Cicak di Dinding Kuning


Malam ini ada cicak kawin di dinding kamar saya. Sebelumnya, saya mengamati kedua pasangan cicak itu sedang berkejar-kejaran di dinding kuning yang terpapar luas. Seakan ketika mengamatinya, saya sedang menonton kisah pecintaan di sebuah bioskop. Dan yang saya bayangkan, saya sedang menonton film India. Dinding kuning itu sebagai layar monitornya, sedangkan kedua cicak itu adalah aktor yang menghibur saya. Bagai Kajol dan Syahrukh Khan yang berkejar-kejaran dan sedang berputar-putar di sebatang pohon sembari menyanyikan “Kuch Kuch Hota Hai”. Ah, tapi saya harus realitis. Sebab yang saya amati cuma sepasang cicak (yang hendak kawin).

Memang sejak beberapa hari ini, entah mengapa, cicak itu selalu ada bersama saya disaat saya sedang galau sembari mengurung diri di dalam kamar. Bahkan anehnya, kedua cicak itu sampai berani-beraninya turun ke lantai dan tanpa takut masuk ke dalam plastik putih yang berisikan makanan yang baru saja saya beli dari Alfamart di sebelah tempat kost saya. Aneh memang. Tapi saya biarkan cicak itu mengorek-koreknya, sampai plastik tersebut bergerak-gerak dan berbunyi.

Born This Way


I’m beautiful in my way/ Coz God makes no mistake/
I’m on the right track/
Baby, I was born this way//


[Lady Gaga]



Saya selalu menyukai sebait lirik tersebut. Menceritakan tentang kebebasan pandangan terhadap kesempurnaan seseorang. Saya sadar, saya hidup di lingkungan yang kerap mengkotak-kotakkan segala kesempurnaan berdasarkan apa yang dianggap lingkungan benar: cantik itu harus berkulit putih, tampan itu harus berpostur ideal, wanita cantik itu harus begini, pria tampan itu harus begitu. Ah, begini-begitu, hanya ilusi! Hmm.


Sebenarnya, apa yang dipikirkan masyarakat tersebut memang ada benarnya. Tapi bagi saya, parameter cantik atau tampan tidak hanya berdasarkan pandangan tersebut. Menurut saya, cantik itu bisa berkulit hitam atau putih. Tampan itu bisa berpostur ideal atau bahkan cenderung kurus―seperti saya. Tapi buktinya, puluhan atau bahkan ratusan iklan menciptakan pandangan bahwa kecantikan atau ketampanan itu seperti apa yang mereka ciptakan.


Saya penah mendengar, bahwa di dunia ini kenyataan adalah ilusi yang kita ciptakan sendiri. Dan kata teman saya, “hanya orang bodoh yang sampai percaya dengan ilusi yang diciptakannya.”


Saya sadar, bahwa industri iklan terus menciptakan hasrat (creating desire). Hasrat yang sebelumnya tidak disadari oleh wanita atau pria lokal. Hasrat yang sebelumnya tidak diketemukan dalam benak mereka. Hasrat yang nggak penting dan baru jadi penting ketika ada ilusi yang menawarkan “anda bisa jadi begini kalo pake ini!” Wooahh!


Dari Dian Sastro sampai Mariana Renata, dari Rio Dewanto sampai Darius Sinatria, dari Sex and the City sampai Desperate Housewives, dari Britney Spears sampai Lady Gaga. Dan siapapun itu yang berhasil menciptakan hasrat kebanyakan wanita dan pria Indonesia untuk bisa memiliki kulit putih, tubuh langsing atau ber-six-pack, dan rambut lurus, adalah seorang marketer hebat yang pastinya sekarang sudah sugih.


Lewat iklan, hasrat pun jadi sebuah mimpi yang terlaksana. Merasa putih setelah memakai Ponds White, merasa tampan setelah pakai Vaselin Men, merasa mapan setelah punya Clear Card Citibank, merasa dekat (maaf, bukan mirip) dengan Dian Sastro setelah memakai Loreal, merasa disayang suami dan mertua saat beli sabun cuci Surf.


Hasrat tak akan berhenti selama kita masih bisa menciptakannya. Tak ada api tak ada asap. Tak ada iklan tak ada keinginan. Sampai kapanpun mungkin keinginan manusia terus dipermainkan dan di-upgrade setinggi-tingginya oleh iklan. Seperti halnya kecantikan lokal itu yang kini sepertinya mengalami upgrading yang luar biasa, dari kuning langsat (Citra tahun 1988) sampai putih bersinar (Citra White).