Beberapa waktu lalu, dalam keadaan saya yang
sedang kacau karena mengerjakan beberapa hal dalam sekali waktu—menyicil
skripsi dan mengedit naskah—saya menerima telepon dari seorang
sahabat. Awalnya, saya tak ingin meladeninya terlalu lama. Mengingat, saya
harus segera membereskan beberapa pekerjaan saya tersebut. Namun, saya tak bisa
menolak ketika sahabat saya tersebut menceritakan perasaan sukacitanya karena
telah berhasil menyabet gelar sarjana.
Saya turut bahagia, meskipun
dalam hati saya sedikit iri (dan saya menjadi terpacu) karena sampai detik ini, proses skripsi sidang saya masih
tertunda. Saya juga meminta maaf pada sahabat saya tersebut, karena ketika sidang saya tak
bisa datang. Seperti yang sudah saya duga, dia memaklumi saya.
Akhirnya, saya meluangkan waktu.
Dan, kami berbicara panjang lebar. Dia bertanya bagaimana dengan pekerjaan
saya. Saya bilang, “Gue sangat menikmati pekerjaan gue.” Lalu, hal yang
membikin saya tercenung adalah saat mendengar dia bertanya, seperti ini, “Kamu
nggak di-bully, kan?”
Jujur, saya benar-benar terkejut
mendengar pertanyaan itu. Mungkin, karena dia sahabat saya, sehingga banyak tahu tentang diri saya. Namun, hingga sekarang saya tidak mengerti apa modus
dia bertanya seperti itu.
Sebelum menjawab pertanyaannya,
saya tercenung sebentar. Saya malas menjawab pertanyaan itu, sehingga saya
menimpali pertanyaannya dengan pertanyaan, “Kenapa lo nanya gitu?”
“Karena lo tipe orang yang
gampang di-bully....”
Deg! Jantung saya
seperti berhenti berdetak. Awalnya, saya pikir dia cuma bercanda. Namun,
sepertinya tidak. Saya cuma terdiam medengar kalimat jujurnya. Mungkin, kalau
di atas kepala saya ada tutup teko, barangkali tutup itu sudah terjatuh
sangking tidak kuatnya menahan panas. Namun, saya tak bereaksi apa-apa. Dia
sahabat saya, mungkin dia hanya mengkhawatirkan saya, batin saya.
Lalu, dia bercerita banyak hal; tentang saya. Yang saya ingat, selain ia bilang bahwa saya adalah
tipe orang yang gampang di-bully, ia
juga banyak memuji banyak hal tentang saya—dia memang tak berubah sejak
dulu. Namun, entah mengapa, hal yang membuat saya kepikiran hingga sekarang
adalah pernyataannya tentang saya yang mudah di-bully.
Saya menyadari. Benar-benar
menyadari dan menganggap pernyataan sahabat saya itu ada benarnya. Saya sempat mengingat masa lalu saya. Dan, ya, ada satu kesimpulan yang sebenarnya tak pernah benar-benar saya sadari
sejak dulu, bahwa: Bully itu bagian
hidup saya, dia mengiringi pertumbuhan saya sejak kecil hingga sekarang. Menyedihkan!
Saya bahkan pernah berusaha menilai diri saya sendiri; apa yang salah dengan diri saya? Dan, sesungguhnya saya menemukan banyak sisi negatif dalam diri saya (meskipun saya percaya, setiap orang tidak mungkin terlahir sempurna): tidak tegas, penakut, dan tidak percaya dengan diri saya sendiri.
Menemukan tiga hal negatif tersebut, saya kembali berusaha untuk mengubah diri saya: yang mulanya terkenal sebagai sosok ceria dan cerewet, sekeras hati saya redam---dan masih banyak hal lain yang saya lakukan, sehingga saya tidak lagi menjadi saya. Sampai sekarang, saya malu menampilkan kembali diri saya yang ceria dan gampang berbaur, karena takut di-cap sebagai seorang lelaki yang banyak omong (atau ke-wanita-wanitaan). Ah, banyak hal, sebenarnya. Intinya, seharusnya yang saya lakukan adalah bertindak tegas, berani, dan percaya dengan kemampuan diri---tanpa mengubah "esensi" saya.
Namun, kini, ketika mengingat (dan merasakan kembali) tindakan bully itu, tidak lantas membuat saya terpuruk dalam kekecewaan, tapi sebaliknya: Saya bangga dengan diri saya, dan akan tetap menjadi saya. Saya yakin, setiap manusia diciptakan dengan keunikan masing-masing, dan yang harus saya lakukan adalah menjaga keunikan saya dan mengikis energi negatif yang (jika saya tidak mengantisipasinya) akan semakin menebal seiring pertumbuhan saya menjalani tahap kedewasaan.