Lights

Kemarin, aku sempat mengeluh atas apa yang terjadi. Menyalahkan diri dan kehidupan. Bahkan, Tuhan pun turut menjadi sasaran untuk disalahkan.

Sebab, beban yang kurasa menjadi begitu berat karena keberhasilan yang selalu tertunda. Aku sempat berhenti tertawa, pikiranku mengembara dalam ruang gelap. Menangis dalam genangan duka.

Duduk bersila, tangan menengadah, sembari mulut berkomat-kamit memohon keadilan. Dengan derai air mata, memanjat doa, berharap Tuhan mengabulkan pinta.

Namun, apakah itu cukup?

Ternyata, tidak.

Ratapan hanya akan menjadi rantai yang terus menghambat langkah kaki. Adanya masalah bukan untuk dipuja dan ditangisi. Namun, agar mengingatkan kita untuk selalu waspada. Membuat kita bangkit dan kembali pada sesuatu yang telah kita rintis. Karena dasarnya, masalah hadir sebagai proses pendewasaan.

Yakinlah, jalan hidup setiap orang berbeda: ada yang terus-menerus nyaman dalam dekapan hangat, ada pula yang harus terjatuh dalam kobaran duka.

Namun, kini aku percaya, setiap beban dan kesukaran akan ada jalan. Cukup berikan ruang pada perasaan, dan biarkan insting dasar kita yang bicara.[]

Saya Orang yang Mudah Di-bully, Katanya.

Beberapa waktu lalu, dalam keadaan saya yang sedang kacau karena mengerjakan beberapa hal dalam sekali waktu—menyicil skripsi dan mengedit naskah—saya menerima telepon dari seorang sahabat. Awalnya, saya tak ingin meladeninya terlalu lama. Mengingat, saya harus segera membereskan beberapa pekerjaan saya tersebut. Namun, saya tak bisa menolak ketika sahabat saya tersebut menceritakan perasaan sukacitanya karena telah berhasil menyabet gelar sarjana.

Saya turut bahagia, meskipun dalam hati saya sedikit iri (dan saya menjadi terpacu) karena sampai detik ini, proses skripsi sidang saya masih tertunda. Saya juga meminta maaf pada sahabat saya tersebut, karena ketika sidang saya tak bisa datang. Seperti yang sudah saya duga, dia memaklumi saya.

Akhirnya, saya meluangkan waktu. Dan, kami berbicara panjang lebar. Dia bertanya bagaimana dengan pekerjaan saya. Saya bilang, “Gue sangat menikmati pekerjaan gue.” Lalu, hal yang membikin saya tercenung adalah saat mendengar dia bertanya, seperti ini, “Kamu nggak di-bully, kan?”

Jujur, saya benar-benar terkejut mendengar pertanyaan itu. Mungkin, karena dia sahabat saya, sehingga banyak tahu tentang diri saya. Namun, hingga sekarang saya tidak mengerti apa modus dia bertanya seperti itu.

Sebelum menjawab pertanyaannya, saya tercenung sebentar. Saya malas menjawab pertanyaan itu, sehingga saya menimpali pertanyaannya dengan pertanyaan, “Kenapa lo nanya gitu?”

“Karena lo tipe orang yang gampang di-bully....”

Deg! Jantung saya seperti berhenti berdetak. Awalnya, saya pikir dia cuma bercanda. Namun, sepertinya tidak. Saya cuma terdiam medengar kalimat jujurnya. Mungkin, kalau di atas kepala saya ada tutup teko, barangkali tutup itu sudah terjatuh sangking tidak kuatnya menahan panas. Namun, saya tak bereaksi apa-apa. Dia sahabat saya, mungkin dia hanya mengkhawatirkan saya, batin saya.

Lalu, dia bercerita banyak hal; tentang saya. Yang saya ingat, selain ia bilang bahwa saya adalah tipe orang yang gampang di-bully, ia juga banyak memuji banyak hal tentang saya—dia memang tak berubah sejak dulu. Namun, entah mengapa, hal yang membuat saya kepikiran hingga sekarang adalah pernyataannya tentang saya yang mudah di-bully

Saya menyadari. Benar-benar menyadari dan menganggap pernyataan sahabat saya itu ada benarnya. Saya sempat mengingat masa lalu saya. Dan, ya, ada satu kesimpulan yang sebenarnya tak pernah benar-benar saya sadari sejak dulu, bahwa: Bully itu bagian hidup saya, dia mengiringi pertumbuhan saya sejak kecil hingga sekarang. Menyedihkan! 

Saya bahkan pernah berusaha  menilai diri saya sendiri; apa yang salah dengan diri saya? Dan, sesungguhnya saya menemukan banyak sisi negatif dalam diri saya (meskipun saya percaya, setiap orang tidak mungkin terlahir sempurna): tidak tegas, penakut, dan tidak percaya dengan diri saya sendiri. 

Menemukan tiga hal negatif tersebut, saya kembali berusaha untuk mengubah diri saya: yang mulanya terkenal sebagai sosok ceria dan cerewet, sekeras hati saya redam---dan masih banyak hal lain yang saya lakukan, sehingga saya tidak lagi menjadi saya. Sampai sekarang, saya malu menampilkan kembali diri saya yang ceria dan gampang berbaur, karena takut di-cap sebagai seorang lelaki yang banyak omong (atau ke-wanita-wanitaan). Ah, banyak hal, sebenarnya. Intinya, seharusnya yang saya lakukan adalah bertindak tegas, berani, dan percaya dengan kemampuan diri---tanpa mengubah "esensi" saya.

Namun, kini, ketika mengingat (dan merasakan kembali) tindakan bully itu, tidak lantas membuat saya terpuruk dalam kekecewaan, tapi sebaliknya: Saya bangga dengan diri saya, dan akan tetap menjadi saya. Saya yakin, setiap manusia diciptakan dengan keunikan masing-masing, dan yang harus saya lakukan adalah menjaga keunikan saya dan mengikis energi negatif yang (jika saya tidak mengantisipasinya) akan semakin menebal seiring pertumbuhan saya menjalani tahap kedewasaan.