Tampilkan postingan dengan label Catatan Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Buku. Tampilkan semua postingan

Catatan Buku #9: Little Bee


Bagaimana rasanya bila hidup di bawah bayang-bayang kekerasan dan kerusuhan di sebuah kota, hingga kita bermigrasi pada satu negara yang akan dengan senang hati menjebloskan kita ke penjara? Dan bagaimana pula rasanya mengorbankan jari tengah ditebas golok baja demi menyelamatkan nyawa seorang yang tak pernah kita kenal sebelumnya?

Kisah mengerikan tersebut dapat kita rasakan dalam novel ‘Little Bee’ karangan Chris Cleave yang dialihbahasakan oleh penerbit GagasMedia.

Secara umum, plot novel yang saat pertama diterbitkan di Inggris dengan judul ‘The Other Hand’ ini menggambarkan sudut pandang dari dua karakter berbeda, yakni gadis Nigeria bernama Little Bee yang pernah ditahan di pusat penahanan negara Inggris sebagai imigran gelap, dan Sarah O’Rourke, seorang editor majalah di Inggris yang menghadapi berbagai kesulitan dan memiliki banyak kenangan buruk.

Hanya melalui bab pertama, novel ini mampu mengaduk emosi pembaca dengan mengoarkan nuansa dramatis dan mengharukan. Salah satu tokoh utamanya, Little Bee, menunjukkan keberanian dan kekuatan dalam menjalani kehidupan yang kurang beruntung. Little Bee memiliki kehidupan yang sulit saat tumbuh di Nigeria. Dia bermimpi memiliki hidup yang harmonis di Inggris, sehingga ia tak perlu khawatir lagi jika tempat tinggalnya dan seluruh kota mendapat teror, pemboman, atau bahkan ketakutan tentang kematian karena kelaparan dan kehausan.

Di Inggris, ia hanya tahu dua orang yang dikenalnya selintas dari tragedi saat di Nigeria, yakni sepasang suami-istri, Sarah dan Andrew. Sarah―yang juga tokoh utama dalam novel ini―bertekad memotong jari tengahnya setelah diancam seorang lelaki yang akan membunuh Little Bee. Jika ia tak melakukannya, Little Bee, seorang gadis asing di matanya itu akan mati.

Untuk itulah, ketika Little Bee dibebaskan dari penahanannya, hal pertama yang ia lakukan mencari Sarah O’Rourke pada sebuah alamat yang ia dapatkan dari dompet Andrew―yang tak sengaja ia temukan di tempat tragedi. Hingga pada akhirnya Little Bee menemukan Sarah. Namun lima hari sebelum kedatangannya, Andrew telah lebih dulu mati gantung diri.

Pada akhirnya, Sarah dan Little Bee setuju untuk saling membantu. Kenangan buruk yang ditanggung Sarah dan Little Bee, menghubungkan mereka dalam ikatan persahabatan dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan!

Novel ini sungguh mengagumkan. Mampu melemparkan peristiwa mengejutkan di sepanjang cerita. Sehingga menjaga pembaca untuk tertarik mengulik kisah hingga usai. Cleave juga menulis cerita dalam dua perspektif sudut pandang yang berbeda tanpa membingungkan: dari Sarah ke Little Bee, dari Little Bee ke Sarah. Mengagumkan! [Zuma]

Catatan Buku #8: I Didn’t Lose My Heart, I Sold It On Ebay!


KESAN pertama saat saya melihat buku ini di rak Gramedia Merdeka, Bandung adalah mengenai judul buku yang lumayan njelimet kalau dieja (soalnya terlalu panjang): I Didn’t Lose My Heart, I Sold It On Ebay!. Bagi saya pribadi, judul ini keren, unik, menarik buat saya ikuti. Apalagi saya suka buku-buku sejenis ini: kumpulan prossa dengan pembahasan yang pendek namun berkisah panjang (seperti sub judul untuk buku ini: Kumpulan Cerita Pendek Berkisah Panjang).

“I Didn’t Lose My Heart, I Sold It On Ebay!” memuat 32 cerita pendek yang memiliki kekhasan sendiri. Ada banyak makna yang terkandung. Dan lagi, buku ini mengungkap banyak hal yang sering terjadi di keseharian kita. Dan sesuatu hal yang diungkap dalam kumpulan prossa ini, terkadang tidak terduga. Apalagi dipadu dengan jalan cerita yang mengalir dan terkesan tidak berbasa-basi, saya semakin jatuh hati untuk membaca kisah dalam buku ini hingga selesai.

Saya suka dengan cerita “Berakhir Bahagia”, “Sorry, Hero, Dia Tak Pernah Melihatmu”, “Let Me Kill Your Boyfriend”, “Sang Putri dan Seorang Ksatria”, bagi saya kisah-kisah tersebut benar-benar menarik dan berakhir dengan ending yang tidak terduga. Meski pada dasarnya, saya menyukai semua imajinasi Fajar Nugros dalam “I Didn’t Lose My Heart, I Sold It On Ebay!” ini. Sebab ketika membaca tulisannya, saya pikir Fajar memang menulis dengan/dari hati.

Banyak kisah yang menceritakan tentang patah hatinya seorang lelaki, sehingga saya berpikir, barangkali setiap tulisan dalam buku ini adalah hasil curahan hati penulisnya. Hmmm… mungkin saja! Tapi yang pasti, saya sangat terhibur ketika membaca buku “I Didn’t Lose My Heart, I Sold It On Ebay!” ini, sebab setiap kata dalam kumcer ini benar-benar mengalir dan seperti berloncatan begitu saja. Sehingga saya yakin, setiap pembaca akan semakin menikmati narasi dalam buku ini. Seperti halnya saya.

Catatan Buku #7: Ini Rahasia


PERTAMAKALI saya lihat buku ini, saya mengirta jika “Ini Rahasia” adalah sejenis novel ber-genre domestic drama atau mainstream romance. Tapi saya salah, sebab ternyata novel setebal 268 halaman ini ber-genre teen romance. Karena itu, sebenarnya saya sedikit kecewa, berhubung saya tidak suka novel dengan genre teen. Tapi ya sudahlah, saya sudah terlanjur membeli. Dan saya coba nikmati saja.

Novel ini menceritakan tokoh Tari—seorang anak SMA yang memiliki sifat sedikit tomboy, pemberani dan gila bola—yang merupakan manajer tim sepak bola di kelasnya. “Ini Rahasia” juga mengangkat tema yang nggak lagi asing, yakni cinta. Di mana tokoh Tari diam-diam menyukai kakak kelasnya yang bernama Rudi, yang dia pandang mirip dengan pemain bola dari Belanda idolanya, Ruud Van Nistelrooy.

Hmmm… menurut saya, ceritanya cukup ramai. Alurnya rapi dan cukup terkonsep. Tokoh-tokohnya juga tereksplore dengan baik. Cuma, saya rasa ada beberapa bagian novel yang membikin saya bosan ketika membaca. Dan lagi, ada bagian novel yang berusaha melucu, namun terkesan garing. Sehingga saya nyengir bukan karena apa yang penulis ceritakan lucu, tapi justru karena “garingnya” itu. Hehe… Memang sih, urat tawa orang berbeda-berbeda, sepertihalnya definisi lucu dan konyol menurut saya.

Dan saya pikir, covernya kurang mendukung sama isi novelnya. Iya, memang lucu dan imut. Tapi rasa-rasanya, covernya malah terkesan dewasa dan tidak memenunjukkan bahwa novel ini bergenre teen. But, secara keseluruhan, novel ini bagus kok. Bahasanya juga tidak terlalu berat, sehingga saya merekomendasikan novel ini buat kamu para pecinta teenlit—terlebih, buat kamu yang penggila bola.

Happy reading!!

Catatan Buku #6: Lupakan Palermo


SEJUJURNYA, hal utama yang membikin saya tertarik buat membeli buku ini yaitu, ketika saya membaca sinopsis yang tertera di bagian sampul belakang novel, seperti ini: “Aku bukanlah laki-laki kuat. Di suatu masa, di antara hari-hari tanpa dirinya, aku melakukan sesuatu yang kelak akan kusesali semumur hidup. Hatiku mendua….”

Bagi saya, kalimat tersebut mengena di hati saya. Sebab, curahan hati saya sudah terwakilkan oleh 3 kalimat tersebut. Apalagi penulisnya adalah duo laki-laki: Gama Harjono & Adhitya Pattisahusiwa. Saya berkeyakinan, pasti novel tersebut akan lebih menarik jika ditulis atas dasar imajinasi dua orang laki-laki—yang notabenenya, tokoh utama dalam novel tersebut juga seorang laki-laki.

Hmmm… seperti yang saya duga, novel ini benar-benar menarik. Bagi saya pribadi, sangat menyukai buku-buku dengan setting yang tidak sering diangkat oleh kebanyakan novel-novel yang beredar. Sedangkan Lupakan Palermo sendiri, merupakan sebuah novel dengan setting yang begitu memikat—apalagi penulisnya mampu mendeskripsikan narasinya secara detail mengenai kota tersebut—yakni Palermo, suatu kota yang berada di Sisilia, Italia.

Pada intinya, Lupakan Palermo mengkisahkan seorang anak SMA dari Indonesia yang bernama Reno, yang sedang mengikuti program beasiswa di Palermo, Italia. Di sana, dia tinggal satu rumah bersama Mirella—yang selalu mendampingi dan menuntun Reno.

Di Indonesia, Reno memiliki seorang kekasih bernama Maya. Sehingga menyebabkan mereka harus menjalin hubungan longdistance. Namun, ketika berada di Palermo, Reno akhirnya dekat dengan seorang gadis cantik yang bernama Francesca, yang sampai pada akhirnya membikin Reno jadi kepincut. Sehingga membikin dia menjadi dilema: antara menjaga janjinya kepada Maya untuk selalu setia kepadanya, atau semakin mengagumi Francesca sehingga ia bakal tenggelam dan jatuh hati?

Lupakan Palermo adalah sebuah novel yang menurut saya sangat menarik. Meskipun ada beberapa catatan-catatan khusus yang membikin novel ini sedikit tidak sempurna—sebab terdapat kalimat/kata yang tidak konsisten, ada beberapa bagian novel yang berasa boring—namun, saya yakin, novel ini bukan hanya sekedar novel dengan cerita kosong belaka, tapi bagi saya, syarat makna. Dan juga menginspirasi banyak pembaca dengan ragam deskripsi yang memikat mengenai Italia, terutama Palermo.

Menurut saya, citarasa bahasa untuk novel ini benar-benar pas dan memikat. Dengan pengembangan karakter tokoh yang sesuai (barangkali karena tokoh untuk novel setebal 401 halaman ini tidak banyak, sehingga memudahkan pembaca untuk mengidentifikasi dan mengingat secara langsung bagaimana karakter tokoh-tokoh dalam cerita novel ini). Pada akhirnya, saya menegaskan kembali pendapat saya: bahwa saya cukup terhibur ketika mengikuti perjalanan Reno dalam sebuah novel perjalanan, “Lupakan Palermo” ini.

Selamat berburu “Lupakan Palermo”, bagi Anda yang tertarik.... :)

Catatan Buku #5: Mendamba


Gue udah baca buku ini beberapa waktu lalu ketika mudik. Dan, sampai sekarang gue belum sempat me-review-nya. Well, maaf kalau gue cuma ngasih 2 bintang buat novel ini. Karena ceritanya bener-bener bikin bosen.

Sejujurnya, gue udah lama nunggu buku ini terbit. Dan gue tahu pertamakali novel ini saat penulisnya gencar sekali mempublikasikannya di Facebook. Gue suka banget sama cover-nya: unik dan terkesan nggak basa-basi. Apalagi pas gue baca sinopsisnya, gue bener-bener tertarik bangets. Soalnya bahasa sinopsisnya menarik gue buat beli , seperti ini:

Ada persoalan yang belum tuntas di antara kita. Bukan, bukan dendam. Hanya tanda tanya besar mengapa kau meninggalkanku di saat aku paling membutuhkanmu. Aku marah, kesal, dan kecewa. Namun, semua itu tertutupi hangat cinta yang masih menyala-nyala dalam hatiku.

Setiap malam aku berdoa, suatu saat bisa mendengar suaramu lagi. Aku mendongakkan kepala ke langit, berharap kau melihat rembulan yang sama denganku. Kemudian aku menutup mata, takut waktu membuatku keburu melupakan raut wajahmu.

Sebut aku sentimentil, tapi aku sungguh merindukanmu.

Apa kau juga begitu?


Keren kan bahasa dan pembahasan sinopsisnya? Tapi, pas gue tengok isinya, aduhaiiii.... kok begitu-begitu amat?! Beda banget antara yang ada di sinopsis sama isi novelnya. 

Catatan Buku #4: Balada Ching-Ching


DARI sekian nama penulis baru, Maggie Tiojakin adalah penulis yang paling gue favoritkan. Meski gue juga baru baca satu buku karya dia. Namun, karena ia mempunyai imajinasi yang kuat, sehingga membikin gue rada kepincut sama tulisan-tulisan dia. Apalagi, Maggie membikin setiap tulisannya---dari 13 cerita---dengan menyuguhkan narasi-narasi yang mengalir, kalimatnya cukup cerdas dan gue kira secara garis besar, buku ini menyodorkan peristiwa sehari-hari yang tampak nyata dan sering terjadi di sekitar kita, namun sarat makna.

Actualy, gue baru kali ini membaca karya Maggie. Dan dari ke-13 buku "Balada Ching-Ching" ini, gue PALING suka "Liana, Liana". "Dua Sisi". "Obsesi". Meskipun cerita-cerita yang lainnya pun cukup menarik. Barangkali akan gue review lebih lanjut. Dan mencoba lebih meresapi serta membahasnya lebih dalam. :)

Catatan Buku #3: Rain Affair


Sudah lama gue ngincer novel Rain Affair. Tapi, lagi-lagi gue harus mengalah untuk membeli buku menarik lain, ketimbang buku ini. Ada banyak pertimbangan memang. Selain masalah budjet yang kurang, sebab gue juga pernah dikasih tahu temen, bahwa mereka ngerasa terkecoh antara desain sampul sama isi ceritanya.

Well, kalau untuk gue pribadi sih jujur, emang pertamakali beli buku ini karena tertarik sama kover-nya. Unik. Imut. Lucu. Dan manis (dan gue selalu suka desain GagasMedia yang kreatif begitu). Dan typography-nya pun cukup pas dan membikin kover jadi lebih menarik. Gue beri jempol deh buat kovernya.

But, kita sering denger kan pepatah seperti ini; don't judge a book by it's cover. Dan gue rasa itu bener. Actually, gue juga ngerasa hal yang sama seperti yang pernah temen-temen gue sampaikan, bahwa buku ini nggak semenarik kover-nya. Menurut gue ceritanya standar. Basi. Dan udah sering diagkat oleh penulis lain.

Well, novel ini sebenernya menceritain tentang Lea, sosok gadis yang bener-bener gandrung dengan cowok yang namanya Noah (dalam hati gue selalu menghujat perempuan seperti Lea, yang bener-bener bego banget cuma gara-gara rasa yang bernama cinta. Sampai gue selesai ngebaca buku ini, sumpah, gue bener-bener geram dan bukan ngerasa kasian sama Lea. Sebab tuh cewek emang bego menurut gue, mempertahanin cowok yang udah jelas-jelas nggak sayang sama dia. Dihhh… kayak nggak ada cowok lain aja). Yup, Noah bersikap begitu sama Lea, karena ternyata dia terpaksa pacaran sama Lea karena Rissa, kakak Lea. Dan sampai pada suatu hari, Lea bertemu Nathan, sosok cowok yang pernah dia temui di tengah hujan pada suatu kesempatan satu tahun silam. Dan di akhir cerita, Lea jadian sama Nathan.

Gue rasa temanya terlalu basi. Sebab kalau gue tarik sesimpulan dari novel tersebut seperti ini: bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Menurut gue sih cara penceritaannya juga membosankan dengan alur maju-mundur dan terkesan dipanjang-panjangin. Duh, bikin pusing! Dan akhirnya males-malesan mau bacanya. Jujur, gue aja ngelarin novel itu sampai hampir 2 mingguan. Ckck…

Sebenernya gue sih suka aja dengan tema seperti ini, asal punya sesuatu yang beda dan lebih nendang ketimbang novel yang sudah ada. Tapi, pada kenyataannya novel ini gue nilai biasa. tapi menurut gue jalan ceritanya terlalu dipanjang-panjangin dan jadi ribet gitu.

Tapi, penulis mengakhiri bagian novel ini cukup manis, dan berakhir dengan happy ending. Serta ada sebuah kesimpulan dari akhir novel tersebut, seperti yang udah gue ceritakan di atas, "bahwa cinta itu tidak bisa dipaksakan". Aihhh… meski gue pikir, kesimpulan seperti itu udah basi!!

Catatan Buku #2: Karena Kita Tidak Kenal


Judul buku : Karena
Kita Tidak Kenal
Penulis : Farida Susanty
Penerbit : Grasindo

Cetakan : 1, 2010

Jumlah halaman : V + 199 hal

Harga : Rp. 39.900

Honest, ada banyak pertimbangan yang menjadikan gue sosok plin-plan untuk memutuskan membeli buku ini. Tapi, yang pasti, hal yang membikin gue terdorong untuk membelinya adalah, bukan karena judul, cover, synopsis atau nama penerbit, melainkan karena ketertarikan gue sama award yang pernah diterima sang penulis (tapi bukan karena nama penulisnya. Sebab gue sendiri nggak pernah baca tulisan-tulisan sang penulis sebelumnya): pemenang Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007, Kategori Penulis Muda Berbakat (Hmmm… ini adalah satu ajang di dunia kepenulisan yang gue sendiri kepengen bisa jadi salah satu peraih nominasinya ). Plus, karena waktu itu Grasindo sedang mengadakan diskon yang lumayan gede untuk seluruh buku-buku terbitannya. (haha… ketara perhitungan!)

Well, kalau dibaca lebih teliti, secara konsep, buku ini cukup keren (seperti yang tertera di sampul belakang buku): membahas tentang orang asing, tentang keterasingan seseorang terhadap diri sendiri, membagi rahasia dengan orang asing, mencoba menarik orang asing, dan mempengaruhi hidup orang-orang asing. Uppss… awalnya gue sempat bingung, sebab di cover belakang buku (lebih tepatnya di sisi atas barcode/ISBN) buku ini bergenre “novel remaja”, tapi, setelah gue perhatikan dengan seksama, ternyata, buku ini memuat antologi cerpen. Ehemm… bukan masalah sih, yang terpenting, gue suka sama konsep untuk buku ini (yang bikin gue kecewa, sebab konsep ini sudah digagas oleh Farida terlebih dahulu, padahal gue juga sedang mengembangkan konsep serupa untuk antologi catatan kecil tentang diri gue).

But, meski gue suka konsep buku ini, tapi gue nggak musti tertarik sepenuhnya sama isinya. “Karena Kita Tidak Kenal” memuat 16 cerpen (not novel remaja!), yang keseluruhan ceritanya tetap konsekuen sama konsep cerita: tentang orang asing. Hmm… dari ke-16 cerpen, entah mengapa gue ngerasa bahasa bertutur sang penulis sedikit berbeda antara cerpen satu dengan yang lain: maksudnya beberapa cerpen berbahasa santai anak muda, namun, beberapa di antaranya mengangkat persoalan diluar konsep lain buku ini; untuk remaja. Bisa gue comotkan (upss!) contoh di #1 Bagaimana Cara Menarik Orang Asing, dengan #8 Pemakaman. Gue kira cerpen #1 dengan #8 sangat berbeda segmentasi. Kalau cerpen #1 memang tentang remaja, tetapi untuk cerpen #8 agaknya untuk segmentasi dengan tingkatan yang agak tinggi: dewasa muda.

Sepertinya, cerpen #1 Bagaimana Menarik Orang Asing merupakan cerpen andalan penulis (sebab hal itu diakui oleh sang penulis seperti yang tertulis pada bagian akhir buku: bagian Q&A). Ya, gue juga bisa membaca kesan itu. Sebab cara Farida bertutur cukup mengalir khas anak muda. Meski gue rasa, cerpen itu sederhana namun syarat makna. Dan kisah yang ditulis memang realitas sering dialami oleh para pengguna situs jejaring sosial Friendster di masa itu (termasuk gue).
Keren!
Tapi, entah kenapa gue lebih suka cerpen yang #6 Culik dan #12 Musik.
Sebab cerpen “Culik”, ketika membaca itu, gue merasa harus berfikir di akhir cerita. Meski sebenarnya ada satu hal yang tidak logis dari cerita. Masa, sih, anak sekecil itu (laki-laki) sudah tahu kasih sayang (selayaknya suami-istri) dengan sang penculik (laki-laki)? Hah?

Dan kalau gue boleh menyimpulkan cerita tersebut, menurut imajinasi gue; “si Alexa memang sengaja ingin diculik sebab dia muak dengan kehidupan di rumahnya (dengan ayahnya yang perfeksionis dan selalu menekannya secara fisik atau psikis, dsb), sehingga dia memilih untuk diculik meski sang penculik pernah memukul, menendanginya (walau sang penculik juga tidak tega), sampai akhirnya ketika Alexa dilepaskan oleh sang penculik, dia malah memilih untuk semalam bersama dengan sang penculik ketimbang pulang. Pada intinya, Alexa menginginkan penculikan itu.”

Tapi, ada satu kalimat yang membikin gue terus berkutat dan bertanya-tanya adalah tentang ini (kalimat narasi yang diutarakan oleh sang penculik mengenai kisahnya dan Alexa); “setelah perceraianku, aku tidak pernah merasakan pelukan tulus seperti yang dia lakukan padaku malam itu. […] Aku tidak akan mengatakan apa pun untuk menghancurkan keluarga itu.” (hal. 80). Hmmm...Maksudnya? Barangkali Farida menginginkan pembaca bertanya-tanya ketika selesai membaca cerita ini. Gue rasa, dalam cerpen ini dia berhasil melakukan itu.

Bagaimana dengan cerpen yang berjudul “Musik”?

Hahaha… gue bener-bener suka kreasi Farida dalam memunculkan petikan-petikan lagu karya musisi yang gak gue kenal: Paris Harrington. Siapa? Hmm… setelah gue searching, nggak ada tuh yang namanya Paris Harrington atau lagu yang judulnya New York City (yang ada, judul lagu itu dinyanyikan oleh Norah Jones, dengan lirik yang berbeda). Ternyata, Farida pintar, ya, membikin dan mengkolaborasikan imajinasi?! I like it! Termasuk dalam cerpen “Alice in Wonderless Land”, satu cerpen hasil imajinasi yang unik mengingatkan gue pada satu film karya sutradara Tim Burton yang pernah melesat menjadi box office beberapa bulan lalu: Alice in Wonderland. Dan yang pengen gue tanyakan sama penulis (sebab membikin gue penasaran): Siapa sih Paris Harrington? (Hmmm... ini gue yang bego dan terlalu "kampung", atau memang Paris Harrington itu satu nama musisi rekaan?) *kalau suatu saat ada jawaban dari penulisnya, barangkali gue akan langsung merevisi resensi ini*

Satu lagi cerpen yang bikin gue kalang kabut mengartikannya. Bukan karena susah mencerna bahasa yang disajikan, tapi, gue ngerasa ada satu makna dari cerpen yang sedikit "bolong", dan akhirnya gue—yang bukan ahli huruf Kanji—berusaha dengan keras untuk mengartikan judul cerpen yang senantiasa ada di setiap bagian cerita #10 ini: 死 (yang berarti Shine/kematian. Oalaaahhh...). Satu hal yang pengen gue tanyain ke penulisnya; kenapa setiap membikin simbol dalam cerpen, nggak pernah dikasih penjelasannya (atau catatan kaki) tentang simbol yang ingin disertakan dalam cerpen itu? Sebab ketika menggunakan simbol (huruf kanji) tanpa ada penjelasan mengenai arti simbol itu, akan sangat menyusahkan pembaca untuk memperdalam makna cerita dan gue yakin hanya beberapa pembaca yang mengetahui kanji itu langsung dan akhirnya bisa menyerap makna cerita. Mungkin kalau alasannya, karena pengen pembaca bertanya-tanya/penasaran, lantas memutar otak untuk mencari makna dari sebuah simbol tersebut, mungkin itu bisa dimaklumi. Sebab memang Farida berhasil melakukan itu. Hehe...

Sebenarnya, gue juga suka sama cerita #5 Rahasia. Menarik. Sebab memberikan pencerahan psikologi bagi remaja yang pernah melakukan hubungan “itu”. Tapi, hmmm… ya itu, lho, ada beberapa bagian cerita yang nggak konsekuen dan terkesan aneh. Sebab dalam cerpen “Rahasia” ini, dikatakan bahwa Ardia sudah punya cowok, tapi kenapa dia merasa bahwa nggak bakal ada cowok yang suka sama dia? (mungkin itu tentang psikologi dia, kali, ya? Rada bingung nyernanya. Padahal bahasa yang ditulis juga nggak ribet. Intinya, harusnya gue mudah mencernanya).

Dan lagi, seperti yang tertulis di hal 62, di situ dideskripsikan bahwa Ardia adalah sosok yang kurus, tapi sejak awal, kan, diceritakan bahwa Ardia itu merasa gemuk, seperti dialog di halaman 57 berikut ini; “Aku benar-benar gemuk, dan kakiku seperti batang pohon. Sumpah deh, besar sekali. Aku harus turun beberapa kilo lagi.” Oh, atau mungkin Ardia merasa dirinya masih gemuk, namun padahal sebenarnya (tanpa disadarinya) dia kurus? Ehemmm…

Dan juga, kalau gue perhatikan di halaman 64 (masih di cerpen “Rahasia”), seperti ini: […] gadis itu mengangkat bahu dan melanjutkan. “Itu benar-benar menyiksa. Saya benci diri saya,” katanya, memalingkan diri dari kaca. “Lalu suatu hari…. Saya bertemu laki-laki ini.Nah, pada dialog ini tidak jelas, siapa yang ditunjuk sebagai “laki-laki ini” yang pernah ditemuinya (entah sosok lelaki yang sekarang menjadi tempat curhatnya, ataukah Aksa, kekasih Ardia?). Tapi, sepertinya (jika ditilik lebih lanjut dari dialog-dialog selajutnya) yang gue tangkap, Ardia mendeskripsikan “si laki-laki” itu sebagai pacarnya sekarang, Aksa. Seharusnya, gue bersaran agar ada pemotongan (atau setidaknya sedikit revisi) cerita di bagian ini, sebab gue rasa bagian ini yang merusak jalan cerita sampai akhir cerpen “Rahasia” selesai.

Kenapa?

Karena seharusnya, kata-kata “saya bertemu laki-laki ini” dibarengi dengan menunjukkan nama/foto Aksa, kekasihnya (kalau dicerna dari segi bahasa dan penekanan dialog, memang seharusnya Ardia menunjukkan sesuatu tentang lelaki yang tengah dibicarakan olehnya). Kalau sudah begitu, otomatis si Om langsung tahu, bahwa si kekasih Ardia itu adalah anak kandungnya sendiri (seperti yang diceritakan di akhir cerita).

Tapi, oleh sang penulis, cerita ini tetap dituliskan hingga akhir dan klimaksnya adalah penulis memberitahukan bahwa (dan gue nggak menduganya) kalau sosok yang diceritakan oleh Ardia (kekasih yang telah merenggut keperawanannya, karena dia satu-satunya laki-laki yang menganggapnya cantik, dan otomatis Ardia tidak mau kehilangan satu-satunya laki-laki di dunia yang mengatakan bahwa dia cantik. Karena hal itu, lantas dia tetap melanjutkan hubungan “itu”, namun kali ini bukan hanya dengan kekasihnya semata, tetapi juga dengan sahabat-sahabat kekasihnya) adalah anak kandung si Om, sosok orang asing yang sejak berada di dalam kereta mengajaknya curhat.

Sehingga cerpen ini terkesan rancu di tengah cerita dan menyebabkan cerpen tidak konsekuensi hingga di akhir cerita. Namun, sebenarnya bisa jadi itu bukan suatu kesalahan yang besar. Sebab jika kita membaca sekilas dan tidak menganalisa per kata dengan benar, memang dialog itu tidak akan mengganggu ritme cerita. Tentu, jika kita benar-benar menganalisa lebih dalam cerita, kesalah tersebut akan menjadi fatal dan merusak jalan cerita yang (sebenarnya) sudah dikonsep cukup bagus.

Memang, barangkali kelemahan antologi ini adalah cerita yang seharusnya masih bisa diedit, diolah, diperbaiki kualitasnya agar (lebih) layak baca. Tapi bukan berarti kualitas isi dari cerita yang ditawarkan penulisnya tidak bagus, malah, gue beranggapan bahwa konsep dan isi cerita yang ditulis sangat bagus dan menginspirasi.

Tapi, gue salut, sebab cerita dalam antologi ini (salah satunya cerpen RAHASIA) sangat menginspirasi, dan memiliki soul yang meracau liar. Sehingga benar, Farida sepertinya telah membekali setiap cerpennya dengan nyawa yang membikin seseorang bisa mematahkan makna tentang keterasingan—

—Sebab, pasti banyak dari kita yang menganggap bahwa menjadi asing itu menyedihkan. Sendirian, nggak punya teman. Memang, menjadi asing lebih banyak merupakan hal yang menyedihkan, tetapi nggak selalu begitu. Bahkan yang lebih menyedihkan “orang asing” itu nggak sebatas pada kesendirian. Ada orang yang menjadi asing bahkan bagi dirinya sendiri. Nggak sadar siapa yang dilihatnya saat bercermin. Orang-orang yang secara (nggak) sadar membiarkan hidupnya berada di bawah kehendak orang lain. Padahal meskipun orang lain itu orang tua kita sendiri, tentu saja kita yang lebih berhak memilih sendiri masa depan seperti apa yang ingin kita miliki, bukan?

Dan ada beberapa cerpen yang dialognya membekas dalam benak gue adalah ketika gue membaca dialog tokoh Indina dalam cerpen “WWS” (nah, gue gak tau nih arti dari judul cerpen ini apa) dan dialog yang dituturkan oleh Rio, si anak yang tidak mempercayai agama (ateis) dalam cerpen “Tuhan”:

[…] ”Hey, aku juga nggak kenal kamu, tapi aku nggak takut sama kamu. Aku malah sudah ingin menganggap kamu adik. Tahu nggak? Nggak ada yang namanya orang asing di dunia ini. Nggak ada orang yang pantas disebut orang asing di dunia ini. Pada dasarnya mereka bakal menganggapmu sebagai keluarga juga kalau kamu mau membuka diri pada mereka,”[…] “Kamu… nggak pernah sendiri." (hal. 160)

[…] “Siapa sih Tuhan buat lo? Paling juga Tuhan Cuma orang asing buat lo, kayak orang lain. Yang ngelakuin ritual ini itu tapi nggak ngerti juga mereka nyembah siapa[…]” (hal. 91)

Nah, jadi, karena kita tidak kenal, maka, terimalah sebuah resensi dari seorang asing. Dan dalam menulis, ingatlah, kita harus tetap berpengangteguh seperti kata-kata berikut: “Siapapun yang melempar wacana ke masyarakat mesti bersedia menanggung risiko atas segala tanggapan, dipuja maupun dihujat—dan itulah ukuran kedewasaannya.” (Seno Gumira Ajidarma)

Catatan Buku #1: Catatan Kecil Tentang Dia (Sebuah Catatan Kecil Tentang Guruku)

Sebenarnya sejak lama saya menunggu kehadiran buku mungil bersampul merah tersebut. Sebab saya tidak sabar untuk melihat kali keduanya karya saya dipublikasikan dalam sebentuk buku.

Dan kemarin, saya menerima paket dari GagasMedia berupa dua amplop warna orange dan satunya lagi amplop putih yang ketiganya direkatkan menjadi satu bagian. Setelah saya menerima paket tersebut lantas saja saya buka, sebab penasaran mengenai apa isi dari paket tersebut.

Sedikit terkejut sebenarnya ada, sebab paket yang dikirim untuk saya adalah empat ekselempar buku bersampul merah dengan judul, “Catatan Kecil Tentang Dia”. Dengan sedikit kegembiraan yang menyemburat pada diri saya, lantas saya langsung dengan tidak sabarnya membaca buku tersebut. Saya baca dengan seksama setiap tulisan yang tertera pada cover buku itu, dan dengan telitinya menamati keunikan cover buku Catatan Kecil Tentang Dia.

“Inilah sebuah persembahan sederhana bagi dia, sang pahlawan tanpa tanda jasa.” Begitulah sebuah kalimat yang saya baca pada bagian belakang cover buku tersebut. Benar sekali, buku tersebut adalah sebuah persembahan yang begitu memikat dari kami—para peserta didik—teruntuk sang guru.

Setiap cerita ditulis dengan bumbu bahasa sesuai karakter sang penulisnya masing-masing. Sehingga menghasilkan rasa yang begitu menggugah selera baca. Apalagi dikemas dalam sebuah buku dengan cover yang unik dan cantik.

Di setiap bagian cerita, ditulis oleh sang pengarang dengan penuh apa adanya. Cerita yang mengalir begitu haru dan lugu. Penuh kesederhanaan namun tetap bergizi untuk di baca. Sebab buku ini mengandung banyak vitamin ilmu yang begitu menginspirasi buah pengalaman yang terjalin antara sang penulis dan para pendidik.

Jujur saja, dari semenjak diumumkannya pemenang Sayembara Menulis Tentang Guru GagasMedia 2008 lalu, saya tidak sabar untuk cepat membaca karya pemenang lain. Dan ketika saya baca satu per satu, sebenarnya saya sedikit manyun dan iri, sebab saya menilai bahwa karya para pemenang lain jauuhhh lebih bagus ketimbang dua karya saya. Mereka sepertinya benar-benar menulis dengan hati. Sehingga tidak heran jika karya yang mereka persembahkan begitu menyentuh dan penuh inspirasi. Saya banyak menemukan kisah menarik dan begitu memikat dari karya rekan yang lain.

Bahkan, kemarin ketika saya mengirimkan paket yang berisi dua ekselempar buku “Catatan Kecil Tentang Dia” tersebut kepada guru pembimbing favorit saya di SMA. Saya juga melampirkan surat yang diantaranya berisi tentang saya yang tengah berkecil hati, sebab karya saya banyak disaingi oleh generasi penulis—yang saya akui begitu hebat—dalam buku kumpulan cerita tersebut. Namun, saya sadar, bahwa saya tidak sepatutnya berkecil hati, sebab seharusnya saya bukan malah bertindak seperti itu, tetapi seharusnya saya menjadikan pengalaman ini sebagai suatu hal yang berarti demi kemajuan karya saya.

Saya berucap salut kepada para penulis dalam buku tersebut. Mereka memang hebat, mampu meracik kata yang menarik sehingga menjadikan kisah mereka jadi lebih berbobot. Ditambah lagi dengan adanya pengalaman-pengalaman selama menjadi siswa yang menambah karya mereka kaya akan gizi bagi asupan pengalaman bagi pembaca. Sangat benar jika buku ini bukan hanya untuk para pelajar saja, namun, lewat buku ini, para guru pun bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah yang kami tuturkan.