Surat Bersajak buat Lara

Dear Lara…

Lara, masih kuingat jelas di memori otakku, saat pertama kita bersua, wajahmu yang memerah dalam ranum kemanjaan sedang menyambutku. Wajahmu yang bersih terpancar ketenangan, kedamaian serta kelembutan. Wajahmu yang ayu selalu menghangatkan kalbuku dalam kesedihan. Pandanganmu yang penuh yakin telah menjerat hatiku. Senyummu yang tanpa polesan seperti mengguncang jantungku.

Wajahmu yang cantik, meskipun tak secantik bidadari namun sangat bersahaja. Tubuhmu yang langsing, senyummu yang manis, kulitmu yang putih, meskipun tak seputih kapas. Kau tampil apa adanya, sikap dan tutur katamu tak pernah dibuat-buat. Satu hal yang membuatmu berbeda dari wanita-wanita yang lain, kau sederhana namun meyakinkan dan terlalu memikat hatiku. Ya, seperti Dian Sastro gambarannya.

Kadang aku bertanya; ”Tak kau lihatkah wajah rembulan yang tersipu melihat kecantikanmu, Lara? Tak kau dengarkah rintihan bayu setiap kali mendengar suara merdumu?”

Tidak ada akhir dalam setiap hasratku, meskipun seringkali tersendat. Tak ada kekuatan dalam jiwaku ini setiap senyumanmu merekah indah bak mawar merah. Aku kini tersungkur Lara, dalam keceriaanmu yang mengguncang, dalam luapan kasihmu yang maha dasyat penuh ketulusan.

Lara, dari hari ke hari ada sesuatu yang aneh dalam hidupku. Apa itu? Aku tak mampu menjawabnya. Dan yang aneh lagi, mengapa semenjak aku mengenal dirimu, aku tak bisa tidur, jujur, itu bukan karena banyak nyamuk. Dan aku tak bisa makan, dan itu bukan karena sayur yang tengah ku makan keasinan. Namun, hanya wajahmulah yang selalu hadir di setiap aktifitas dan di dalam tidurku. Lara, aku sendiri tak tahu mengapa bila di dekatmu aku merasa tentram. Aku merasa menemukan sesuatu yang teramat murni dan jujur dari sikap dan kata-katamu. Kemanjaan dan ketegasanmu keluar dengan wajar dari kuncup hatimu.

Kemudian, dengan percaya dirinya aku akan mengungkapkan suatu kata padamu. Suatu kata yang secara jujurnya belum pernah kukatakan teruntuk gadis lain. Apa itu? Oho, aku malu mengatakannya… pantaskah aku mengungkapkan ini padamu? Tapi, aku berprinsip, “jikalau engkau memang diciptakan untukku, ke mana pun kau berlari tujuannya adalah aku. Jikalau memang kau milikku, ke mana lagi tempatmu mengadu cinta dan rindu?” kataku ketika itu dengan keyakinan jiwa yang penuh.

“Lara... aku teramat mencintai dirimu. Maukah engkau menjadi kekasihku? Seperti mimpi yang kutawarkan pada lautan dan senja dahulu. Lara, kupenuhi janji hatiku, hari ini aku datang padamu dengan segala kumungkinan, maka, dengarkan dan terserah apa yang kau bilang; aku sayang kamu dengan apa pun adaku dan apa pun adamu, i love you forever and every single day…” kataku kala itu dengan nada genderang jantung terus berdentang tak menentu. Tapi, sejenak kupasati wajahmu yang ayu itu. Kau terdiam. Wajahmu memerah padam, ya, jika ku jajarkan tomat di pipimu aku yakin mukamu tak jauh beda warnanya dengan tomat itu. Kau menunduk dan sedikit tersenyum simpul yang kukira itu menunjukkan kau tengah malu-malu… akh, mungkinkah malu-malu mau? Entahlah! Kau memang sulit ditebak. Namun, ketika melihat ekspresimu saat itu, aku yakin kau pasti menerima cintaku, meskipun kau tampak memalu.

Tapi, tiba-tiba senyum yang semula ku lihat hanya menyimpul itu nampak mengembang dan meledak menjadi sebuah tawa. Aku kebingungan. Mungkinkah kau tengah kerasukan, Lara? Karena tertawamu sungguh lain, beda dari yang kulihat seperti biasanya, yang teramat manis, imut dan menggemaskan, dan senyum yang menyeruakkan aroma kecantikanmu. Tapi itu, tertawamu sungguh horor sekali, Lara, jenis suara tertawa yang sering sekali ku dengar dalam film-film yang berbintangkan ‘Suzana’ ataupun dalam film kolosal ‘Misteri Gunung Merapi’, tepatnya seperti mak lampir. Oh Tuhan, kau kenapa, Lara? Oho, ataukah kau memang bangga dengan atas pernyataan cintaku ini padamu? Karena kau berharap atas cintaku?

Aku benar-benar tak mengerti dengan sikapmu yang 360 derajad berbeda dari biasanya. Hampir tiga menit lebih aku menunggu kau dapat menenangkan dirimu dari tawa yang memecah itu. Kemudian kutunggu jawabanmu. Jawaban yang bakal menghancurkan jiwaku atau malah… membuatku jatuh kecewa??

Kau mulai tenang, dan, kau berikan jawaban yang sedari tadi tengah kutunggu itu. Tapi, setelah kau berujar, tiba-tiba bagai geleder menggelegar di atas kepalaku. Suaranya sungguh memekakkan kupingku, dan membuatku berusaha untuk menutup kedua kupingku. Mataku melotot selebar-lebarnya. Lantas, langsung kutatap perempuan yang tengah duduk di sampingku, itu kamu. Lantas aku tersengeh sejenak. Jujur, ini bukanlah sengehan tanda aku gembira, tapi, jijik melihat semua sikapmu. Ya, 360 derajad sikapku pun berubah dari yang sebelumnya. Semula aku sangat mengagumimu. Aku yang sangat memuja pesonamu. Kini, semua itu luntur. Karena aku baru tahu jahatnya hatimu yang sebenarnya. Atas pernyataan cintaku padamu waktu itu, kau coba membuka kejelakanku dimatamu. Aku yang jeleklah! Aku yang sangat tak level untukmu!

Benar-benar sial!!! Aku merasa frustasi sejenak kala itu. Namun, ketika aku melihat sifatmu yang sungguh beda dari yang ku bayangkan itu, rasanya ada sesuatu kekuatan yang mencoba terus menyokongku untuk tetap tegar dan secepat kilat dapat melupakan kejadian yang bagiku teramat menggelikan itu saat kuingat semuanya.

Lantas ku tulis surat ini untukmu. Masih bedakah kau yang sekarang dengan kau yang ketika masih SMP dulu? Cantik rupa, tapi kejam hati?

yang terjelek katamu,

Ijo


Tidak ada komentar: