#3. Kematian Marisa


SEJAK kecil, Alfian memang dididik oleh keluarga yang penuh aturan dan kekangan. Sehingga ketika dewasa, menjadikannya sosok pemuda yang pemberontak dan mendambakan kehidupan bebas. Dia memiliki hobi dan keterampilan lebih di dunia musik. Sebab dia bercita-cita menjadi seorang musisi dan komposer hebat yang kelak namanya bisa melegenda. Namun, impian itu nampaknya terbengkalai, dan barangkali dia kini tidak mungkin lagi untuk mewujudkan cita-cita itu. Sebab ayahnya tidak mengizinkan darah seni mengalir dalam diri Alfian. Sang ayah yang otoriter menginginkan Alfian menjadi seorang pegawai kantoran sepertinya.

Suatu ketika, Alfian benar-benar muak atas kekangan sang ayah. Sehingga, ketika semester dua masa perkuliahannya di Sekolah Bisnis, tanpa sepengetahuan keluarga, dia berhenti menjalani perkuliahan di sekolah tersebut, sebab dia lebih memilih untuk masuk di Institusi Seni ketimbang fakultas yang dia sendiri tidak meminatinya. Namun, melihat tindakannya yang semena-mena, membuat ayahnya naik pitam dan mengusirnya dari rumah. Lantas saja dengan senang hati dia memenuhi keinginan sang ayah.

Setelah pergi dari rumah, Alfian hidup sendiri di sebuah kost yang keberadaannya dekat dengan fakultasnya di institusi kesenian di Jakarta. Dia pergi tanpa membawa cadangan finansial yang memadai. Sebab ketika itu, ayahnya menyita ATM-nya. Sehingga, hal itulah yang mendorongnya untuk mencari uang dengan cara yang kotor dan sangat menjijikkan. Harus bagaimana lagi? Sebab dia sudah kepepet dan terpaksa melakukan ini. Atas bantuan salah seorang rekan, dia diperkenalkan oleh seorang perempuan yang usianya dua kalilipat darinya. Wanita itu berjanji akan memberikan finansial di kehidupannya, dengan syarat dia harus mau menjadi lelaki “brondong” simpanan perempuan yang bernama Marisa itu.

Lantas, setelah melalui pemikiran yang matang, akhirnya Alfian menyetujui perjanjian itu. Sebab satu-satunya cara agar dia bisa membiayai kuliah dan kehidupannya adalah dengan cara seperti “itu”.

Kencan pertama dengan Marisa, Alfian grogi. Sebab sebelumnya dia belum pernah berhubungan semesra ini dengan perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya. Jangankan perempuan yang lebih tua, berhubungan dengan perempuan muda saja, dia belum pernah!

Sejak kencan pertama, Marisa yang lebih mendominasi. Sebenarnya Alfian merasa jijik saat pertamakali harus mencumbunya. Setiap dia berusaha menghindar, Marisa selalu memaksanya. Terkadang setelah mereka selesai melakukan hubungan hingga mencapai titik klimaks, Alfian akan terlihat sebagai lelaki cengeng yang tidak mampu berbuat apa pun. Tentu, tanpa sepengetahuan dari perempuan itu. Sebab Alfian tidak pernah mengira jika kehidupannya akan setragis ini. Yang lebih menyakitkannya adalah ketika dia telah menyerahkan keperjakaannya hanya untuk perempuan yang seharusnya menjadi pembimbingnya.

Setelah beberapa kali kencan dengan Marisa, Alfian tidak lagi merasa canggung. Entahlah, setiap Marisa membimbingnya untuk melakukan “itu”, Alfian tampak menikmatinya. Bahkan, lambat-laun dia sudah bisa menepis perasaan jijinya untuk berhubungan dengan seorang tante. Sebab dia sering berfikir, “Toh, kami kan sama-sama mendapat enak. Libido tersalurkan, mendapat kenikmatan berupa finansial, lagi!”

Namun, suatu ketika dia berpikir bahwa dia benar-benar beruntung memiliki seorang selingkuhan seperti Marisa. Sebab perempuan itu sangat sayang dan begitu gematinya kepadanya. Marisa selalu memanjakan Alfian dengan memenuhi semua permintaan yang menjadi keinginan dia. Marisa membelikan Alfian ponsel dengan kiriman pulsa per minggunya, sandang, serta pangan.

Dan yang lebih mengejutkan, ketika perempuan itu membelikannya satu unit motor besar. Kehidupan Alfian benar-benar terasa tercukupi berkat Marisa. Namun, dia akan menangis jika suatu kali mengingat, bahwa dia mendapatkan semua itu dengan cara yang kotor dan hina. Sebab dia harus mengorbankan keperjakannnya hanya untuk menjadi lelaki simpanan Marisa.

***

SUATU malam, saat Alfian dan Marisa tengah kencan di suatu tempat, Alfian benar-benar telah dimanjakan oleh perempuan itu. Mereka mabuk berat setelah menenggak minuman beralkohol. Di tengah kealpaan mereka, tiba-tiba seorang pria yang barangkali seusia Alfian tengah berdiri di ambang pintu tempat mereka berkencan. Lelaki itu nampak memasang raut bengisnya. Ketika itu, Alfian masih menyadari kedatangan seorang itu. Namun, tidak begitu dengan Marisa, perempuan semok itu benar-benar telah terlelap dalam buaian alkohol.

