Dear, B…. Masih ingatkah tentang aku,
seseorang yang duduk di hadapanmu dengan raut canggung
dan selalu mencuri pandang untuk menatap mata indahmu?
Kita bertemu di satu malam yang riuh. Kamu datang tak sendiri; ada dua temanmu yang sangat cerewet dan berusaha mengajak ngobrol dengan perbincangan random. Pun denganku, saat itu datang bersama dua teman yang merupakan temanmu—saat itu, kamu, teman-temanmu, dan teman-temanku memang berjanji untuk bertemu.
Kamu tahu, B, saat pertama melihat tatapanmu yang hangat, duniaku seakan melesak; kamu berhasil membuatku canggung sekaligus berdebar-debar. Kamu memiliki mata yang sangat indah, aku tak bohong tentang itu. Terkadang, saat kita saling bertatapan, detik itu juga aku seperti kaku. Terlebih, saat kamu lebih dulu mengulurkan tangan sembari menyebutkan namamu, seketika itu juga aku seperti tak punya daya untuk sekadar mengangkat tangan demi menyambutmu.
Kamu dan aku duduk berhadapan di sudut sofa yang bersisian dengan etalase kaca. Saat itu, meski kita bersama empat teman lain, tetapi fokusku hanya pada kamu, kamu, dan kamu. Mungkin, kamu tak menyadarinya, tapi aku selalu berharap bahwa kamu menyadari tentang sikapku tanpa harus kunyatakan langsung.
Aku masih berpura-pura menutupi kecanggunganku, ketika kamu tiba-tiba mengambil sebuah buku yang kugeletakkan di atas meja. The Age of Miracles oleh Karen Thompson Walker, buku itu yang kamu ambil tanpa seizinku. Dari situ, kamu mulai tertarik untuk memulai sebuah perbincangan denganku.
Kamu bilang, ingin menjadi penulis roman. Namun, karya yang kamu hasilkan malah fantasi—dan aku ingat, kamu terkekeh ketika mengucapkan kalimat itu. Sementara aku juga tak mau kalah untuk mengungkapkan impianku di dunia kepenulisan. Kubilang, aku juga menyukai roman. Namun, saat ini aku sedang fokus untuk membuat cerita-cerita pendek yang ingin kukirimkan di koran-koran nasional.
Kamu tersenyum mendengar impianku. Dan, ketika salah seorang temanku menyebut bahwa aku adalah seorang editor (yang pernah “menangani” fiksi), kamu semakin tertarik untuk mengulik tentangku—ya, kan? Kamu bilang, apakah suatu saat aku bersedia membaca dan mengomentari tulisan-tulisanmu? Jelas kujawab, iya.
Dan, malam merangkak dengan cepat. Perjumpaan kita juga harus berakhir. Tapi yang kuingat, saat kamu hendak pergi, kali itu kamu menjabat tanganku sembari melayangkan tatapan hangat, dengan bibir merah yang kedua ujungnya ditarik untuk membentuk satu senyuman yang sangat menawan.
Aku hampir pinsan malam itu!
Dear, B.... Kira-kira, kapan kita bisa jumpa lagi?
Saat pertemuan itu,
jelas, aku canggung buat nanya begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar