Pemenang Sayembara Penulisan Untuk Guru


alhamdulilha. akhirnya namaku keluar sebagai salah dua (iya, coz dua karyaku memenangi lomba menulis untuk guru ini) liat aja pemenang nomor satu dan dua! he he, bagi temen-temen yang selama ini gak tahu dengan nama asliku, yupzzz, inilah nama asliku! Jumali. Jyumanlee Johnsy itu cuma sebagai nama penaku, ya!

Terima kasih kepada semua yang sudah mengirimkan karyanya :)

Di antara banyak karya yang terkirim, karya-karya yang menyandang predikat pemenang adalah sebagai berikut:

1. Pak To, Sang Guru
Karya Jumali
SMAN 3 Unggulan Kab. Oki, Sumsel

2. Watashiwa To Sensei; Guruku, Sahabatku
Karya Jumali
SMAN 3 Unggulan Kab. Oki, Sumsel

3. Terima Kasih Bu Yun
Karya Bella Adisty Ira Pratiwi
SMPN 20, Malang

4. Jurus Maut Hidupku dari Seorang Paruh Baya
Karya Fina Ghoisi Ardillah
SMAN 9 Malang

5. Kenapa Harus Bohong, Bu?
Karya Dzulhida Purnama
SMAN 1 Marabahan, Kalsel

6. Guru Manjaku, Bidadariku
Karya Syukron Niam
SMP Smart Ekselensia Indonesia, Bogor

7. Seperti Ilmu Padi
Karya Ratri Dwifajar Purwani
SMA Bakti Mulya 400 Tangearang

8. Mr. M
Karya Tia Rizkina Anggraeni
SMAN 3 Jambi

9. Boringness makes me love
Karya Eka Jatiningsih
SMK Telkom Sandhy Putra Jakarta

10. Guruku Yang Baik
Karya Yuni Uswatun Khasanah
SMAN 1 Bantul

11. Pak Sabar Guru yang Sabar
Karya Nanda Fildza
SMA Institut Indonesia, Semarang

12. Dia Yang Tlah Pergi
Karya Herisma Yanti
SMA Islam Nurul Fikri Boarding, Pekanbaru

13. Aku Ditakdirkan Bertemu Guruku
Karya Marcella Benita Wiyana
SMAK 5 BPK Penabur

14. The Best Rain on My world
Karya Ariny Rahmawati
SMA Negeri Mojoagung

15. Mama s My Mom
Karya Fitria Sis Nariswari
SMA Negeri Mojoagung

16. Seperti apa sih Guru Baik itu
Karya Dina Sagita Hartono
SMP Katolik Santa Maria 1, Malang

17. Pak Tigor yang Kujahili
Karya Chyntia Dewi Gunawan
SMA Santa Angele Bandung

18. Pagelaran Seni Martyr DX
Karya Dita Oktamaya
SMAN 46 Jakarta

19. Guruku Sukaharta
Karya Sora Riyanti
SMAN 3 Denpasar

20. Tentang Guruku
Karya Sekar Dewantari
SMP Islam Dian Didaktika, Jakarta

21. Guruku ibu Thres
Karya Cynthia Novelia
SMP Cendana Pekanbaru

22. Pahlawan Super tanpa kekuatannya
Karya Miftah Afif Mahmuda
SMA Muhamadiyah 1 Gresik

23. Thank You Mrs. Ria
Karya Riris Vita Al Fiah
SMA 1 NU Gresik

24. Kepada Yang Terhormat, Guruku
Karya Aril Andika Virgiawan
SMAN 3 Malang

25. Pegal Pinggangku Demi Dirimu
Karya Iyas Abdurrahman
SMP Smart Ekselensia Indonesia

Untuk info lebih lanjut, silahkan hubungi Resita, di 7888 3030 ext 202, atau email ke resita@gagasmedia.net

Salam,
GagasMedia

Merah Itu Indah


Saat kubuka mataku. Pertama kali yang kutatap ketika itu adalah langit-langit ruangan tempat tubuhku terbaring. Semua nampak berwarna merah. Kemudian, kuputarkan mataku menuju ke sekelilingku. Merah. Tak lama kurasa hatiku mulai berbungah. Aku berada di dalam sebuah ruangan yang semuanya serba merah, sampai-sampai tempat tubuhku terbaring pun merah warnanya.

“Ya, inilah nampaknya tempat impian abadi!” gumamku, tapi tak lama kemudian ada satu suara yang tiba-tiba membuyarkan pandanganku.

“Oh, syukurlah ternyata Anda sudah sadar,” ujar seorang suster yang tengah akan mengganti infusku. Aku tercenung.

“Suster, saya di mana sekarang?” tanyaku.

“Bapak sekarang berada dirumah sakit,” ujarnya, sedangkan aku tambah terbelalak. Bagaimana mungkin rumah sakit memiliki suasana seperti ini. Merah. 'Akh, aku rasa suster itu berbohong, kurasa saat ini aku bukan berada di rumah sakit. Ya, mana ada rumah sakit seperti ini? Full merah! Kalaupun ini benar rumah sakit, berarti ini adalah rumah sakit pertama yang pernah kutemui dengan suasana yang penuh warna merah!’ ujarku.

“Maaf suster, apakah ini benar-benar rumah sakit?” tanyaku dengan benak yang masih tak percaya. Sedangkan suster cantik itu, sejenak tampak tercenung, memandangku aneh.

“Maaf, Bapak, ini memang benar rumah sakit!” ujar suster itu.

“Tapi, apakah suasana ruangan ini memang dirancang dengan penuh warna merah?” tanyaku lagi.

“Maksud bapak?” suster itu makin tak mengerti.

“Maksud saya, ini adalah rumah sakit teraneh yang pernah saya temui! Ya, sebab semua sudut ruangan ini didekorasi dengan menggunakan warna hidup saya, merah!” jelasku pada suster itu, tapi lagi-lagi suster cantik itu hanya terbelalak menatapku heran.

“Maaf, Bapak, warna mana yang bapak maksud berwarna merah di ruangan ini?”

“Dindingnya, plafonnya, ranjang ini, dan pintu itu...,” jelasku. Suster itu kembali mengerutkan keningnya. Kulihat raut mukanya sedemikian bingung.

“Maaf, Pak, barangkali Anda masih belum terlalu sehat, sehingga jadi sedikit ngawur seperti ini,” kata sang suster.

“Apa maksud suster?” tanyaku.

“Ya, Bapak salah mendeskripsikan warna ruangan ini! Dinding yang Anda bilang berwarna merah itu sebenarnya berwarna hijau muda, sedangkan langit-langit dan ranjang ini warnanya putih!” ujar suster itu menjelaskan. Sedangkan aku, lagi-lagi hanya terbelalak.

*

Aku terlahir bernama Firman. Masa kecilku terbilang cukup menderita. Aku berasal dari koloni kaum pengemis, keluarga dan seluruh kerabatku pun juga pengemis. Pengemis tanpa ilmu. Pengemis penadah tangan, pelepak tempurung belah, tapi aku bukan gelandangan.

Pengemis adalah julukan yang cukup membanggakan bagiku. Sekalipun demikian, aku bercita-cita tinggi untuk dapat meraih bintang. Dari mbah kakungku, aku memperoleh warisan puluhan buku bermutu buah karya masa lalu. Semua sampul buku itu berwarna merah.

Menurut mbah kakungku, dulu, merah adalah lambang keberanian, perjuangan, kecerahan, dan bukan hanya cinta, tapi merah juga bisa melambangkan kemarahan. Tapi, pada intinya merah itu indah!

Ketika beranjak remaja, di dalam dadaku tumbuh tekad besar yang terus bergenderang menggebu. “Ya, aku ingin jadi penerang bangsa ini. Aku mau jadi presiden,” begitu tekadku malam itu. Entah pengaruh apa kemauan itu lahir. Tapi, yang pasti keesokan harinya aku langsung bergabung bersama kelompok aktivis pro demokrasi. Aku tak lagi menjadi pengemis. Tapi, aku telah menjadi seorang aktivis. Melakukan berbagai demonstrasi. Membawa yel-yel penuh jiwa semangat, kertas karton yang bertulis tentang penolakan, kemauan, atau berbagai macam kata yang menyangkut tentang demonstrasi yang tengah terjadi, atau malah berjerit meneriakkan kebenaran dan kemauan.

Ketika aku menginjak usia 33, aku dipilih menjadi pemimpin kelompok ini. “Ini negara otokrat, diktator. Kita menolak semua itu. Mari kita berjuang untuk rakyat. Dan aku adalah pemimpin kelompok ini. Ya, akulah pemimpin kalian. Maka, segala sesuatu yang berkaitan dengan kelompok ini, aku yang memutuskan!” ujarku dengan karas.

“Mulai sekarang, nama kelompok kita adalah Merah!” ujarku berapi-api ketika masih diberi kesempatan untuk mengutarakan sambutanku di depan kelompokku. Maka sejak saat itu, aku mulai merancang semua atribut untuk memerahkannya.

*

Hari ini, aku merencanakan demonstrasi besar-besaran untuk mengutuk pemerintah diktator dan meminta pemimpinnya turun dari jabatan. Tentu atas persetujuan dari berbagai pihak dalam kelompokku.

Sejak hari itu, berbagai pers langsung sigap dan dengan gencarnya memberitakan rencana besar kami. Sedangkan kelompok pro presiden, turut menyiapkan barisan.

“Mereka semua merah. Mudah kita kenali dan mudah mengidentifikasi mereka. Maka, jika mereka marah dan mengeluarkan kekasarannya, maka kita babat saja mereka selayaknya membabit rumput-rumput liar...,” ujar komandan laskar pro-presiden dengan penuh berapi-api.
Esok harinya, kami melaksanakan niat yang sudah tertata rapi ini. Kami tahu, sang diktator, presiden itu sebentar lagi mendarat dibandara. Lapisan pengamanan kepresidenan itu demikian ketat tak akan mudah kami tembus. Tapi, nampaknya tekad kami sudah memerah.

Sampailah kelompok kami pada tempat yang akan dituju. Pusat komando angkatan udara negara sudah pada berjaga. Setelah melakukan dialog, yang hasilnya tak memenuhi harapan, maka konflik keras pun menelan korban. Tak lama kemudian, semuanya—baik dari kelompok yang kupimpin ataupun kelompok laskar pro presiden—saling beradu. Kusaksikan benar, kalau kawan-kawanku semuanya jatuh. Mereka banyak yang tersungkur, terjungkal, diantaranya banyak yang mengaduh, adapula yang diam bergelimpangan, akibat pertemupran diatara dua kubu ini. Sebisa mereka, ada yang menembak, memukul, menendang, menujah dan... membabit, sehingga karena hal itu, lapangan ini akhirnya menjadi sebuah arena yang penuh memerah.

Sedangkan aku, sebagai seorang pemimpin tak hanya diam. Ya, aku akhirnya ikut berlaga dalam pertempuran ini. Hingga akhirnya, aku tersungkur, kepalaku terasa hancur, seribu kunang-kunang beterbangan di atas kepalaku. Aku masih tersadar sedikit, tapi hanya ada warna merah yang mewarnai pandanganku.

“Merah itu indah!” ujarku. Perlahan, mataku terpejam. Dan akhirnya, bayanganku tentang merah menghilang, selanjutnya hanya ada bayangan tentang keabadian dibenakku.***


ASPA, 250508, 22.16wib

pernah di publish di blog gagasmedia edisi juni 2008

Astaganaga!; sebuah pengalaman pemakai kosmetik coba-coba

Biarpun keliatannya kayak gembel, gue nggak bakalan pernah ngakuin kalau kulit gue ini legam. Coba aja deh buka pallete color di program grafik photoshop komputer. Keterangan warna yang sama dengan warna kulit gue sebenarnya adalah cokelat—yang manis. Ya, kayak cokelat dari Swiss itu lho, hehe... Biar begitu, terkadang gue juga rada resah dan gelisah juga, karena ternyata penyebaran warna kulit gue yang nggak merata ini. Punggung tangan, kaki serta lengan tangan gue warnanya cokelat. Tapi agak naik dikit ke lengan bagian atas, betis, paha dan bagian dalam tubuh gue masih cokelat juga, cuma lebih terang. Bukan karena di sana ada lampunya, tapi mungkin karena jarang terkena sinar matahari. Sayangnya wajah gue termasuk ada di bagian yang terbuka. Karena sering terkena sinar matahari, debu, asap knalpot dan polusi udara lainnya, wajah gue pun menjadi gelap. Memang sejak kecil sampai gue tumbuh sebesar ini, kehidupan gue selalu saja pahit dan penuh kata getir. Dari mulai hinaan temen-temen tentang wajah gue yang teramat culun banget. Banyak juga yang bilang kalau gue mirip dengan bintang film ’The God Must Be Crazy’. Kamu tahu film itu? Film yang menceritakan sang lakon yang berasal dari pedalaman Afrika yang berkeliling keseluruh penjuru negara dengan tingkah crazy-nya.

”Astaganaga! Benarkah begitu?”

Tadinya gue pikir, sebagai cowok nggak masalah kalau penampilan gue biasa-biasa aja gini. Asal kaya, pinter, dan perhatian, maka cewek pun akan mau menerima gue. Namun sayangnya gue nggak menuhin semua kriteria tadi. Cewek-cewek jaman sekarang ternyata lebih suka cowok yang terlihat bersih dan rapi. Kayak cowok-cowok blasteran yang sering muncul di iklan dan sinetron di Televisi. Oleh sebab itu berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan berabad-abad lamanya gue ngejomblo. Dunia percintaan gue seret. Jarang banget ada cewek yang mau deket ama gue, kecuali kalau lagi ada yang butuh tempat curhat karena abis diputusin sama pacarnya, atau sebagai tempat latihan cewek sebelum nembak cowok yang ditaksirnya. Gue cuman jadi pihak yang pasif, sama sekali nggak kreatif. Secara naluri, gue juga butuh seseorang untuk disayangi dan menyayangi gue. Gue pun mulai mempertimbangkan untuk makeover. Mengubah penampilan gue abis-abisan dari sebentuk gembel, jadi sebentuk gembel yang sedikit lebih bersih dan rapi. Inspirasinya sih datang dari temen-temen asrama gue sendiri.

Ceritanya, salah satu temen satu asrama gue ada yang mirip banget sama Antonius Caseda—model Aneka Yess!. Kulitnya putih, hidungnya nggak terlalu mancung—cukup sedang untuk ukuran orang Indonesia, tapi dia agak kurusan. Namanya Arif. Arif yang lebih muda beberapa hari dari gue ini rajin banget merawat diri. Meski nggak banci, kosa kata produk kecantikannya nggak kalah lengkap dari petugas salon banci yang seperti di belakang shopping Kayuagung itu. Orang-orang nggak perlu heran kalau seminggu sekali dia luluran—di kamar mandi, sendiri, bukan diluluri banci salon. Tiap pagi Arif rajin pake pemutih wajah sebagai pengganti bedak dan malamnya pake susu pembersih. Dan kalau mau pergi, hukumnya wajib bagi dia untuk pakai pewangi. Kalau parfum favoritnya yang bisa bikin cewek-cewek jadi klepek-klepek itu abis, dia jadi kelimpungan. Untungnya gue punya banyak persediaan minyak kayu putih dan balsem otot untuk menenangkannya.

Ternyata nggak si Arif saja yang rajin merawat diri, teman gue yang lain juga sama saja. Juga pada demen pakai kosmetik. Harus kita akui, dewasa ini keberadaan cowok-cowok metroseksual semakin marak. Gue serasa ketinggalan jaman, dan hidup gue serasa seperti Tarzan. Terlalu apa adanya. Lantas, gue pun nanya-nanya ke mereka, gimana biar kulit wajah dan tubuh gue bisa dibikin lebih putih. Tapi jangan pakai ampelas atau dempul tentunya.

“Pake kosmetik yang bisa bikin putih dalam empat Minggu itu aja, Lee!” kata Arif.

“Betul.” sambut yang lain. “Tapi itu aja nggak cukup. Elo juga mesti luluran. Coba deh pakai lulur ”Putra Mas Ganteng”!” ujarnya bijaksana. Seolah semua masalah cowok jomblo yang berkonsultasi padanya dikarenakan mereka belum pernah pakai pemutih merek norak itu. Gue akhirnya mengikuti saran mereka. Berbagai pemutih kulit yang ada di iklan TV gue coba semua. Dari yang katanya bisa mencerahkan dalam enam minggu sampai yang bisa memutihkan hanya dalam 14 hari. Tapi ternyata nggak ada satu pun yang sesuai dengan iklannya. Kulit gue tetap cokelat gelap. Cewek-cewek masih nggak bisa ngelihat gue dengan takjub. Gue yakin cewek cakep yang jadi model iklan itu udah putih dari sononya. Mungkin pas lahir kecemplung di kolam cat. Gue curiga iklan itu cuman trik kamera atau edit video saja. Kayak yang biasanya gue lakuin dengan foto gue yang ada di komputer. Tinggal di-photoshop—tampang gelap jadi terang, baju ijo jadi biru, wajah jerawatan jadi mulus. Sayangnya Photoshop nggak bisa dipakai dalam kenyataan. Kalau bisa... weleh-weleh... praktis banget hidup gue.

“Lee, lo bener-bener pengen jadi putih?” tanya si Marlina, pacar temen gue yang akhir-akhir ini kelihatan lebih chubby dan putih. Pasti kosmetik yang dipakainya cespleng. Gue mengangguk bersemangat. Mungkin ada cara lain untuk memutihkan kulit tanpa harus memakai kosmetik. Gue udah capek. Si Marlina mengeluarkan sebuah krim pemutih dari dalam tasnya. Warna krimnya putih. Gue langsung menyernyitkan dahi dan bibir gue tertarik ke bawah. Yang pasti gue bukan lagi senam muka. ’Kosmetik lagi?’ batin gue.

”Kyen Yen!” kata gue setelah membaca merek produk kosmetik pemutih itu.

“Ini bukan sembarang kosmetik, Lee.” kata Marlina seolah bisa membaca pikiran gue layaknya seorang dukun sunat.

“Kalau lo pakai krim Kyen Yen ini. Dijamin deh, dalam waktu beberapa hari aja kulit lo bisa seputih kulit gue,” katanya berpromosi. “Pasti manjur!”

Manjur! Sebuah kata yang provokatif. Seorang sales yang baik nggak cuman ngomong sampai mulutnya berbusa-busa dan berasap saja. Dia menawarkan produknya sembari memperlihatkan hasilnya: Wajahnya yang kelihatan lebih putih dari pas gue ketemu dia pertama kali—tentu saja bukan karena dia pakai bedak, karena secara jujur, Marlina paling nggak suka pakai bedak. Biar begitu gue akhirnya nyoba juga saran si Marlina. Gue akhirnya mesen juga produk pemutih wajah hasil promosi dari Marlina itu. Sehari-dua hari belum begitu kelihatan hasilnya. Layaknya tobat, ternyata obat pun butuh waktu. Dan di hari ketiga gue mulai merasakan hasilnya: Kulit gue perih, merah-merah, mulai mengelupas, dan jerawat makin cinta dengan muka gue. Ya, ternyata krim pemutih itu nggak cocok untuk kulit gue. Gue panik bukan kepalang. Apalagi saat temen sekamar gue bilang, “Wah, Lee, kenapa muke lo kayak kena radiasi gitu? Makanya jangan sering di depan komputer.” Dengan penampilan seperti ini, mau ditaruh di mana muka gue?! Di kolong tempat tidur? Atau malah di kolong jembatan aja?

Seminggu kemudian ternyata keadaan kulit gue masih sama saja. Gue pun memutuskan berhenti menyiksa diri. Untung tante gue punya salep anti iritasi. Dengan berbekal salep itu, perlahan-lahan kulit gue pun balik seperti sediakala. Udah nggak perih lagi, udah nggak merah-merah lagi, dan udah nggak pada mengelupas lagi. Baik dan sehat! ...Dan juga gelap. Astaganaga! Gue akhirnya menyadari, biarlah kulit gue gelap apa adanya. Toh pesona seorang pria biasanya diukur dari dompetnya, bukan warna kulitnya. Seperti layaknya seorang preman bejat, gue pun bertobat. Gue berjanji dalam hati nggak akan memakai kosmetik yang nggak jelas mereknya lagi. Kyen Yen? Astaganaga, dan gue baru menyadari kalau ternyata kosmetik itu mengandung Hydroquinon 50%, dan Mercuri yang sudah pasti keberadaannya sangat dilarang oleh pemerintah! Karena menurut penelitan, ke dua kandungan tersebut akan sangat membahayakan kulit, contohnya seperti kulit yang udah pernah gue derita setelah memakai krem tersebut, dan malah disinyalir kosmetik yang mengandung ke dua bahan tersebut akan menyebabkan si pemakai bisa terkena penyakit kanker kulit.
Astaganaga!***

pernah di publish di webblog PT GagasMedia
Digubah kembali di ASPA, 100908, dini hari, usai sahur...

Integrity Building; Membangun Integritas

Integrity is one of the most important and oft-cited of virtue terms. It is also perhaps the most puzzling. For example, while it is sometimes used virtually synonymously with ‘moral,’ we also at times distinguish acting morally from acting with integrity. Persons of integrity may in fact act immorally—though they would usually not know they are acting immorally. Thus one may acknowledge a person to have integrity even though that person may hold importantly mistaken moral views.
When used as a virtue term, ‘integrity’ refers to a quality of a person's character. Integrity is also attributed to various parts or aspects of a person's life. However, the most philosophically important sense of the term ‘integrity’ relates to general character. Acting with integrity on some particularly important occasion will, philosophically speaking, always be explained in terms of broader features of a person's character and life. What is it to be a person of integrity? Ordinary discourse about integrity involves two fundamental intuitions: first, that integrity is primarily a formal relation one has to oneself, or between parts or aspects of one's self; and second, that integrity is connected in an important way to acting morally, in other words, there are some substantive or normative constraints on what it is to act with integrity. How these two intuitions can be incorporated into a consistent theory of integrity is not obvious, and most accounts of integrity tend to focus on one of these intuitions to the detriment of the other. A number of accounts have been advanced, the most important of them being: (i) integrity as the integration of self; (ii) integrity as maintenance of identity; (iii) integrity as standing for something; (iv) integrity as moral purpose; and (v) integrity as a virtue. These accounts are reviewed below. We then examine several issues that have been of central concern to philosophers exploring the concept of integrity: the relations between types of integrity, integrity and moral theory, and integrity and social and political conditions

Menurut kamu, apa itu integritas?

Kalo menurut saya, integritas itu sebuah nilai di mana seseorang berpegang pada prinsip yang dinilainya benar. Prinsip apa? Prinsip kejujuran, seperti kata kamus. Sebuah integritas adalah sebuah nilai yang dipelajari lewat proses. Gak bisa langsung dapet. Bahkan di dalam proses itu, akan sangat banyak tantangan dan resiko yang kemungkinan besar dapat menggagalkan niat kita dalam berintegritas.

Sudahkah kita memiliki nilai integritas dalam kehidupan kita?

Nyontek dan ngasih contekan, ngabsenin teman karena gak enak, ngomongin orang, dan lainnya saya rasa sebuah sikap anti-integritas yang mewabah di kalangan kita sekarang. Bahkan negara inipun krisis orang-orang yang berintegritas.

Integritas juga dipengaruhi oleh peer pressure. Biar kata kita setengah mati untuk berintegritas tapi kalo tekanan dari teman sepergaulan kita begitu besar, kita akan sulit menjadikan integritas sebagai karakter hidup kita. saran saya, tinggalin aja teman kayak gitu. Yang kayak gitu bukan namanya teman. Bukankah teman salaing mendatangkan kebaikan?
Di sekolah kehidupan, saya belajar bahwa setiap orang perlu membangun integritas dirinya, agar ia dimungkinkan membangun integritas kelompok dan organisasi di mana ia berada, yang pada gilirannya dapat pula menyumbang ke arah pembentukan integritas masyarakat bangsa. Caranya adalah dengan: pertama, menunjukkan kejujuran dan berani berbicara sesuai kenyataan; kedua, menepati janji atau melakukan apa yang dijanjikan dan tidak membocorkan rahasia; dan ketiga, bertindak konsisten dalam arti menyatukan kata dengan perbuatan.
Di sekolah kehidupan pula, saya belajar bahwa secara praktik barangsiapa yang pernah berbohong; atau pernah ingkar janji; atau pernah mengkhianati kepercayaan orang lain, memenuhi syarat untuk disebut munafik. Sebab kawan-kawan muslim mengajarkan kepada saya bahwa tiga ciri manusia munafik adalah: apabila ia berbicara, ia bohong; apabila ia berjanji, ia ingkar; dan apabila ia diberi kepercayaan [amanah], ia berkhianat. Dan saya merasa bahwa penjelasan mengenai tiga ciri kemunafikan itu begitu operasional dan praktis.
Sedemikian operasionalnya pengertian orang munafik di atas, maka setiap orang langsung dapat menjawab apakah ia PERNAH munafik, KADANG-KADANG munafik, SERING munafik, atau SELALU munafik. Ibarat warna, putih seratus persen dapat dianggap simbol orang yang tidak munafik; abu-abu untuk yang PERNAH berbohong; agak hitam untuk yang SERING berbohong; dan hitam legam untuk yang SELALU berbohong.

Apa hubungan antara integritas dan kemunafikan? Mungkin ini, integritas adalah musuh kemunafikan, atau sebaliknya. Artinya, saya tidak bisa membangun integritas sambil mempertahankan kemunafikan saya. Saya harus meninggalkan yang satu untuk mengembang-kan yang lain. Seumpama menentukan arah berjalan, saya tidak bisa memilih ke timur dan barat sekaligus.

Lebih lanjut, pembelajaran di sekolah kehidupan memperhadapkan saya dengan kenyataan ini: tidak sulit untuk bersepakat bahwa integritas adalah salah satu karakter terpuji, sementara munafik adalah salah satu karakter tercela; yang sulit adalah mendemonstrasikan karaker terpuji secara konsisten dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan lain perkataan, menjadi seseorang yang punya integritas tinggi [baca: nyaris tak pernah berdusta; selalu menepati janji dan menjaga rahasia; dan memegang teguh amanah dari orangtua/atasan/ organisasi/dsb], itulah yang sulit.

Ayo deh, kita mulai ngelatih integritas kita sekarang. Mulai aja dari perkara-perkara kecil. Ya gak? Bukankah kalo kita setia dalam perkara kecil, Tuhan bakalan mengaruniakan perkara yang lebih gede. Dari situ, karakter kita akan terbentuk. Menjadi seorang yang beritegritas tinggi. Dengan begitu, kita dapat menyelamatkan negara ini dari masa depan yang suram.

di gubah dari hasil makalah (penulis makalah sendiri) pemenang lomba menulis lingkungan remaja 2008.

Sang Penyihir Cinta

“Hyaaaa!!!” sebuah teriakan bergema memenuhi Gedung Serba Guna, tempat biasa buat latihan karate. Seorang lelaki paruh baya dengan postur yang agak cungkring datang menerjang tubuh Tya yang hanya setinggi 155 cm. Tya menghentakkan kaki kanannya kelantai, melayang keudara dan kemudian mengayunkan kaki dengan kekuatan yang sudah ia perhitungkan kearah muka lelaki itu.

Shuuut! Tiba-tiba tubuh cungkring lelaki itu terpental dan kemudian tersungkur kelantai. Praaak! Brukk! “Awww…, pantatku….!” Ujar lelaki itu kemudian. Karena tiba-tiba seiring ia jatuh, selenjar paku beton yang lumayan sudah karatan menancap kearah pantat lelaki itu. Tapi, untung nggak terlalu dalam.

“Hya… sukses!” teriak Tya dengan riang sembari melompat-lompat kegirangan.
“Kenapa lo malah bangga, Ya? Elo tuh keterlaluan tahu nggak? Mana ada murid nendang pelatihnya sampai sekeras ini! Kasian tahu!!” ujar sang ketua klub kesal.
“Nyatanya ada, itu gue!”
“Iya, itu hanya orang gila kayak elo!”

“Apa lo bilang, gue gila? Mikir dong lo! Gue tadi hampir aja nyonyor semua, gara-gara tuh pelatih yang super gila, malah! Jadi, wajar nggak sih kalau gue balas, dengan alesan mau ngelindungin diri gue?” bantah Tya.

“Ya itu tadikan cuma latihan aja, Ya! Dia tuh nggak serius!”
“Apa lo bilang, nggak serius? Apa lo tuh nggak nyadar, gara-gara kelakuan pelatih yang super gila itu, banyak kan anak-anak klub kita yang keluar. Alesannya kenapa coba? Karena kegilaan pelatih yang super gila itu, yang sewenang-wenang aja nendang, mukul, gaprok! Coba lo mikir, deh! Jangan mentang lo tuh sebagai tangan kananya tuh pelatih, terus seenaknya aja bela dia!” bantah Tya lagi. Sedangkan ketua klub yang sok adil itu terdiam. Sedangkan tanpa ada perasaan bersalah dan nyesal, Tya menjulurkan lidahnya dengan air muka yang cuek aja.

“Gara-gara elo, kita harus cari pelatih baru lagi, nih,”
“Bodo! Gue rasa itu langkah yang bagus! Gue dukung itu!”

“Arrrggghhh! Elo tuh kayak nggak punya dosa aja ya! Lihat nih, gara-gara elo, pantat pelatih kita ketusuk paku nih. Kalau sampai infeksi, bisa-bisa elo atau malah kita semua ketempuhan buat bayarin biaya berobat pelatih kita!”

“Biarin! Itukan resiko! Lagian gue kan cuma bela diri gue. Nggak salah, kan?”
“Bener! Gue setuju sama lo, Ya! Sekali-sekali pelatih kita nih perlu dikasih pelajaran dari kita! Bukannya kita terus yang dikasih pelajaran ama dia! Biar kapok!” ujar Nindi merasa setuju dengan tindakan Tya.

“Sekarang, apa boleh buat, karena sudah nggak ada yang ngelatih kita, kita pulang aka yuk Nin!” ajak Tya pada Nindi.

“Oke,” jawab Nindi sembari tersenyum.

Kemudian, mereka segera bergegas menuju ke toilet buat ganti pakaian. Setelah, mereka mengganti seragam, kemudian mereka bergegs menuju ke kantin. Karena sejak Tya mengerahkan seluruh tenaganya buat ngasih tendangan ke sang pelatihnya tadi, ia jadi lapar. Makadari itu, sekarang ia nggak sabaran pengen segera ganti energinya yang habis karena terbuang sia-sia tadi, dengan semangkuk mie ayam di kantin bu Ujang.
Sampai ditempat, bulsyet, kantin sudah pada ramai, sampai-sampai bu Ujang si penjulnya nggak keliatan pantanya ada dimana. Karena udah nggak punya rasa sabar, Tya langsung desak gitu aja para kerumunan anak-anak yang lagi merongrong bu Ujang buat nyepetin melayani pesanannya. Sedangkan Tya, tanpa ada rasa dosa, ia langsung nyerobot mie ayam yang aslinya udah ada yang mesan dan kebetulan tergeletak gitu aja dimeja tempat bu Ujang melayani pembelinya.

“Kalian sih bego-bego amat! Kaya gue nih, serobot aja yang dianggurin!” ujar Tya dalam hati sembari menyeringai penuh kelicikan. Tapi, sebelum ia menggondol semangkuk mie ayam itu ke meja kantin, tiba-tiba ada sesosok tangan menepuk dari belakang.

“Maaf, kalau mau makan mie ayam mesan dulu, dong! Jangan basing ngambil!” seru seseorang yang menepuk Tya dari belakang tadi. Karena kaget, kemudian Tya langsung memalingkan mukanya kebelakang. Setelah ia menatap sosok lelaki yang berujar tadi, ia langsung terbelalak terkaget. Entah kenapa tiba-tiba jantungnya seperti berdesir tak karuan.

“Eh, em… ini punya elo, ya?” Tanya Tya tak enak hati. Entah kenapa tiba-tiba aja Tya jadi kayak gini. Jadi anak yang sok baik. Padahal, dia kan anaknya sekendak hati. Entah barang punya siapa aja yang ia ambil, kalau barang itu udah berada ditangannya, jadi ia tetep ngotot buat mempertahankan barang itu, sebenernya ini juga karena faktor malu sih, hihihi…! Sedangkan kalau soal mie ayam ini, itu mungkin ada kaitannya dengan faktor orang yang punya. Maksudnya, karena pemilik mie ayam ini cowok cakep.

“Iya sih, ini tadi pesenan gue! Tapi, kalau elo mau ngambilnya gak papa deh! Soalnya gue tadi mesen dua, yang satunya buat temen gue, tapi dia udah kabur duluan, karena dipanggil ama guru, entah gue lupa siapa nama gurunya!” ujar cowok itu, sedangkan Tya kembali bernafas lega. Walaupun sedikit malu, tapi nggak papa lah asal mie ini jadi miliknya dengan atas seijin pemesannya.

“Yang bener, lo? Nggak papa, kan?”
“Iya, nggak papa! Ya udah yuk kita makan! Eh, tadi elo udah dapet tempat duduk belom?” Tanya cowok cakep itu.

“E… belom!” ujar Tya. Padahal dari tadi si Nindi tengah ngejogok sendiri nungguin kursi yang dipesen Tya biar nggak diserobot orang. Tapi, karena ini trik buat bisa deket ama nih cowok, jadi terpaksa harus ngibulin si Nindi.
“Ya udah kalau gitu, yuk lo ikut gue!” ujar cowok itu.

Kemudian, Tya ngikut aja kemana cowok yang merupakan siswa baru ini melangkah. Setelah sampai pada kursi yang dimaksud, kemudian Tya langsung duduk lega. Dan tanpa ada rasa malu-malu lagi ia langsung menyantap semangkuk mie ayam ini tanpa kira-kira.

“Keliahatannya elo tuh laper banget, ya?” Tanya cowok itu.
“Eh, e…i…iya! Gue nggak mau munafik nih, gue tadi abis ngeluarin tenaga gue buat hal yang nggak penting! Jadi, gue nggak mau kecolongan, karena keilangan tenaga!” ujar Tya jujur.
“Emang ngeluarin tenaga buat apa?”
“Eh, em… mending itu nggak usah dibahas deh, ya!” ujar Tya cuek sembari terus menikmati semangkuk mie ayamnya. Sedangkan tuh cowok hanya senyum-senyum aja ngeliatin Tya yang nafsu abis buat makan.

“Eh, kenalan dong! dari tadi gue tuh belum tahu nama elo!” ujar cowok itu sembari menyodorkan tangannya kearah Tya. Sedangkan sesaat Tya terlihat hanya terpaku ketika mendengar seruan dari cowok cakep ini. Tanpa basa-basi lagi, kemudian Tya langsung membalas tangannya, karena ini sebenernya yang ia inginkan. Berkenalan dengan cowok secakep dia.

“Eh, iya kenalin gue Tya mirella, panggil Tya aja, ya!” ujar Tya sembari membalas tangan cowok itu.
“Gue Marcell!” jawab cowok itu.
“Lo pindahan darimana?”
“Dari SMA 3 Kayuagung!’
“Dimana tuh?”
“Di daerah Sumatera Selatan!”
“Oh! Elo anak kelas berapa?”
“XI A 3!”
“Oh, elo anak IPA? Gue anak IPS, yup, IPS 2!” ujar Tya.
“Berarti elo pinter dong nyelesaiin masalah-masalah atau konflik-konflik gitu?!” ujar Marcell.

“Hehe…kalau gue sih bukannya pinter nyelesaiin konflik kalau ada masalah, tapi, kalau gue sih malah bisanya nambahin masalah, kale!” ujar Tya polos, sedangkan hal itu langsung membuat Marcell ketawa kegelian.

*

“Hay, Ya, elo mau pulang, kan?” ungkap Marcell ketika tengah mengendarai motor kawasakinya, saat berpapasan dengan Tya yang lagi jalan dengan Nindi.
“Kenapa?”
“Mau nggak gue anter!” ujar Marcell. Sedangkan Tya sejenak mikir. ‘wah, ini kesempatan yang pas nih, buat bisa deket ama tuh cowok’
“Eh, em… tapi, nggak enak lah, sama orang,” ujar Tya sok munafik
“Alaa… nggak papa lagi! Yuk!”
“Ya udah deh!” ungkap Tya sok terpaksa, “eh, Nin gue duluan, ya!” ujar Tya sembari menyeringai kearah Nindi, “dada, Nindi! Sori gue duluan!” ungkapnya lagi sembari berbisik pada Nindi. Sedangakn Nindi hanya terpaku sembari menyuatkan tanda tanya besar tentang Tya,’kok bisa akrab sih mereka?’ ujar Nindi masih mencoba berkutat. Sedangkan Tya dan Marcell sudah berlalu mengendarai Kawasaki hijau milik Marcell.
“Rumah lo mana, Ya?”
“Di daerah komplek permata indah!”
“Berarti tetanggaan dong ama gue! Rumah lo nomor berapa?”
“14A, elo?”
“Berarti kita nih tetanggaan dong, ya! gue, 15A!”
“Wee, nggak nyangka deh gue, kalau kita nih tetanggaan! Berarti tadi kita ketemu dikantin tuh atas nurani ketetanggaan kita!” ujar Tya.
“Ha..ha..ha…! bisa aja lho!” ungkap Marcell sembari melepas tawanya, “eh, kita pulangnya santai aja, yuk! Mending sekarang kita jalan dulu, em…kita makan ayam bakar moro seneng dulu, yuk! Kan biar energi yang elo buang secara sia-sia tadi bisa balik lagi! Hehehe!”
“Tapi,”
“Ayolah ya, gue traktir deh!” ujar Marcell, mendengar kata traktir dari Marcell, seketika Tya langsung berucap, setuju.

*

Malam ini terasa sunyi, Tya merenung sendiri sembari mendekap boneka babinya dan duduk di mulut jendela kamarnya yang kebetulan tak berteralis itu. Semenjak bertemu dengan Marcell tadi, entah mengapa jantungnya selalu berdebaran, sampai sekarang. Ya, Marcell memang terlalu baik padanya, tapi, ia rasa bukan itu yang ia risaukan dipikirannya. Tapi, mungkinkah karena ia jatuh cinta sama Marcell.

“Oh, nggak mungkin, ini nggak mungkin! Gue nggak mungkin sekejap ini bisa jatuh cinta sama Marcell!” ungkap Tya sendiri dalam hati, “tapi, kalau aku memang nggak jatuh cinta sama Marcell, kenapa aku menggilai dia? Ya, mungkinkah saatnya aku harus sadar, untuk mencintai dan dicintai lelaki? Aku tidak boleh termakan oleh hasutan setan, aku memang harus jatuh cinta! Aku nggak boleh memikirkan kalau jadi wanita nggak enak! Aku nggak boleh berpikiran kalau aku harus selalu muda, aku nggak boleh berpikiran yang bodoh seperti ini! Usiaku sekarang sudah 17 tahun. Ya, lama-lama umurku terus akan bertambah! Aku juga akan merasakan tua nantinya, aku harus menerima kodrat ini, aku harus belajar mencintai seseorang. Dan rasa itu sudah ada, melalui Marcell!” ujar Tya lagi. Ya, Tya memang selalu berfikir untuk segera bertindak. Dia tidak boleh berfikiran tidak mau menjadi seorang istri nantinya. Sekarang ia selalu mencoba untuk berfikiran bahwa suatu hari nanti ia akan menikah, dan menjalani kehidupan seperti mamanya. Mengurusi segala urusan rumah tangga, mengurusi anak-anaknya nantinya. Sekarang fikirannya sudah terbuka untuk mencintai lawan jenisnya. Ya, itu terjadi semenjak ia menemui Marcell. Memang selama ini Tya bersikap eleastis, suka bergaul dengan siapa pun, bisa seenaknya bersikap urakan, hingga ia menemui fikiran untuk tidak mencintai lawan jenisnya, juga tidak ingin mencintai sesama jenisnya.

Tak lama kemudian, tiba-tiba saja ponselnya memekik. Setelah dilihat pada layar ponsel.
‘Marcell!’ ujarnya. Kemudian ia langsung mengangkatnya.
“Hallo, ada apa, Cell?” Tanya Tya.
“Eh, Ya, kenapa lo termenung aja sambil duduk di jendela kamar lo?” Tanya Marcell dari seberang. Tya terkaget.
“Lo liat gue?”
“Iya, arang gue diseberang elo!” ujar Marcell sembari melambaikan tangannya kearah Tya.
“Ukhh, dasar lu! Berarti dari tadi elo tuh terus ngintai gue, ya?” Tanya Tya.
“He..he…he…, ya jelas dong! Gue liat, kalau elo ngelamun gitu, elo tuh malah cantik lho, Ya’!” ujar Marcell memuji.
“Jangan macem-macem lo!” ancam Tya.

“Emang kenapa?” Tanya Marcell, sedangkan Tya hanya terdiam, “Ya’, lo udah punya pacar belom?” Tanya Marcell, mendengar seruan itu tiba-tiba entah kenapa jantung Tya malah makin bergenderang berpalu, kayak dialiri tegangan listrik yang tinggi. Belum sempat Tya menjawab, tiba-tiba Marcell menambahi omongannya, “eh, Ya’, lihat deh dilangit itu, ada bintang jatuh!” ungkapnya dari seberang, sedangkan Tya langsung mendangakkan wajahnya kelangit. Benar, sekilas Tya melihat ada bintang yang jatuh, tapi secepat kilat bintang itu sudah sirna.

“Hallo, Cell! Emang kenapa?” tanya Tya, tapi tak ada jawaban dari seberang, “Allow… Cell elo dimana? Where are you, Marcell?” Tanya Tya. Kira-kira sekitar beberapa detik kemudian Marcell kembali buka suara.

“Sori, gue tadi abis do’a?” ujarnya.
“Lo percaya ama yang gituan?” Tanya Tya meremehkan. Secara Tya emang paling anti buat percaya ama yang gituan.
“Percaya dong? Kenapa, lo nggak percaya?”
“Yup! Gue emang nggak pernah percaya ama yang gituan! Emang apa sih doa permintaan elo pada bintang jatuh?” Tanya Tya lagi.
“Gue, berdoa, semoga wanita cantik yang saat ini lagi kesepian itu bisa jadi milik gue!” ujarnya.
“Siapa yang elo maksud wanita cantik yang tengah kesepian itu?” tanyanya.
“Elo!” jawab Marcell pendek kata dengan nada yang lembut ditelinga.
“Whatt! Jangan macem-macem deh lu! Kita kan baru kenal?”
“Maka dari itu, elo tuh emang tipe cewek yang lain dari pada yang lain yang pernah gue temui. Secara sekejap aja, elo tuh bisa nyihir gue buat bisa jatuh cinta ama lo! Atau, jangan-jangan elo tuh emang seorang penyihir cinta, yang saat ini tengah berusaha nyihir gue buat jatuh cinta ama elo!”
“Enak aja lu! Emang gue apaan? Tapi…”
“Tapi apa, Ya’? sumpah, elo tuh laksana penyihir yang udah berusaha nyulap gue buat bisa jatuh cinta ama elo! Suer, entah kenapa gue tuh nggak bisa ngelupain wajah elo! Sampai-sampai pas gue lagi boker aja, wajah elo tuh kayak ada dilubang korsetnya!”
“Whatt! Lu kira gue kotoran! Akhh…brengsek lu. Ngeres banget sih otak lo!” ujar Tya kesal.
“Eh, Ya’ plis jangan dimatiin dulu! Gue minta jawaban dari elo dulu! Elo terima gue apa nggak?”
“Cell, kita kan baru kenal tadi pagi. Masa, tau-tau kita langsung jadian, nggak lucu, kan? Lagian, apasih yang elo suka dari gue?”
“Jujur, gue suka ama elo tuh, bukan karena gue madang cantik atau nggaknya elo, tapi kepribadian lo yang unik dan… itu yang gue suka!” ungkap Marcell lagi mencoba meyakinkan Tya. Sedangkan Tya, hatinya juga langsung berbunga-bunga. Ternyata, nalurinya benar. Karena Marcell lah, kini ia jadi berubah 360° buat bisa mencintai dan dicintai. Ya, pada akhirnya Tya memang menerima cinta dari Marcell, sosok cowok yang memang sejak pertama ketemu—tadi pagi—mampu menyihir hatinya buat bisa jatuh cinta. ***

di publish di Aneka Yess! 2008

Surat Bersajak buat Lara

Dear Lara…

Lara, masih kuingat jelas di memori otakku, saat pertama kita bersua, wajahmu yang memerah dalam ranum kemanjaan sedang menyambutku. Wajahmu yang bersih terpancar ketenangan, kedamaian serta kelembutan. Wajahmu yang ayu selalu menghangatkan kalbuku dalam kesedihan. Pandanganmu yang penuh yakin telah menjerat hatiku. Senyummu yang tanpa polesan seperti mengguncang jantungku.

