Rumah Pertama


If you keep on believing, the dreams that you wish will come true. 
[Cinderella]


Saya kangen dengan susana rumah saya. Meski beberapa bulan lalu sempat pulang ke kampung halaman, tetapi perasaan kangen saya pada suasana rumah dan kehangatan keluarga belum benar-benar terlampiaskan. Saya merindu banyak hal. Karena bagi saya, suasana rumah menawarkan kehangatan yang hingga kini belum saya dapatkan di sudut tempat lain.
Entah mengapa, tiba-tiba saya teramat merindukan (suasana) rumah pertama. Sejujurnya, saya pernah tinggal di sebuah rumah yang lebih tepat disebut gubuk. Berdinding kayu tipis, dengan tiang penyangga berupa kayu tua yang dipahat asal-asalan. Bahkan, di bagian belakang rumah gubuk saya tersebut beratapkan daun rumbia.

Itulah rumah pertama saya—sejak dilahirkan hingga kelas 6 SD. Saya ingat, rumah saya tersebut dicat menggunakan kapur berwarna putih, sementara jendela dan pintunya dicat berwarna biru tipis. Ada banyak kehangatan yang saya rasakan di rumah pertama tersebut.

Bahkan, rumah pertama juga menjadi saksi kedekatan antara ayah dan saya, dulu. Di dalam rumah itu pula, ayah terlihat bangga ketika saya kecil berucap tentang cita-cita untuk pertama kalinya, bahwa saya ingin menjadi profesor dan orang yang dikenal!

Ada banyak hal yang saya ingat tentang masa lalu di rumah pertama. Namun, hal yang paling saya rindukan adalah saat saya sering mengikuti kegemaran ayah minum teh, (biasanya) saat menjelang malam. Dulu, saat saya kecil, ayah akan minum teh di ruang keluarga sembari memasang telinga pada pesawat radio bututnya yang menyiarkan program berita.

Dulu, ayah sering mendengar program berita di radio yang menyiarkan tentang negara-negara di luar negeri. Irlandia. Sampai sekarang, ketika mendengar negara tersebut, hati saya terenyuh. Karena saya kecil terobsesi ingin menginjakkan kaki di negara yang dulu tak pernah saya ketahui berada di belahan bumi mana, tetapi sering saya dengar dari radio milik ayah saya tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, seperti ada sekat antara ayah dan saya. Ayah terlalu sibuk dengan kegiatannya. Kelak, ayah saya berhasil, dan kami sekeluarga tidak lagi tinggal di rumah pertama. Namun, sejak ayah dan saya jarang bertemu, ada banyak kejadian di luar rumah yang membikin saya bersedih (bahkan trauma) saat mengingatnya.

Sejak itulah, saya memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman saya bertepatan dengan diresmikannya rumah baru. Ya, sejak masuk SMP, saya memutuskan menjadi anak kos—sehigga, intensitas saya berkumpul dengan keluarga di rumah pun berkurang. Ditambah lagi, saya sudah hidup sebagai anak kos karena jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Bisa memakan waktu lebih dari 30 menit dengan menumpang angkutan desa. Belum lagi, saya harus berjalan kaki sejauh 3 km dari tepi jalan raya untuk menuju sekolah yang berada di pelosok—melewati jalanan berkelok dan berlumpur, dengan hamparan sawah yang memenuhi pandangan di kiri dan kanan.

Dan, ketika SMA, saya pun tinggal di asrama. Biasanya, saya hanya berkesempatan pulang setiap satu bulan sekali—itu pun pulang di Sabtu siang dan harus kembali ke asrama Minggu sore. Menyedihkan, memang.

Untuk itulah, saya menjadi kurang familier dengan rumah kedua. Setiap pulang ke rumah, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Selama bertahun-tahun, saya mencoba mengakrabi rumah kedua, mencoba mencari kehangatan seperti yang saya dapatkan saat di rumah pertama. Namun, saya baru bisa mendapatkan kehangatan di rumah kedua beberapa tahun kemudian, ketika hubungan ayah dan saya kembali terjalin lebih akrab—meskipun saat hal tersebut terjadi, saya sudah menetapkan tujuan untuk menjemput impian-impian saya yang semakin berkobar; dengan pindah ke Bandung untuk alasan pendidikan.

Sejujurnya, sejak kecil saya memang ingin cepat menjadi dewasa dan mandiri. Saya bercita-cita ingin meninggalkan kampung halaman dan hidup di kota besar semacam Jakarta agar mengejar impian saya; karena sejak kecil saya percaya, saya akan lebih berkembang jika hidup di lingkungan perkotaan. Saya ingin menguasai bahasa Inggris—karena sejak kecil saya ingin menginjak tanah Irlandia (dan New York)—tetapi di kampung saya tidak ada sama sekali fasilitas kursus. Saya ingin menjadi penyanyi dan musisi andal, tetapi saya tidak tahu harus mengawalinya dari mana. Saya juga ingin menjadi pelukis dan penulis andal, tetapi yang saya lakukan hanya belajar otodidak. Seperti yang saya bilang, sejak kecil, saya memang memiliki misi untuk menjadi orang besar dan terkenal.

Meski sangat sederhana, tetapi bagi saya, rumah pertama tetap tak terlupakan. Banyak kisah manis yang terjalin antara saya dan keluarga—terutama ayah. Rumah pertama juga menjadi saksi akan impian-impian yang saya tulis dalam kertas-kertas yang kemudian saya masukkan ke dalam botol, lalu saya kubur di bawah pohon manga di samping rumah pertama tersebut—dan suatu hari, botol tersebut raib. Rumah pertama juga menjadi saksi bahwa saya bercita-cita tinggal dan mengurai impian di kota besar semacam Jakarta.

Dan, kini, di sinilah saya, di kota yang sempat saya dengungkan saat kecil—Jakarta. Berharap, saya berhasil menjaga impian saya agar tidak memudar, hingga impian tersebut dapat terwujud satu-satu. Saya ingin ke Irlandia, dan menetap beberapa waktu di New York City sembari menjalin strategi untuk mewujudkan impian-impian selanjutnya. Saya percaya, someday… I will![]