Sang Penyihir Cinta

“Hyaaaa!!!” sebuah teriakan bergema memenuhi Gedung Serba Guna, tempat biasa buat latihan karate. Seorang lelaki paruh baya dengan postur yang agak cungkring datang menerjang tubuh Tya yang hanya setinggi 155 cm. Tya menghentakkan kaki kanannya kelantai, melayang keudara dan kemudian mengayunkan kaki dengan kekuatan yang sudah ia perhitungkan kearah muka lelaki itu.

Shuuut! Tiba-tiba tubuh cungkring lelaki itu terpental dan kemudian tersungkur kelantai. Praaak! Brukk! “Awww…, pantatku….!” Ujar lelaki itu kemudian. Karena tiba-tiba seiring ia jatuh, selenjar paku beton yang lumayan sudah karatan menancap kearah pantat lelaki itu. Tapi, untung nggak terlalu dalam.

“Hya… sukses!” teriak Tya dengan riang sembari melompat-lompat kegirangan.
“Kenapa lo malah bangga, Ya? Elo tuh keterlaluan tahu nggak? Mana ada murid nendang pelatihnya sampai sekeras ini! Kasian tahu!!” ujar sang ketua klub kesal.
“Nyatanya ada, itu gue!”
“Iya, itu hanya orang gila kayak elo!”

“Apa lo bilang, gue gila? Mikir dong lo! Gue tadi hampir aja nyonyor semua, gara-gara tuh pelatih yang super gila, malah! Jadi, wajar nggak sih kalau gue balas, dengan alesan mau ngelindungin diri gue?” bantah Tya.

“Ya itu tadikan cuma latihan aja, Ya! Dia tuh nggak serius!”
“Apa lo bilang, nggak serius? Apa lo tuh nggak nyadar, gara-gara kelakuan pelatih yang super gila itu, banyak kan anak-anak klub kita yang keluar. Alesannya kenapa coba? Karena kegilaan pelatih yang super gila itu, yang sewenang-wenang aja nendang, mukul, gaprok! Coba lo mikir, deh! Jangan mentang lo tuh sebagai tangan kananya tuh pelatih, terus seenaknya aja bela dia!” bantah Tya lagi. Sedangkan ketua klub yang sok adil itu terdiam. Sedangkan tanpa ada perasaan bersalah dan nyesal, Tya menjulurkan lidahnya dengan air muka yang cuek aja.

“Gara-gara elo, kita harus cari pelatih baru lagi, nih,”
“Bodo! Gue rasa itu langkah yang bagus! Gue dukung itu!”

“Arrrggghhh! Elo tuh kayak nggak punya dosa aja ya! Lihat nih, gara-gara elo, pantat pelatih kita ketusuk paku nih. Kalau sampai infeksi, bisa-bisa elo atau malah kita semua ketempuhan buat bayarin biaya berobat pelatih kita!”

“Biarin! Itukan resiko! Lagian gue kan cuma bela diri gue. Nggak salah, kan?”
“Bener! Gue setuju sama lo, Ya! Sekali-sekali pelatih kita nih perlu dikasih pelajaran dari kita! Bukannya kita terus yang dikasih pelajaran ama dia! Biar kapok!” ujar Nindi merasa setuju dengan tindakan Tya.

“Sekarang, apa boleh buat, karena sudah nggak ada yang ngelatih kita, kita pulang aka yuk Nin!” ajak Tya pada Nindi.

“Oke,” jawab Nindi sembari tersenyum.

Kemudian, mereka segera bergegas menuju ke toilet buat ganti pakaian. Setelah, mereka mengganti seragam, kemudian mereka bergegs menuju ke kantin. Karena sejak Tya mengerahkan seluruh tenaganya buat ngasih tendangan ke sang pelatihnya tadi, ia jadi lapar. Makadari itu, sekarang ia nggak sabaran pengen segera ganti energinya yang habis karena terbuang sia-sia tadi, dengan semangkuk mie ayam di kantin bu Ujang.
Sampai ditempat, bulsyet, kantin sudah pada ramai, sampai-sampai bu Ujang si penjulnya nggak keliatan pantanya ada dimana. Karena udah nggak punya rasa sabar, Tya langsung desak gitu aja para kerumunan anak-anak yang lagi merongrong bu Ujang buat nyepetin melayani pesanannya. Sedangkan Tya, tanpa ada rasa dosa, ia langsung nyerobot mie ayam yang aslinya udah ada yang mesan dan kebetulan tergeletak gitu aja dimeja tempat bu Ujang melayani pembelinya.

“Kalian sih bego-bego amat! Kaya gue nih, serobot aja yang dianggurin!” ujar Tya dalam hati sembari menyeringai penuh kelicikan. Tapi, sebelum ia menggondol semangkuk mie ayam itu ke meja kantin, tiba-tiba ada sesosok tangan menepuk dari belakang.

“Maaf, kalau mau makan mie ayam mesan dulu, dong! Jangan basing ngambil!” seru seseorang yang menepuk Tya dari belakang tadi. Karena kaget, kemudian Tya langsung memalingkan mukanya kebelakang. Setelah ia menatap sosok lelaki yang berujar tadi, ia langsung terbelalak terkaget. Entah kenapa tiba-tiba jantungnya seperti berdesir tak karuan.

“Eh, em… ini punya elo, ya?” Tanya Tya tak enak hati. Entah kenapa tiba-tiba aja Tya jadi kayak gini. Jadi anak yang sok baik. Padahal, dia kan anaknya sekendak hati. Entah barang punya siapa aja yang ia ambil, kalau barang itu udah berada ditangannya, jadi ia tetep ngotot buat mempertahankan barang itu, sebenernya ini juga karena faktor malu sih, hihihi…! Sedangkan kalau soal mie ayam ini, itu mungkin ada kaitannya dengan faktor orang yang punya. Maksudnya, karena pemilik mie ayam ini cowok cakep.

“Iya sih, ini tadi pesenan gue! Tapi, kalau elo mau ngambilnya gak papa deh! Soalnya gue tadi mesen dua, yang satunya buat temen gue, tapi dia udah kabur duluan, karena dipanggil ama guru, entah gue lupa siapa nama gurunya!” ujar cowok itu, sedangkan Tya kembali bernafas lega. Walaupun sedikit malu, tapi nggak papa lah asal mie ini jadi miliknya dengan atas seijin pemesannya.

“Yang bener, lo? Nggak papa, kan?”
“Iya, nggak papa! Ya udah yuk kita makan! Eh, tadi elo udah dapet tempat duduk belom?” Tanya cowok cakep itu.

“E… belom!” ujar Tya. Padahal dari tadi si Nindi tengah ngejogok sendiri nungguin kursi yang dipesen Tya biar nggak diserobot orang. Tapi, karena ini trik buat bisa deket ama nih cowok, jadi terpaksa harus ngibulin si Nindi.
“Ya udah kalau gitu, yuk lo ikut gue!” ujar cowok itu.

Kemudian, Tya ngikut aja kemana cowok yang merupakan siswa baru ini melangkah. Setelah sampai pada kursi yang dimaksud, kemudian Tya langsung duduk lega. Dan tanpa ada rasa malu-malu lagi ia langsung menyantap semangkuk mie ayam ini tanpa kira-kira.

“Keliahatannya elo tuh laper banget, ya?” Tanya cowok itu.
“Eh, e…i…iya! Gue nggak mau munafik nih, gue tadi abis ngeluarin tenaga gue buat hal yang nggak penting! Jadi, gue nggak mau kecolongan, karena keilangan tenaga!” ujar Tya jujur.
“Emang ngeluarin tenaga buat apa?”
“Eh, em… mending itu nggak usah dibahas deh, ya!” ujar Tya cuek sembari terus menikmati semangkuk mie ayamnya. Sedangkan tuh cowok hanya senyum-senyum aja ngeliatin Tya yang nafsu abis buat makan.

“Eh, kenalan dong! dari tadi gue tuh belum tahu nama elo!” ujar cowok itu sembari menyodorkan tangannya kearah Tya. Sedangkan sesaat Tya terlihat hanya terpaku ketika mendengar seruan dari cowok cakep ini. Tanpa basa-basi lagi, kemudian Tya langsung membalas tangannya, karena ini sebenernya yang ia inginkan. Berkenalan dengan cowok secakep dia.

“Eh, iya kenalin gue Tya mirella, panggil Tya aja, ya!” ujar Tya sembari membalas tangan cowok itu.
“Gue Marcell!” jawab cowok itu.
“Lo pindahan darimana?”
“Dari SMA 3 Kayuagung!’
“Dimana tuh?”
“Di daerah Sumatera Selatan!”
“Oh! Elo anak kelas berapa?”
“XI A 3!”
“Oh, elo anak IPA? Gue anak IPS, yup, IPS 2!” ujar Tya.
“Berarti elo pinter dong nyelesaiin masalah-masalah atau konflik-konflik gitu?!” ujar Marcell.

“Hehe…kalau gue sih bukannya pinter nyelesaiin konflik kalau ada masalah, tapi, kalau gue sih malah bisanya nambahin masalah, kale!” ujar Tya polos, sedangkan hal itu langsung membuat Marcell ketawa kegelian.

*

“Hay, Ya, elo mau pulang, kan?” ungkap Marcell ketika tengah mengendarai motor kawasakinya, saat berpapasan dengan Tya yang lagi jalan dengan Nindi.
“Kenapa?”
“Mau nggak gue anter!” ujar Marcell. Sedangkan Tya sejenak mikir. ‘wah, ini kesempatan yang pas nih, buat bisa deket ama tuh cowok’
“Eh, em… tapi, nggak enak lah, sama orang,” ujar Tya sok munafik
“Alaa… nggak papa lagi! Yuk!”
“Ya udah deh!” ungkap Tya sok terpaksa, “eh, Nin gue duluan, ya!” ujar Tya sembari menyeringai kearah Nindi, “dada, Nindi! Sori gue duluan!” ungkapnya lagi sembari berbisik pada Nindi. Sedangakn Nindi hanya terpaku sembari menyuatkan tanda tanya besar tentang Tya,’kok bisa akrab sih mereka?’ ujar Nindi masih mencoba berkutat. Sedangkan Tya dan Marcell sudah berlalu mengendarai Kawasaki hijau milik Marcell.
“Rumah lo mana, Ya?”
“Di daerah komplek permata indah!”
“Berarti tetanggaan dong ama gue! Rumah lo nomor berapa?”
“14A, elo?”
“Berarti kita nih tetanggaan dong, ya! gue, 15A!”
“Wee, nggak nyangka deh gue, kalau kita nih tetanggaan! Berarti tadi kita ketemu dikantin tuh atas nurani ketetanggaan kita!” ujar Tya.
“Ha..ha..ha…! bisa aja lho!” ungkap Marcell sembari melepas tawanya, “eh, kita pulangnya santai aja, yuk! Mending sekarang kita jalan dulu, em…kita makan ayam bakar moro seneng dulu, yuk! Kan biar energi yang elo buang secara sia-sia tadi bisa balik lagi! Hehehe!”
“Tapi,”
“Ayolah ya, gue traktir deh!” ujar Marcell, mendengar kata traktir dari Marcell, seketika Tya langsung berucap, setuju.

*

Malam ini terasa sunyi, Tya merenung sendiri sembari mendekap boneka babinya dan duduk di mulut jendela kamarnya yang kebetulan tak berteralis itu. Semenjak bertemu dengan Marcell tadi, entah mengapa jantungnya selalu berdebaran, sampai sekarang. Ya, Marcell memang terlalu baik padanya, tapi, ia rasa bukan itu yang ia risaukan dipikirannya. Tapi, mungkinkah karena ia jatuh cinta sama Marcell.

“Oh, nggak mungkin, ini nggak mungkin! Gue nggak mungkin sekejap ini bisa jatuh cinta sama Marcell!” ungkap Tya sendiri dalam hati, “tapi, kalau aku memang nggak jatuh cinta sama Marcell, kenapa aku menggilai dia? Ya, mungkinkah saatnya aku harus sadar, untuk mencintai dan dicintai lelaki? Aku tidak boleh termakan oleh hasutan setan, aku memang harus jatuh cinta! Aku nggak boleh memikirkan kalau jadi wanita nggak enak! Aku nggak boleh berpikiran kalau aku harus selalu muda, aku nggak boleh berpikiran yang bodoh seperti ini! Usiaku sekarang sudah 17 tahun. Ya, lama-lama umurku terus akan bertambah! Aku juga akan merasakan tua nantinya, aku harus menerima kodrat ini, aku harus belajar mencintai seseorang. Dan rasa itu sudah ada, melalui Marcell!” ujar Tya lagi. Ya, Tya memang selalu berfikir untuk segera bertindak. Dia tidak boleh berfikiran tidak mau menjadi seorang istri nantinya. Sekarang ia selalu mencoba untuk berfikiran bahwa suatu hari nanti ia akan menikah, dan menjalani kehidupan seperti mamanya. Mengurusi segala urusan rumah tangga, mengurusi anak-anaknya nantinya. Sekarang fikirannya sudah terbuka untuk mencintai lawan jenisnya. Ya, itu terjadi semenjak ia menemui Marcell. Memang selama ini Tya bersikap eleastis, suka bergaul dengan siapa pun, bisa seenaknya bersikap urakan, hingga ia menemui fikiran untuk tidak mencintai lawan jenisnya, juga tidak ingin mencintai sesama jenisnya.

Tak lama kemudian, tiba-tiba saja ponselnya memekik. Setelah dilihat pada layar ponsel.
‘Marcell!’ ujarnya. Kemudian ia langsung mengangkatnya.
“Hallo, ada apa, Cell?” Tanya Tya.
“Eh, Ya, kenapa lo termenung aja sambil duduk di jendela kamar lo?” Tanya Marcell dari seberang. Tya terkaget.
“Lo liat gue?”
“Iya, arang gue diseberang elo!” ujar Marcell sembari melambaikan tangannya kearah Tya.
“Ukhh, dasar lu! Berarti dari tadi elo tuh terus ngintai gue, ya?” Tanya Tya.
“He..he…he…, ya jelas dong! Gue liat, kalau elo ngelamun gitu, elo tuh malah cantik lho, Ya’!” ujar Marcell memuji.
“Jangan macem-macem lo!” ancam Tya.

“Emang kenapa?” Tanya Marcell, sedangkan Tya hanya terdiam, “Ya’, lo udah punya pacar belom?” Tanya Marcell, mendengar seruan itu tiba-tiba entah kenapa jantung Tya malah makin bergenderang berpalu, kayak dialiri tegangan listrik yang tinggi. Belum sempat Tya menjawab, tiba-tiba Marcell menambahi omongannya, “eh, Ya’, lihat deh dilangit itu, ada bintang jatuh!” ungkapnya dari seberang, sedangkan Tya langsung mendangakkan wajahnya kelangit. Benar, sekilas Tya melihat ada bintang yang jatuh, tapi secepat kilat bintang itu sudah sirna.

“Hallo, Cell! Emang kenapa?” tanya Tya, tapi tak ada jawaban dari seberang, “Allow… Cell elo dimana? Where are you, Marcell?” Tanya Tya. Kira-kira sekitar beberapa detik kemudian Marcell kembali buka suara.

“Sori, gue tadi abis do’a?” ujarnya.
“Lo percaya ama yang gituan?” Tanya Tya meremehkan. Secara Tya emang paling anti buat percaya ama yang gituan.
“Percaya dong? Kenapa, lo nggak percaya?”
“Yup! Gue emang nggak pernah percaya ama yang gituan! Emang apa sih doa permintaan elo pada bintang jatuh?” Tanya Tya lagi.
“Gue, berdoa, semoga wanita cantik yang saat ini lagi kesepian itu bisa jadi milik gue!” ujarnya.
“Siapa yang elo maksud wanita cantik yang tengah kesepian itu?” tanyanya.
“Elo!” jawab Marcell pendek kata dengan nada yang lembut ditelinga.
“Whatt! Jangan macem-macem deh lu! Kita kan baru kenal?”
“Maka dari itu, elo tuh emang tipe cewek yang lain dari pada yang lain yang pernah gue temui. Secara sekejap aja, elo tuh bisa nyihir gue buat bisa jatuh cinta ama lo! Atau, jangan-jangan elo tuh emang seorang penyihir cinta, yang saat ini tengah berusaha nyihir gue buat jatuh cinta ama elo!”
“Enak aja lu! Emang gue apaan? Tapi…”
“Tapi apa, Ya’? sumpah, elo tuh laksana penyihir yang udah berusaha nyulap gue buat bisa jatuh cinta ama elo! Suer, entah kenapa gue tuh nggak bisa ngelupain wajah elo! Sampai-sampai pas gue lagi boker aja, wajah elo tuh kayak ada dilubang korsetnya!”
“Whatt! Lu kira gue kotoran! Akhh…brengsek lu. Ngeres banget sih otak lo!” ujar Tya kesal.
“Eh, Ya’ plis jangan dimatiin dulu! Gue minta jawaban dari elo dulu! Elo terima gue apa nggak?”
“Cell, kita kan baru kenal tadi pagi. Masa, tau-tau kita langsung jadian, nggak lucu, kan? Lagian, apasih yang elo suka dari gue?”
“Jujur, gue suka ama elo tuh, bukan karena gue madang cantik atau nggaknya elo, tapi kepribadian lo yang unik dan… itu yang gue suka!” ungkap Marcell lagi mencoba meyakinkan Tya. Sedangkan Tya, hatinya juga langsung berbunga-bunga. Ternyata, nalurinya benar. Karena Marcell lah, kini ia jadi berubah 360° buat bisa mencintai dan dicintai. Ya, pada akhirnya Tya memang menerima cinta dari Marcell, sosok cowok yang memang sejak pertama ketemu—tadi pagi—mampu menyihir hatinya buat bisa jatuh cinta. ***

di publish di Aneka Yess! 2008

Tidak ada komentar: