett
banget
bangeeettt...
semester 4 ntar gue bisa dapet konsenrasi di jurusan itu:
Medkom atau nggak Konten.
Semoga.
Amin!
Biar gue nggak ngerasa salah jurusan lagi.
Hihi...

Karena ngerasa salah jurusan, menyebabkan gue punya pikiran buat bisa lulus cepet.
Tentu, sebab gue muak kuliah di semester 1-3 yang banyak ilmu hitung dan yang nggak gue bangeeettssss gettoohh...
suks!
fcuk!
damn!
anjrit!
anjrot!

Haha... sebab rencananya,
selepas gue lulus dari kuliah gue sekarang,
insyaallah secepatnya gue mau ngelanjut S2 dengan jurusan yang tentunya gue minati: barangkali Fikom atau Sastra Budaya.

Amin. Amin. Amin!
Semoga. Semoga. Semoga!
Semangat. Semangat. Semangat!

S-E-M-A-N-G-A-T

Catatan Kecil Zuma: Menjadi Orang Asing...

Secara jujur, aku suka konsep dan cerita buku karya Farida Susanty, Karena Kita Tidak Kenal. Sebab memang cerita yang dituturkannya menyinggung tentang pribadiku. Dan (mungkin) ketika menulis catatan kecil ini, bisa jadi karena aku memang terinspirasi buku antologi “Karena Kita Tidak Kenal” karyanya.

“Hey, […] nggak ada yang namanya orang asing di dunia ini! […] Pada dasarnya, mereka bakal menganggapmu sebagai keluarga juga, kalau kamu mau membuka diri pada mereka[…]”

Entah kenapa, tulisannya yang paling berkesan di benakku adalah pada dialog tokoh Indina yang berucap tentang keterasingan seperti yang aku cuplik di atas. Di sisi lain, aku merasa dialog tokoh Indina itu ada benarnya, tapi, di sisi lain, dialog itu bisa dipatahkan dengan realitas yang ada. Sebab aku percaya, tidak semua orang asing itu baik dan mau menerima diri kita apa adanya.

Dan jika aku ingat atas kejadian lalu—ketika bertemu dengan orang asing yang mengaku editor naskahku—aku akan berucap tidak setuju atas dialog tokoh Indina di atas. Sebab dengan teganya orang asing yang mengaku editorku itu, telah menggasak semua benda berharga yang saat itu tengah kubawa. Maka, karena kasus tersebut, membawaku berada pada satu kesimpulan: “nggak selamanya orang asing itu baik, meski kita sudah membuka diri pada mereka sekalipun!”

Hmm… meski begitu, entah kenapa, kemarin, aku berusaha memberanikan diri untuk bertemu dengan seorang asing. Meski benakku sedikit memberikan sinyal waspada saat bertemu dengannya, dengan seorang asing.

Tentu ada sebab kenapa aku sampai berani untuk (sekali lagi) bertemu dengan orang asing, selepas trauma karena kejahatan yang pernah dilakukan oleh orang asing tempo lalu. Jawabannya, sebab akhir-akhir ini, aku merasa menjadi seorang (ter)asing di antara orang-orang yang sudah tidak asing jika bersitatap denganku: semakin asing dengan kehidupan keluarga di kampung, tentu, sebab hidup terpaut oleh jarak. Semakin asing dengan sahabat, yang tiba-tiba satu per satu di antara mereka tidak pernah lagi berjumpa saat “rumpian” itu tiba (sebab, sejak tahun pertama aku kuliah di Bandung, aku punya partner yang mau menampung segala sampah permasalahan hidupku pada mereka, namun, satu per satu di antara mereka memiliki problematika pelik masing-masing, sehingga menyebabkan persahabatan kami renggang). Juga semakin asing dengan sang kekasih, yang sejak 3 bulan lalu menjalin hubungan LDR, dan kini, aku merasa asing dengannya, sebab cintaku serasa digantung olehnya. Kejam! Memang!

Maka, karena problem tersebut, lantas aku beranggapan, bahwa aku harus menemui satu saja di antara 500milyar orang asing di muka bumi, yang bersedia menampung curhatan hatiku. Ya, satu saja. Tapi adakah?

Hmm… ternyata, setelah meneguhkan tekad, kemarin, aku bertemu seorang asing di sebuah toko buku di daerah Soepratman (memang pertemuan itu sudah kami rencanakan. Hmm… tapi aku tidak akan bilang, darimana aku bisa tahu tentangnya). Yang pasti, aku beruntung bisa bertemu orang asing sepertinya. Sebab dia baik. Serasa ada chemistry saat pertamakali kami bertemu. Dia bukan seorang yang sombong apalagi jutek. Aku suka dengannya. Dan aku merasa nyaman menceritakan segala problematikaku dengannya. Akhirnya, di antara 500milyar makhluk bumi, masih ada 1 orang yang mau memasang telinganya untuk mendegarkan keluhkesah hatiku, yang juga seorang asing baginya.

Perlahan, aku ingin mendalami kisah persahabatanku dengannya. Sebab memang, menjadi orang asing itu memuakkan. Sehingga, aku terobsesi untuk menjadi seorang yang di(ter)kenal di antara orang asing (seperti selebritis, penulis, dan public figure lain). Biar orang asing yang bertemu denganku bisa menyapa tanpa ada perasaan malu, risih, jutek atau pun jaim (meski suatu saat aku akan merasa asing dengan seorang yang menyapaku, tapi, tidak apa, yang penting, mereka bisa menganggapku tidak asing dalam hidupnya).

Sebab aku sadar, bahwa sesunggunya aku muak menjadi orang asing di lingkunganku sendiri: kampus, kostan, tempat nongkrong, keluarga, tempat kursus, dan semua lingkungan tempatku menjajak hidup. Terlebih, aku muak menjadi asing dengan kekasihku sendiri. Mulai detik ini (ketika mengetik bagian ini) aku akan melupakan dia. Kekasih LDR yang terkadang mencintaiku tergantung mood. Yang barangkali dia mau kembali menjalin hubungan dengaku, oleh karena hanya menjadikanku sebagai pelariannya setelah putus dengan kekasih terdahulunya yang juga seorang pelatih vocalnya. Aku yakin, ketika membaca ini, dia akan marah besar. Tapi, sudahlah, aku sudah tidak nyaman menjadi seorang asing dikehidupannya. Sebab aku yakin, dia begitu karena dia ingin kembali dengan kekasih lamanya—yang juga seorang pelatih vocalnya! Good luck, MK!

Satu lagi, suatu saat aku ingin menjadikan Farida Susanty—seorang penulis Karena Kita Tidak Kenal—sebagai seorang yang tidak lagi asing, dan tidak menganggapku asing (haha… lucu sekaligus aneh aku ini!). Tentu, sebab dia sudah berjasa membagikan kisah tentang keterasiangan untuk orang-orang yang merasa asing, sepertiku. Sehingga, karena cerita-ceritanya, seseorang bisa mematahkan makna tentang keterasingan itu sendiri. Dan aku sadar, menjadi orang asing... itu memuakkan!

Catatan Buku #2: Karena Kita Tidak Kenal


Judul buku : Karena
Kita Tidak Kenal
Penulis : Farida Susanty
Penerbit : Grasindo

Cetakan : 1, 2010

Jumlah halaman : V + 199 hal

Harga : Rp. 39.900

Honest, ada banyak pertimbangan yang menjadikan gue sosok plin-plan untuk memutuskan membeli buku ini. Tapi, yang pasti, hal yang membikin gue terdorong untuk membelinya adalah, bukan karena judul, cover, synopsis atau nama penerbit, melainkan karena ketertarikan gue sama award yang pernah diterima sang penulis (tapi bukan karena nama penulisnya. Sebab gue sendiri nggak pernah baca tulisan-tulisan sang penulis sebelumnya): pemenang Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007, Kategori Penulis Muda Berbakat (Hmmm… ini adalah satu ajang di dunia kepenulisan yang gue sendiri kepengen bisa jadi salah satu peraih nominasinya ). Plus, karena waktu itu Grasindo sedang mengadakan diskon yang lumayan gede untuk seluruh buku-buku terbitannya. (haha… ketara perhitungan!)

Well, kalau dibaca lebih teliti, secara konsep, buku ini cukup keren (seperti yang tertera di sampul belakang buku): membahas tentang orang asing, tentang keterasingan seseorang terhadap diri sendiri, membagi rahasia dengan orang asing, mencoba menarik orang asing, dan mempengaruhi hidup orang-orang asing. Uppss… awalnya gue sempat bingung, sebab di cover belakang buku (lebih tepatnya di sisi atas barcode/ISBN) buku ini bergenre “novel remaja”, tapi, setelah gue perhatikan dengan seksama, ternyata, buku ini memuat antologi cerpen. Ehemm… bukan masalah sih, yang terpenting, gue suka sama konsep untuk buku ini (yang bikin gue kecewa, sebab konsep ini sudah digagas oleh Farida terlebih dahulu, padahal gue juga sedang mengembangkan konsep serupa untuk antologi catatan kecil tentang diri gue).

But, meski gue suka konsep buku ini, tapi gue nggak musti tertarik sepenuhnya sama isinya. “Karena Kita Tidak Kenal” memuat 16 cerpen (not novel remaja!), yang keseluruhan ceritanya tetap konsekuen sama konsep cerita: tentang orang asing. Hmm… dari ke-16 cerpen, entah mengapa gue ngerasa bahasa bertutur sang penulis sedikit berbeda antara cerpen satu dengan yang lain: maksudnya beberapa cerpen berbahasa santai anak muda, namun, beberapa di antaranya mengangkat persoalan diluar konsep lain buku ini; untuk remaja. Bisa gue comotkan (upss!) contoh di #1 Bagaimana Cara Menarik Orang Asing, dengan #8 Pemakaman. Gue kira cerpen #1 dengan #8 sangat berbeda segmentasi. Kalau cerpen #1 memang tentang remaja, tetapi untuk cerpen #8 agaknya untuk segmentasi dengan tingkatan yang agak tinggi: dewasa muda.

Sepertinya, cerpen #1 Bagaimana Menarik Orang Asing merupakan cerpen andalan penulis (sebab hal itu diakui oleh sang penulis seperti yang tertulis pada bagian akhir buku: bagian Q&A). Ya, gue juga bisa membaca kesan itu. Sebab cara Farida bertutur cukup mengalir khas anak muda. Meski gue rasa, cerpen itu sederhana namun syarat makna. Dan kisah yang ditulis memang realitas sering dialami oleh para pengguna situs jejaring sosial Friendster di masa itu (termasuk gue).
Keren!
Tapi, entah kenapa gue lebih suka cerpen yang #6 Culik dan #12 Musik.
Sebab cerpen “Culik”, ketika membaca itu, gue merasa harus berfikir di akhir cerita. Meski sebenarnya ada satu hal yang tidak logis dari cerita. Masa, sih, anak sekecil itu (laki-laki) sudah tahu kasih sayang (selayaknya suami-istri) dengan sang penculik (laki-laki)? Hah?

Dan kalau gue boleh menyimpulkan cerita tersebut, menurut imajinasi gue; “si Alexa memang sengaja ingin diculik sebab dia muak dengan kehidupan di rumahnya (dengan ayahnya yang perfeksionis dan selalu menekannya secara fisik atau psikis, dsb), sehingga dia memilih untuk diculik meski sang penculik pernah memukul, menendanginya (walau sang penculik juga tidak tega), sampai akhirnya ketika Alexa dilepaskan oleh sang penculik, dia malah memilih untuk semalam bersama dengan sang penculik ketimbang pulang. Pada intinya, Alexa menginginkan penculikan itu.”

Tapi, ada satu kalimat yang membikin gue terus berkutat dan bertanya-tanya adalah tentang ini (kalimat narasi yang diutarakan oleh sang penculik mengenai kisahnya dan Alexa); “setelah perceraianku, aku tidak pernah merasakan pelukan tulus seperti yang dia lakukan padaku malam itu. […] Aku tidak akan mengatakan apa pun untuk menghancurkan keluarga itu.” (hal. 80). Hmmm...Maksudnya? Barangkali Farida menginginkan pembaca bertanya-tanya ketika selesai membaca cerita ini. Gue rasa, dalam cerpen ini dia berhasil melakukan itu.

Bagaimana dengan cerpen yang berjudul “Musik”?

Hahaha… gue bener-bener suka kreasi Farida dalam memunculkan petikan-petikan lagu karya musisi yang gak gue kenal: Paris Harrington. Siapa? Hmm… setelah gue searching, nggak ada tuh yang namanya Paris Harrington atau lagu yang judulnya New York City (yang ada, judul lagu itu dinyanyikan oleh Norah Jones, dengan lirik yang berbeda). Ternyata, Farida pintar, ya, membikin dan mengkolaborasikan imajinasi?! I like it! Termasuk dalam cerpen “Alice in Wonderless Land”, satu cerpen hasil imajinasi yang unik mengingatkan gue pada satu film karya sutradara Tim Burton yang pernah melesat menjadi box office beberapa bulan lalu: Alice in Wonderland. Dan yang pengen gue tanyakan sama penulis (sebab membikin gue penasaran): Siapa sih Paris Harrington? (Hmmm... ini gue yang bego dan terlalu "kampung", atau memang Paris Harrington itu satu nama musisi rekaan?) *kalau suatu saat ada jawaban dari penulisnya, barangkali gue akan langsung merevisi resensi ini*

Satu lagi cerpen yang bikin gue kalang kabut mengartikannya. Bukan karena susah mencerna bahasa yang disajikan, tapi, gue ngerasa ada satu makna dari cerpen yang sedikit "bolong", dan akhirnya gue—yang bukan ahli huruf Kanji—berusaha dengan keras untuk mengartikan judul cerpen yang senantiasa ada di setiap bagian cerita #10 ini: 死 (yang berarti Shine/kematian. Oalaaahhh...). Satu hal yang pengen gue tanyain ke penulisnya; kenapa setiap membikin simbol dalam cerpen, nggak pernah dikasih penjelasannya (atau catatan kaki) tentang simbol yang ingin disertakan dalam cerpen itu? Sebab ketika menggunakan simbol (huruf kanji) tanpa ada penjelasan mengenai arti simbol itu, akan sangat menyusahkan pembaca untuk memperdalam makna cerita dan gue yakin hanya beberapa pembaca yang mengetahui kanji itu langsung dan akhirnya bisa menyerap makna cerita. Mungkin kalau alasannya, karena pengen pembaca bertanya-tanya/penasaran, lantas memutar otak untuk mencari makna dari sebuah simbol tersebut, mungkin itu bisa dimaklumi. Sebab memang Farida berhasil melakukan itu. Hehe...

Sebenarnya, gue juga suka sama cerita #5 Rahasia. Menarik. Sebab memberikan pencerahan psikologi bagi remaja yang pernah melakukan hubungan “itu”. Tapi, hmmm… ya itu, lho, ada beberapa bagian cerita yang nggak konsekuen dan terkesan aneh. Sebab dalam cerpen “Rahasia” ini, dikatakan bahwa Ardia sudah punya cowok, tapi kenapa dia merasa bahwa nggak bakal ada cowok yang suka sama dia? (mungkin itu tentang psikologi dia, kali, ya? Rada bingung nyernanya. Padahal bahasa yang ditulis juga nggak ribet. Intinya, harusnya gue mudah mencernanya).

Dan lagi, seperti yang tertulis di hal 62, di situ dideskripsikan bahwa Ardia adalah sosok yang kurus, tapi sejak awal, kan, diceritakan bahwa Ardia itu merasa gemuk, seperti dialog di halaman 57 berikut ini; “Aku benar-benar gemuk, dan kakiku seperti batang pohon. Sumpah deh, besar sekali. Aku harus turun beberapa kilo lagi.” Oh, atau mungkin Ardia merasa dirinya masih gemuk, namun padahal sebenarnya (tanpa disadarinya) dia kurus? Ehemmm…

Dan juga, kalau gue perhatikan di halaman 64 (masih di cerpen “Rahasia”), seperti ini: […] gadis itu mengangkat bahu dan melanjutkan. “Itu benar-benar menyiksa. Saya benci diri saya,” katanya, memalingkan diri dari kaca. “Lalu suatu hari…. Saya bertemu laki-laki ini.Nah, pada dialog ini tidak jelas, siapa yang ditunjuk sebagai “laki-laki ini” yang pernah ditemuinya (entah sosok lelaki yang sekarang menjadi tempat curhatnya, ataukah Aksa, kekasih Ardia?). Tapi, sepertinya (jika ditilik lebih lanjut dari dialog-dialog selajutnya) yang gue tangkap, Ardia mendeskripsikan “si laki-laki” itu sebagai pacarnya sekarang, Aksa. Seharusnya, gue bersaran agar ada pemotongan (atau setidaknya sedikit revisi) cerita di bagian ini, sebab gue rasa bagian ini yang merusak jalan cerita sampai akhir cerpen “Rahasia” selesai.

Kenapa?

Karena seharusnya, kata-kata “saya bertemu laki-laki ini” dibarengi dengan menunjukkan nama/foto Aksa, kekasihnya (kalau dicerna dari segi bahasa dan penekanan dialog, memang seharusnya Ardia menunjukkan sesuatu tentang lelaki yang tengah dibicarakan olehnya). Kalau sudah begitu, otomatis si Om langsung tahu, bahwa si kekasih Ardia itu adalah anak kandungnya sendiri (seperti yang diceritakan di akhir cerita).

Tapi, oleh sang penulis, cerita ini tetap dituliskan hingga akhir dan klimaksnya adalah penulis memberitahukan bahwa (dan gue nggak menduganya) kalau sosok yang diceritakan oleh Ardia (kekasih yang telah merenggut keperawanannya, karena dia satu-satunya laki-laki yang menganggapnya cantik, dan otomatis Ardia tidak mau kehilangan satu-satunya laki-laki di dunia yang mengatakan bahwa dia cantik. Karena hal itu, lantas dia tetap melanjutkan hubungan “itu”, namun kali ini bukan hanya dengan kekasihnya semata, tetapi juga dengan sahabat-sahabat kekasihnya) adalah anak kandung si Om, sosok orang asing yang sejak berada di dalam kereta mengajaknya curhat.

Sehingga cerpen ini terkesan rancu di tengah cerita dan menyebabkan cerpen tidak konsekuensi hingga di akhir cerita. Namun, sebenarnya bisa jadi itu bukan suatu kesalahan yang besar. Sebab jika kita membaca sekilas dan tidak menganalisa per kata dengan benar, memang dialog itu tidak akan mengganggu ritme cerita. Tentu, jika kita benar-benar menganalisa lebih dalam cerita, kesalah tersebut akan menjadi fatal dan merusak jalan cerita yang (sebenarnya) sudah dikonsep cukup bagus.

Memang, barangkali kelemahan antologi ini adalah cerita yang seharusnya masih bisa diedit, diolah, diperbaiki kualitasnya agar (lebih) layak baca. Tapi bukan berarti kualitas isi dari cerita yang ditawarkan penulisnya tidak bagus, malah, gue beranggapan bahwa konsep dan isi cerita yang ditulis sangat bagus dan menginspirasi.

Tapi, gue salut, sebab cerita dalam antologi ini (salah satunya cerpen RAHASIA) sangat menginspirasi, dan memiliki soul yang meracau liar. Sehingga benar, Farida sepertinya telah membekali setiap cerpennya dengan nyawa yang membikin seseorang bisa mematahkan makna tentang keterasingan—

—Sebab, pasti banyak dari kita yang menganggap bahwa menjadi asing itu menyedihkan. Sendirian, nggak punya teman. Memang, menjadi asing lebih banyak merupakan hal yang menyedihkan, tetapi nggak selalu begitu. Bahkan yang lebih menyedihkan “orang asing” itu nggak sebatas pada kesendirian. Ada orang yang menjadi asing bahkan bagi dirinya sendiri. Nggak sadar siapa yang dilihatnya saat bercermin. Orang-orang yang secara (nggak) sadar membiarkan hidupnya berada di bawah kehendak orang lain. Padahal meskipun orang lain itu orang tua kita sendiri, tentu saja kita yang lebih berhak memilih sendiri masa depan seperti apa yang ingin kita miliki, bukan?

Dan ada beberapa cerpen yang dialognya membekas dalam benak gue adalah ketika gue membaca dialog tokoh Indina dalam cerpen “WWS” (nah, gue gak tau nih arti dari judul cerpen ini apa) dan dialog yang dituturkan oleh Rio, si anak yang tidak mempercayai agama (ateis) dalam cerpen “Tuhan”:

[…] ”Hey, aku juga nggak kenal kamu, tapi aku nggak takut sama kamu. Aku malah sudah ingin menganggap kamu adik. Tahu nggak? Nggak ada yang namanya orang asing di dunia ini. Nggak ada orang yang pantas disebut orang asing di dunia ini. Pada dasarnya mereka bakal menganggapmu sebagai keluarga juga kalau kamu mau membuka diri pada mereka,”[…] “Kamu… nggak pernah sendiri." (hal. 160)

[…] “Siapa sih Tuhan buat lo? Paling juga Tuhan Cuma orang asing buat lo, kayak orang lain. Yang ngelakuin ritual ini itu tapi nggak ngerti juga mereka nyembah siapa[…]” (hal. 91)

Nah, jadi, karena kita tidak kenal, maka, terimalah sebuah resensi dari seorang asing. Dan dalam menulis, ingatlah, kita harus tetap berpengangteguh seperti kata-kata berikut: “Siapapun yang melempar wacana ke masyarakat mesti bersedia menanggung risiko atas segala tanggapan, dipuja maupun dihujat—dan itulah ukuran kedewasaannya.” (Seno Gumira Ajidarma)