Catatan Buku #2: Karena Kita Tidak Kenal


Judul buku : Karena
Kita Tidak Kenal
Penulis : Farida Susanty
Penerbit : Grasindo

Cetakan : 1, 2010

Jumlah halaman : V + 199 hal

Harga : Rp. 39.900

Honest, ada banyak pertimbangan yang menjadikan gue sosok plin-plan untuk memutuskan membeli buku ini. Tapi, yang pasti, hal yang membikin gue terdorong untuk membelinya adalah, bukan karena judul, cover, synopsis atau nama penerbit, melainkan karena ketertarikan gue sama award yang pernah diterima sang penulis (tapi bukan karena nama penulisnya. Sebab gue sendiri nggak pernah baca tulisan-tulisan sang penulis sebelumnya): pemenang Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007, Kategori Penulis Muda Berbakat (Hmmm… ini adalah satu ajang di dunia kepenulisan yang gue sendiri kepengen bisa jadi salah satu peraih nominasinya ). Plus, karena waktu itu Grasindo sedang mengadakan diskon yang lumayan gede untuk seluruh buku-buku terbitannya. (haha… ketara perhitungan!)

Well, kalau dibaca lebih teliti, secara konsep, buku ini cukup keren (seperti yang tertera di sampul belakang buku): membahas tentang orang asing, tentang keterasingan seseorang terhadap diri sendiri, membagi rahasia dengan orang asing, mencoba menarik orang asing, dan mempengaruhi hidup orang-orang asing. Uppss… awalnya gue sempat bingung, sebab di cover belakang buku (lebih tepatnya di sisi atas barcode/ISBN) buku ini bergenre “novel remaja”, tapi, setelah gue perhatikan dengan seksama, ternyata, buku ini memuat antologi cerpen. Ehemm… bukan masalah sih, yang terpenting, gue suka sama konsep untuk buku ini (yang bikin gue kecewa, sebab konsep ini sudah digagas oleh Farida terlebih dahulu, padahal gue juga sedang mengembangkan konsep serupa untuk antologi catatan kecil tentang diri gue).

But, meski gue suka konsep buku ini, tapi gue nggak musti tertarik sepenuhnya sama isinya. “Karena Kita Tidak Kenal” memuat 16 cerpen (not novel remaja!), yang keseluruhan ceritanya tetap konsekuen sama konsep cerita: tentang orang asing. Hmm… dari ke-16 cerpen, entah mengapa gue ngerasa bahasa bertutur sang penulis sedikit berbeda antara cerpen satu dengan yang lain: maksudnya beberapa cerpen berbahasa santai anak muda, namun, beberapa di antaranya mengangkat persoalan diluar konsep lain buku ini; untuk remaja. Bisa gue comotkan (upss!) contoh di #1 Bagaimana Cara Menarik Orang Asing, dengan #8 Pemakaman. Gue kira cerpen #1 dengan #8 sangat berbeda segmentasi. Kalau cerpen #1 memang tentang remaja, tetapi untuk cerpen #8 agaknya untuk segmentasi dengan tingkatan yang agak tinggi: dewasa muda.

Sepertinya, cerpen #1 Bagaimana Menarik Orang Asing merupakan cerpen andalan penulis (sebab hal itu diakui oleh sang penulis seperti yang tertulis pada bagian akhir buku: bagian Q&A). Ya, gue juga bisa membaca kesan itu. Sebab cara Farida bertutur cukup mengalir khas anak muda. Meski gue rasa, cerpen itu sederhana namun syarat makna. Dan kisah yang ditulis memang realitas sering dialami oleh para pengguna situs jejaring sosial Friendster di masa itu (termasuk gue).
Keren!
Tapi, entah kenapa gue lebih suka cerpen yang #6 Culik dan #12 Musik.
Sebab cerpen “Culik”, ketika membaca itu, gue merasa harus berfikir di akhir cerita. Meski sebenarnya ada satu hal yang tidak logis dari cerita. Masa, sih, anak sekecil itu (laki-laki) sudah tahu kasih sayang (selayaknya suami-istri) dengan sang penculik (laki-laki)? Hah?

Dan kalau gue boleh menyimpulkan cerita tersebut, menurut imajinasi gue; “si Alexa memang sengaja ingin diculik sebab dia muak dengan kehidupan di rumahnya (dengan ayahnya yang perfeksionis dan selalu menekannya secara fisik atau psikis, dsb), sehingga dia memilih untuk diculik meski sang penculik pernah memukul, menendanginya (walau sang penculik juga tidak tega), sampai akhirnya ketika Alexa dilepaskan oleh sang penculik, dia malah memilih untuk semalam bersama dengan sang penculik ketimbang pulang. Pada intinya, Alexa menginginkan penculikan itu.”

Tapi, ada satu kalimat yang membikin gue terus berkutat dan bertanya-tanya adalah tentang ini (kalimat narasi yang diutarakan oleh sang penculik mengenai kisahnya dan Alexa); “setelah perceraianku, aku tidak pernah merasakan pelukan tulus seperti yang dia lakukan padaku malam itu. […] Aku tidak akan mengatakan apa pun untuk menghancurkan keluarga itu.” (hal. 80). Hmmm...Maksudnya? Barangkali Farida menginginkan pembaca bertanya-tanya ketika selesai membaca cerita ini. Gue rasa, dalam cerpen ini dia berhasil melakukan itu.

Bagaimana dengan cerpen yang berjudul “Musik”?

Hahaha… gue bener-bener suka kreasi Farida dalam memunculkan petikan-petikan lagu karya musisi yang gak gue kenal: Paris Harrington. Siapa? Hmm… setelah gue searching, nggak ada tuh yang namanya Paris Harrington atau lagu yang judulnya New York City (yang ada, judul lagu itu dinyanyikan oleh Norah Jones, dengan lirik yang berbeda). Ternyata, Farida pintar, ya, membikin dan mengkolaborasikan imajinasi?! I like it! Termasuk dalam cerpen “Alice in Wonderless Land”, satu cerpen hasil imajinasi yang unik mengingatkan gue pada satu film karya sutradara Tim Burton yang pernah melesat menjadi box office beberapa bulan lalu: Alice in Wonderland. Dan yang pengen gue tanyakan sama penulis (sebab membikin gue penasaran): Siapa sih Paris Harrington? (Hmmm... ini gue yang bego dan terlalu "kampung", atau memang Paris Harrington itu satu nama musisi rekaan?) *kalau suatu saat ada jawaban dari penulisnya, barangkali gue akan langsung merevisi resensi ini*

Satu lagi cerpen yang bikin gue kalang kabut mengartikannya. Bukan karena susah mencerna bahasa yang disajikan, tapi, gue ngerasa ada satu makna dari cerpen yang sedikit "bolong", dan akhirnya gue—yang bukan ahli huruf Kanji—berusaha dengan keras untuk mengartikan judul cerpen yang senantiasa ada di setiap bagian cerita #10 ini: 死 (yang berarti Shine/kematian. Oalaaahhh...). Satu hal yang pengen gue tanyain ke penulisnya; kenapa setiap membikin simbol dalam cerpen, nggak pernah dikasih penjelasannya (atau catatan kaki) tentang simbol yang ingin disertakan dalam cerpen itu? Sebab ketika menggunakan simbol (huruf kanji) tanpa ada penjelasan mengenai arti simbol itu, akan sangat menyusahkan pembaca untuk memperdalam makna cerita dan gue yakin hanya beberapa pembaca yang mengetahui kanji itu langsung dan akhirnya bisa menyerap makna cerita. Mungkin kalau alasannya, karena pengen pembaca bertanya-tanya/penasaran, lantas memutar otak untuk mencari makna dari sebuah simbol tersebut, mungkin itu bisa dimaklumi. Sebab memang Farida berhasil melakukan itu. Hehe...

Sebenarnya, gue juga suka sama cerita #5 Rahasia. Menarik. Sebab memberikan pencerahan psikologi bagi remaja yang pernah melakukan hubungan “itu”. Tapi, hmmm… ya itu, lho, ada beberapa bagian cerita yang nggak konsekuen dan terkesan aneh. Sebab dalam cerpen “Rahasia” ini, dikatakan bahwa Ardia sudah punya cowok, tapi kenapa dia merasa bahwa nggak bakal ada cowok yang suka sama dia? (mungkin itu tentang psikologi dia, kali, ya? Rada bingung nyernanya. Padahal bahasa yang ditulis juga nggak ribet. Intinya, harusnya gue mudah mencernanya).

Dan lagi, seperti yang tertulis di hal 62, di situ dideskripsikan bahwa Ardia adalah sosok yang kurus, tapi sejak awal, kan, diceritakan bahwa Ardia itu merasa gemuk, seperti dialog di halaman 57 berikut ini; “Aku benar-benar gemuk, dan kakiku seperti batang pohon. Sumpah deh, besar sekali. Aku harus turun beberapa kilo lagi.” Oh, atau mungkin Ardia merasa dirinya masih gemuk, namun padahal sebenarnya (tanpa disadarinya) dia kurus? Ehemmm…

Dan juga, kalau gue perhatikan di halaman 64 (masih di cerpen “Rahasia”), seperti ini: […] gadis itu mengangkat bahu dan melanjutkan. “Itu benar-benar menyiksa. Saya benci diri saya,” katanya, memalingkan diri dari kaca. “Lalu suatu hari…. Saya bertemu laki-laki ini.Nah, pada dialog ini tidak jelas, siapa yang ditunjuk sebagai “laki-laki ini” yang pernah ditemuinya (entah sosok lelaki yang sekarang menjadi tempat curhatnya, ataukah Aksa, kekasih Ardia?). Tapi, sepertinya (jika ditilik lebih lanjut dari dialog-dialog selajutnya) yang gue tangkap, Ardia mendeskripsikan “si laki-laki” itu sebagai pacarnya sekarang, Aksa. Seharusnya, gue bersaran agar ada pemotongan (atau setidaknya sedikit revisi) cerita di bagian ini, sebab gue rasa bagian ini yang merusak jalan cerita sampai akhir cerpen “Rahasia” selesai.

Kenapa?

Karena seharusnya, kata-kata “saya bertemu laki-laki ini” dibarengi dengan menunjukkan nama/foto Aksa, kekasihnya (kalau dicerna dari segi bahasa dan penekanan dialog, memang seharusnya Ardia menunjukkan sesuatu tentang lelaki yang tengah dibicarakan olehnya). Kalau sudah begitu, otomatis si Om langsung tahu, bahwa si kekasih Ardia itu adalah anak kandungnya sendiri (seperti yang diceritakan di akhir cerita).

Tapi, oleh sang penulis, cerita ini tetap dituliskan hingga akhir dan klimaksnya adalah penulis memberitahukan bahwa (dan gue nggak menduganya) kalau sosok yang diceritakan oleh Ardia (kekasih yang telah merenggut keperawanannya, karena dia satu-satunya laki-laki yang menganggapnya cantik, dan otomatis Ardia tidak mau kehilangan satu-satunya laki-laki di dunia yang mengatakan bahwa dia cantik. Karena hal itu, lantas dia tetap melanjutkan hubungan “itu”, namun kali ini bukan hanya dengan kekasihnya semata, tetapi juga dengan sahabat-sahabat kekasihnya) adalah anak kandung si Om, sosok orang asing yang sejak berada di dalam kereta mengajaknya curhat.

Sehingga cerpen ini terkesan rancu di tengah cerita dan menyebabkan cerpen tidak konsekuensi hingga di akhir cerita. Namun, sebenarnya bisa jadi itu bukan suatu kesalahan yang besar. Sebab jika kita membaca sekilas dan tidak menganalisa per kata dengan benar, memang dialog itu tidak akan mengganggu ritme cerita. Tentu, jika kita benar-benar menganalisa lebih dalam cerita, kesalah tersebut akan menjadi fatal dan merusak jalan cerita yang (sebenarnya) sudah dikonsep cukup bagus.

Memang, barangkali kelemahan antologi ini adalah cerita yang seharusnya masih bisa diedit, diolah, diperbaiki kualitasnya agar (lebih) layak baca. Tapi bukan berarti kualitas isi dari cerita yang ditawarkan penulisnya tidak bagus, malah, gue beranggapan bahwa konsep dan isi cerita yang ditulis sangat bagus dan menginspirasi.

Tapi, gue salut, sebab cerita dalam antologi ini (salah satunya cerpen RAHASIA) sangat menginspirasi, dan memiliki soul yang meracau liar. Sehingga benar, Farida sepertinya telah membekali setiap cerpennya dengan nyawa yang membikin seseorang bisa mematahkan makna tentang keterasingan—

—Sebab, pasti banyak dari kita yang menganggap bahwa menjadi asing itu menyedihkan. Sendirian, nggak punya teman. Memang, menjadi asing lebih banyak merupakan hal yang menyedihkan, tetapi nggak selalu begitu. Bahkan yang lebih menyedihkan “orang asing” itu nggak sebatas pada kesendirian. Ada orang yang menjadi asing bahkan bagi dirinya sendiri. Nggak sadar siapa yang dilihatnya saat bercermin. Orang-orang yang secara (nggak) sadar membiarkan hidupnya berada di bawah kehendak orang lain. Padahal meskipun orang lain itu orang tua kita sendiri, tentu saja kita yang lebih berhak memilih sendiri masa depan seperti apa yang ingin kita miliki, bukan?

Dan ada beberapa cerpen yang dialognya membekas dalam benak gue adalah ketika gue membaca dialog tokoh Indina dalam cerpen “WWS” (nah, gue gak tau nih arti dari judul cerpen ini apa) dan dialog yang dituturkan oleh Rio, si anak yang tidak mempercayai agama (ateis) dalam cerpen “Tuhan”:

[…] ”Hey, aku juga nggak kenal kamu, tapi aku nggak takut sama kamu. Aku malah sudah ingin menganggap kamu adik. Tahu nggak? Nggak ada yang namanya orang asing di dunia ini. Nggak ada orang yang pantas disebut orang asing di dunia ini. Pada dasarnya mereka bakal menganggapmu sebagai keluarga juga kalau kamu mau membuka diri pada mereka,”[…] “Kamu… nggak pernah sendiri." (hal. 160)

[…] “Siapa sih Tuhan buat lo? Paling juga Tuhan Cuma orang asing buat lo, kayak orang lain. Yang ngelakuin ritual ini itu tapi nggak ngerti juga mereka nyembah siapa[…]” (hal. 91)

Nah, jadi, karena kita tidak kenal, maka, terimalah sebuah resensi dari seorang asing. Dan dalam menulis, ingatlah, kita harus tetap berpengangteguh seperti kata-kata berikut: “Siapapun yang melempar wacana ke masyarakat mesti bersedia menanggung risiko atas segala tanggapan, dipuja maupun dihujat—dan itulah ukuran kedewasaannya.” (Seno Gumira Ajidarma)

2 komentar:

Farida Susanty mengatakan...

Terima kasih ya atas review mendalamnya tentang buku saya :) Saya sangat menghargai itu, terlepas isinya positif/negatif (ternyata campuran keduanya).

Ya, saya tidak memberi tahu arti simbolnya agar orang menebak-nebak itu artinya apa berdasarkan cerita. Ya, Paris Harrington adalah musisi rekaan, tapi lagunya benar-benar dinyanyikan oleh band indie Indonesia yang bekerja sama dengan saya, Merci Pour Le Venin. Ini lagunya http://www.4shared.com/audio/TX7ePnqw/Merci_Pour_Le_Venin_-_The_Song.htm dengan lirik yang tidak sepenuhnya sama tapi chorusnya sama.

Ya, si cewek di cerpen Rahasia memang anoreksia yang akan selalu menganggap diri gemuk walau dia sudah sekurus apapun. Ya, ada kesalahan editing di situ. Dan tidak, pelukan antara Alexa dan penculiknya adalah pelukan polos anak kecil pada orang yang dia sayang.

Mudah-mudahan menjawab pertanyaan :) Terima kasih sekali lagi, saran ditampung.

Baru nemuin blog ini. Glad I did.

Kikit mengatakan...

..........
Note to Farida Susanty:
linknya eror, tdk berlaku...adakah link yg lain?
gara2 baca buku ini saya jadi nyariin semua lagu2nya.... like this book :D