Wajahmu yang cantik, meskipun tak secantik bidadari namun sangat bersahaja. Tubuhmu yang langsing, senyummu yang manis, kulitmu yang putih, meskipun tak seputih kapas. Kau tampil apa adanya, sikap dan tutur katamu tak pernah dibuat-buat. Satu hal yang membuatmu berbeda dari wanita-wanita yang lain, kau sederhana namun meyakinkan dan terlalu memikat hatiku. Ya, seperti Dian Sastro gambarannya.

Kadang aku bertanya; ”Tak kau lihatkah wajah rembulan yang tersipu melihat kecantikanmu, Lara? Tak kau dengarkah rintihan bayu setiap kali mendengar suara merdumu?”

Tidak ada akhir dalam setiap hasratku, meskipun seringkali tersendat. Tak ada kekuatan dalam jiwaku ini setiap senyumanmu merekah indah bak mawar merah. Aku kini tersungkur Lara, dalam keceriaanmu yang mengguncang, dalam luapan kasihmu yang maha dasyat penuh ketulusan.

Lara, dari hari ke hari ada sesuatu yang aneh dalam hidupku. Apa itu? Aku tak mampu menjawabnya. Dan yang aneh lagi, mengapa semenjak aku mengenal dirimu, aku tak bisa tidur, jujur, itu bukan karena banyak nyamuk. Dan aku tak bisa makan, dan itu bukan karena sayur yang tengah ku makan keasinan. Namun, hanya wajahmulah yang selalu hadir di setiap aktifitas dan di dalam tidurku. Lara, aku sendiri tak tahu mengapa bila di dekatmu aku merasa tentram. Aku merasa menemukan sesuatu yang teramat murni dan jujur dari sikap dan kata-katamu. Kemanjaan dan ketegasanmu keluar dengan wajar dari kuncup hatimu.

Kemudian, dengan percaya dirinya aku akan mengungkapkan suatu kata padamu. Suatu kata yang secara jujurnya belum pernah kukatakan teruntuk gadis lain. Apa itu? Oho, aku malu mengatakannya… pantaskah aku mengungkapkan ini padamu? Tapi, aku berprinsip, “jikalau engkau memang diciptakan untukku, ke mana pun kau berlari tujuannya adalah aku. Jikalau memang kau milikku, ke mana lagi tempatmu mengadu cinta dan rindu?” kataku ketika itu dengan keyakinan jiwa yang penuh.

“Lara... aku teramat mencintai dirimu. Maukah engkau menjadi kekasihku? Seperti mimpi yang kutawarkan pada lautan dan senja dahulu. Lara, kupenuhi janji hatiku, hari ini aku datang padamu dengan segala kumungkinan, maka, dengarkan dan terserah apa yang kau bilang; aku sayang kamu dengan apa pun adaku dan apa pun adamu, i love you forever and every single day…” kataku kala itu dengan nada genderang jantung terus berdentang tak menentu. Tapi, sejenak kupasati wajahmu yang ayu itu. Kau terdiam. Wajahmu memerah padam, ya, jika ku jajarkan tomat di pipimu aku yakin mukamu tak jauh beda warnanya dengan tomat itu. Kau menunduk dan sedikit tersenyum simpul yang kukira itu menunjukkan kau tengah malu-malu… akh, mungkinkah malu-malu mau? Entahlah! Kau memang sulit ditebak. Namun, ketika melihat ekspresimu saat itu, aku yakin kau pasti menerima cintaku, meskipun kau tampak memalu.

Tapi, tiba-tiba senyum yang semula ku lihat hanya menyimpul itu nampak mengembang dan meledak menjadi sebuah tawa. Aku kebingungan. Mungkinkah kau tengah kerasukan, Lara? Karena tertawamu sungguh lain, beda dari yang kulihat seperti biasanya, yang teramat manis, imut dan menggemaskan, dan senyum yang menyeruakkan aroma kecantikanmu. Tapi itu, tertawamu sungguh horor sekali, Lara, jenis suara tertawa yang sering sekali ku dengar dalam film-film yang berbintangkan ‘Suzana’ ataupun dalam film kolosal ‘Misteri Gunung Merapi’, tepatnya seperti mak lampir. Oh Tuhan, kau kenapa, Lara? Oho, ataukah kau memang bangga dengan atas pernyataan cintaku ini padamu? Karena kau berharap atas cintaku?

Aku benar-benar tak mengerti dengan sikapmu yang 360 derajad berbeda dari biasanya. Hampir tiga menit lebih aku menunggu kau dapat menenangkan dirimu dari tawa yang memecah itu. Kemudian kutunggu jawabanmu. Jawaban yang bakal menghancurkan jiwaku atau malah… membuatku jatuh kecewa??

Kau mulai tenang, dan, kau berikan jawaban yang sedari tadi tengah kutunggu itu. Tapi, setelah kau berujar, tiba-tiba bagai geleder menggelegar di atas kepalaku. Suaranya sungguh memekakkan kupingku, dan membuatku berusaha untuk menutup kedua kupingku. Mataku melotot selebar-lebarnya. Lantas, langsung kutatap perempuan yang tengah duduk di sampingku, itu kamu. Lantas aku tersengeh sejenak. Jujur, ini bukanlah sengehan tanda aku gembira, tapi, jijik melihat semua sikapmu. Ya, 360 derajad sikapku pun berubah dari yang sebelumnya. Semula aku sangat mengagumimu. Aku yang sangat memuja pesonamu. Kini, semua itu luntur. Karena aku baru tahu jahatnya hatimu yang sebenarnya. Atas pernyataan cintaku padamu waktu itu, kau coba membuka kejelakanku dimatamu. Aku yang jeleklah! Aku yang sangat tak level untukmu!

Benar-benar sial!!! Aku merasa frustasi sejenak kala itu. Namun, ketika aku melihat sifatmu yang sungguh beda dari yang ku bayangkan itu, rasanya ada sesuatu kekuatan yang mencoba terus menyokongku untuk tetap tegar dan secepat kilat dapat melupakan kejadian yang bagiku teramat menggelikan itu saat kuingat semuanya.

Lantas ku tulis surat ini untukmu. Masih bedakah kau yang sekarang dengan kau yang ketika masih SMP dulu? Cantik rupa, tapi kejam hati?

yang terjelek katamu,

Ijo


DELETE

DELETE