“Kau bukan lagi Mamaku! Sungguh, sifatmu teramat menjijikkan!” ujar seorang lelaki yang tengah berdiri gagah di ambang pintu. Alfian yang masih sadar tentu mendengar ucapannya. Namun, Alfian tak habis pikir, kenapa lelaki ini bisa masuk? Bukankah di luar ada dua bodyguard yang senantiasa menjaga kami?

Alfian melihat lelaki itu mengepalkan tangannya. Rautnya terlihat bengis. Lantas dia berjalan ke arah Alfian & Marisa, lalu mengambil botol miras yang tengah terserak di meja. Diayunkannya botol itu tepat ke arah kepala Marisa. Alfian seketika menjerit dan berlari dari dekapan perempuan itu. Sekonyong-konyong botol itu telah terhempas dan membentur kepala Marisa. Perempuan itu seketika langsung terkapar dengan kepala bersimbah darah. Beberapa saat kemudian, perempuan itu berkelejatan. Sekejap saja, tubuh lunglai itu telah meredam nyawa. Marisa mati.

Lelaki yang telah membunuh Marisa itu berhamburan ke luar ruangan. Secara spontanitas Alfian langsung memeluk tubuh perempuan seligkuhannya, Marisa. Dengan sisa tenaga yang dia punya, Alfian lalu menghambur ke luar dan melarikan diri.

Sehari setelah kejadian itu, beberapa kali kostan Alfian disatroni oleh bodyguard Marisa. Semula dia sudah menebak jika kedua lelaki itu pasti akan mengejarnya. Sebab dia pasti mengira jika Alfianlah yang telah membunuh Marisa. Mengetahui jika jiwanya terancam, latas dia berpindah kost. Untuk kedua kalinya, kuliah Alfian kocar-kacir.
Aku kasihan padanya. Sungguh!

***

“KAU gila, Al! Kau benar-benar sudah sinting! Kenapa kau bunuh perempuan yang sudah mencukupi materi di kehidupanmu?” aku berkata dengan berapi-api.

“Bukan aku yang membunuhnya, Dik!” Alfian mengelak tuduhanku. “Sudah berkali-kali kujelaskan kalau putranya sendirilah yang membunuhnya,” tambahnya.

“Tapi kau tidak ada bukti, Al,” kataku lagi. Alfian terpekur kecewa.

“Ya, satu-satunya cara, kau harus menemui anak perempuan itu, kau bujuk dia untuk mengakui perbuatannya di hadapan polisi!” tambah Lea, sahabat kami.

“Kalau dia menolakku?” tanya Alfian putus asa.

“Terpaksa, kau harus menyerahkan diri ke pihak berwajib. Sebab daripada kau terus dihantaui oleh bayang-bayang kejaran polisi dan kaki tangan perempuan itu!” kataku. Mendengar ucapanku, tentu saja membuat Alfian semakin tertekan. Sebab dia tidak mungkin menyerahkan diri kepada Polisi, karena dia tidak bersalah!

“Ingat, Al, kalau kau merasa tidak bersalah, kau harus bisa tegar dan tidak gentar menghadapi kejaran Polisi. Sebab aku yakin, Tuhan akan memberikan jalan. Aku yakin itu. Jadi, mengapa tidak kau serahkan dirimu kepada polisi saja? Kau jelaskan semuanya! Aku yakin, polisi juga punya hati, maka dia akan mendengarkan penjelasanmu, dan pasti polisi akan mencari tahu kebenaran dari kejadian tersebut,” kata Lea memberi saran. Tetapi, Alfian malah semakin geram dan kebingungan. Sebab dia tidak tahu lagi dengan apa yang harus dia lakukan.

“Perlu kalian ketahui, terasa sulit bagiku untuk menyerahkan diri kepada Polisi!” ujarnya. Kemudian, dengan beringas Alfian langsung memacu langkah, pergi dari tempat pertemuan dengan kami—kedua sahabatnya—di sebuah pemukiman kumuh di Kota Jakarta.

***

SETIAP hari Alfian selalu dihantui dengan teror kedua bodygurd Marisa dan juga pihak kepolisian. Dia benar-benar bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Dia benar-benar tidak tahan jika harus menjalani kehidupan yang bergerilya seperti ini. Dia semakin terasa tidak bebas dan tertekan. Apa bedanya dengan kehidupanku saat bersama dengan kedua orang tuaku?

Mendengar kabar yang tidak mengenakkan tentang Alfian. Ayahnya nampak marah besar. Menurut Lea, ayah Alfian benar-benar menghujatinya dengan berbagai perkataan yang menyudutkan. Sang mama hanya menangis tersedu-sedu memikirkan nasib si anak sulungnya. Terkadang perempuan itu selalu menyalahkan suaminya karena telah menentang keinginan dan telah mengusir Alfian. Tetapi tetap saja sang suami malah balik memarahi perempuan paruh baya itu.

Benar saja, barangkali jalan satu-satunya Alfian harus menyerahkan diri kepada pihak kepolisian. Dia bertekad akan mengungkapkan semuanya. Dia berkeyakinan, jika dia pasti akan dibebaskan. Sebab dia tidak bersalah.

Akhirnya, Alfian ke luar dari persembunyiannya. Menyusuri gang kumuh dan melalui beberapa anak-anak kampung yang sedang bermain dengan cerianya. Dan ketika sampai di sebuah halte, dia dikagetkan dengan suara tembakan dari arah depan. Sejurus kemudian, Alfian merasakan satu peluru timah menembus dada sebelah kirinya. Perlahan, matanya terpejam. Dan akhirnya, bayangan tentang penderitaan hidup telah menghilang, dan hanya ada bayangan tentang keabadian dibenak Alfian, sahabat karibku.[]

Tidak ada komentar: