[REVIEW ALBUM] Foster the People, Memuat Sisi Buruk Kapitalisme dalam "Supermodel"

Art cover album Supermodel
Akhir 2010 silam, Foster the People mencetak sebuah hit single yang berhasil melejitkan nama grup band asal California ini di kancah musik dunia, “Pumped Up Kicks”. Berselang 8 bulan sejak tanggal rilis single pertama, Foster the People meluncurkan debut album berjudul Torches, yang juga berhasil diterima oleh para penikmat musik di seluruh dunia. Dari debut album yang diluncurkan, saya mulai tertarik untuk mengulik lebih dalam tentang grup band yang digawangi oleh Mark Foster tersebut. 

Surprisingly, saya sangat jatuh cinta dengan keseluruhan lagu yang dimuat dalam album tersebut—terlebih, saya terpikat dengan musik mereka yang lebih bayak mengusung aliran indie, alternative rock, hingga electronic. Sejumlah track seperti, “Helena Beat”, “Call It What You Want”, “Don’t Stop (Color on the Walls)”, dan “Houdini” menjadi nomor lagu yang paling saya favoritkan, selain “Pumped Up Kicks”—lagu-lagu tersebut juga berturut-turut menjadi single di album Torches. Bahkan, berkat debut album mereka, Foster the People dinominasikan dalam Grammy Award 2012, yakni di kategori Best Alternative Album dan Best Pop Duo/Group Performance untuk “Pumped Up Kicks”, serta Grammy Award 2013 untuk “Houdini” di kategori Best Short Form Music Video. 

Tiga tahun setelah Torches rilis, band yang beranggotakan Mark Foster, Cubbie Fink, dan Mark Pontius ini merilis sophomore album berjudul Supermodel pada 18 Maret 2014 silam. Sama seperti album sebelumnya, pengaruh indietronic juga melekat di album Supermodel. Hanya saja, di album kedua tersebut, nuansa elektronik terasa sangat kuat—bahkan, beberapa lagu terinspirasi oleh melodi khas Afrika. 

Supermodel memuat 11 track yang direkam di sejumlah kota, seperti Maroko dan Malibu. Bahkan, mereka menggunakan sebuah portable studio untuk merekam sejumlah demo lagu, dan dikerjakan dalam kegiatan tur dunia mereka di tahun 2012. Sejumlah lagu dalam Supermodel, jelas memperlihatkan bahwa Foster the People mencoba membuka peluang untuk menunjukkan “sisi lain” dari musik yang selama ini mereka usung di album pertama, seperti terdengar dalam track pembuka album, “Are You What You Want to Be?” yang terdengar memadukan musik khas Afrika dan rock sebagai inspirasinya. 

Meski begitu, ada lagu-lagu yang berperan sebagai penghubung untuk para penggemar album pertama mereka, seperti dalam track berjudul “Best Friend” dan “Coming of Age”. Awalnya, dari sejumlah track dalam Supermodel, saya begitu memfavoritkan 2 judul tersebut—mungkin karena saya begitu mengagumi warna musik yang ditampilkan Foster the People dalam Torches sehingga janggal bagi saya untuk mendengarkan “sisi lain” Foster the People yang diwujudkan dalam sejumlah lagu selain 2 track tersebut. 

Namun, tidak. Setelah mendengarkan dengan saksama, saya bisa menikmati “sisi lain” itu. “A Beginner's Guide to Destroying”, “Are You Want You Want to Be?”, “Ask Yourself”, “Nevermind”, dan “Pseudologia Fantastica” menjadi track yang paling sering saya putar selain 2 track yang saya sebukan di atas. 

“Best Friend” menjadi nomor lagu yang paling saya favoritkan. Lagu yang dirilis sebagai single kedua ini jelas menampilkan “rasa” Foster the People seperti pada debut mereka. Lagu ini menampilkan paduan genre musik yang beragam, beberapa di antaranya dance pop, funk, darkwave, serta indie pop. Dan, sepertihalnya “Pumped Up Kicks”, lirik lagu ini mengusung kisah yang gelap; tentang teman-teman terdekat yang kecanduan narkoba. Mungkin, “Best Friend” akan menjadi besar seperti “Pumped Up Kicks”—atau setidaknya bisa melesat di Billboard Hot 100. 
 
“Coming of Age”, lead single ini menampilkan musik era ’80-an sebagai inspirasinya. Dengan melodi dan paduan suara yang mengesankan, “Comin g of Age” seakan selalu terjebak dalam kepala saya sejak pertama kali mendengarnya; ya, saya kecanduan untuk memutarnya hingga berkali-kali sejak pertama rilis—meskipun, dalam hal chart, lagu ini tak sesukses "Pumped Up Kicks".

Mark Foster dalam sejumlah wawancara juga menuturkan bahwa album mereka mendapat pengaruh dari The Clash, The Kinks, David Bowie, hingga musik Afrika Barat sebagai inspirasinya. Bahkan, Mark Foster menggambarkan Supermodel dengan kata “marah”; hal tersebut ditegaskan dalam sebuah wawancara, bahwa saat menulis materi untuk album tersebut, Foster mengaku dalam kondisi marah ketika melihat “penindasan” yang dilakukan para penguasa dunia. “Penindasan” yang dimaksud tersebut, kemudian menjadi tema besar dalam album ini: konsumerisme dan sisi buruk dari kapitalisme. 

Supermodel menjadi album yang begitu mengesankan karena Foster the People berhasil menampilkan sisi lain yang mengagumkan. Selama lebih dari 3 tahun, mereka melakukan berbagai tur dunia untuk promosi album pertama dan mencari “sesuatu” untuk kemudian diwujudkan dalam album kedua. Dengan Supermodel, Mark Foster pernah mengemukakan dalam sebuah wawancara, bahwa tujuan album ini adalah untuk tidak membuat orang-orang menyukainya, melainkan untuk memberikan “rasa” bagaimana menjadi dirinya—sebagai (salah satu) pengumpul materi (dan pencetus) Supermodel yang sebagian besar mengandung kemarahan tentang apa yang mereka dapatkan ketika melawati masa tur dunia.[]

Tentang Hati yang Berbunga Sejak Pertemuan Pertama

Dear, B…. Masih ingatkah tentang aku, 
seseorang yang duduk di hadapanmu dengan raut canggung 
dan selalu mencuri pandang untuk menatap mata indahmu? 

Kita bertemu di satu malam yang riuh. Kamu datang tak sendiri; ada dua temanmu yang sangat cerewet dan berusaha mengajak ngobrol dengan perbincangan random. Pun denganku, saat itu datang bersama dua teman yang merupakan temanmu—saat itu, kamu, teman-temanmu, dan teman-temanku memang berjanji untuk bertemu. 

Kamu tahu, B, saat pertama melihat tatapanmu yang hangat, duniaku seakan melesak; kamu berhasil membuatku canggung sekaligus berdebar-debar. Kamu memiliki mata yang sangat indah, aku tak bohong tentang itu. Terkadang, saat kita saling bertatapan, detik itu juga aku seperti kaku. Terlebih, saat kamu lebih dulu mengulurkan tangan sembari menyebutkan namamu, seketika itu juga aku seperti tak punya daya untuk sekadar mengangkat tangan demi menyambutmu. 

Kamu dan aku duduk berhadapan di sudut sofa yang bersisian dengan etalase kaca. Saat itu, meski kita bersama empat teman lain, tetapi fokusku hanya pada kamu, kamu, dan kamu. Mungkin, kamu tak menyadarinya, tapi aku selalu berharap bahwa kamu menyadari tentang sikapku tanpa harus kunyatakan langsung. 

Aku masih berpura-pura menutupi kecanggunganku, ketika kamu tiba-tiba mengambil sebuah buku yang kugeletakkan di atas meja. The Age of Miracles oleh Karen Thompson Walker, buku itu yang kamu ambil tanpa seizinku. Dari situ, kamu mulai tertarik untuk memulai sebuah perbincangan denganku. 

Kamu bilang, ingin menjadi penulis roman. Namun, karya yang kamu hasilkan malah fantasi—dan aku ingat, kamu terkekeh ketika mengucapkan kalimat itu. Sementara aku juga tak mau kalah untuk mengungkapkan impianku di dunia kepenulisan. Kubilang, aku juga menyukai roman. Namun, saat ini aku sedang fokus untuk membuat cerita-cerita pendek yang ingin kukirimkan di koran-koran nasional. 

Kamu tersenyum mendengar impianku. Dan, ketika salah seorang temanku menyebut bahwa aku adalah seorang editor (yang pernah “menangani” fiksi), kamu semakin tertarik untuk mengulik tentangku—ya, kan? Kamu bilang, apakah suatu saat aku bersedia membaca dan mengomentari tulisan-tulisanmu? Jelas kujawab, iya. 

Dan, malam merangkak dengan cepat. Perjumpaan kita juga harus berakhir. Tapi yang kuingat, saat kamu hendak pergi, kali itu kamu menjabat tanganku sembari melayangkan tatapan hangat, dengan bibir merah yang kedua ujungnya ditarik untuk membentuk satu senyuman yang sangat menawan. Aku hampir pinsan malam itu! 

Dear, B.... Kira-kira, kapan kita bisa jumpa lagi? 
 Saat pertemuan itu, 
jelas, aku canggung buat nanya begitu.