Secara jujur, aku suka konsep dan cerita buku karya Farida Susanty, Karena Kita Tidak Kenal. Sebab memang cerita yang dituturkannya menyinggung tentang pribadiku. Dan (mungkin) ketika menulis catatan kecil ini, bisa jadi karena aku memang terinspirasi buku antologi “Karena Kita Tidak Kenal” karyanya.
“Hey, […] nggak ada yang namanya orang asing di dunia ini! […] Pada dasarnya, mereka bakal menganggapmu sebagai keluarga juga, kalau kamu mau membuka diri pada mereka[…]”
Entah kenapa, tulisannya yang paling berkesan di benakku adalah pada dialog tokoh Indina yang berucap tentang keterasingan seperti yang aku cuplik di atas. Di sisi lain, aku merasa dialog tokoh Indina itu ada benarnya, tapi, di sisi lain, dialog itu bisa dipatahkan dengan realitas yang ada. Sebab aku percaya, tidak semua orang asing itu baik dan mau menerima diri kita apa adanya.
Dan jika aku ingat atas kejadian lalu—ketika bertemu dengan orang asing yang mengaku editor naskahku—aku akan berucap tidak setuju atas dialog tokoh Indina di atas. Sebab dengan teganya orang asing yang mengaku editorku itu, telah menggasak semua benda berharga yang saat itu tengah kubawa. Maka, karena kasus tersebut, membawaku berada pada satu kesimpulan: “nggak selamanya orang asing itu baik, meski kita sudah membuka diri pada mereka sekalipun!”
Hmm… meski begitu, entah kenapa, kemarin, aku berusaha memberanikan diri untuk bertemu dengan seorang asing. Meski benakku sedikit memberikan sinyal waspada saat bertemu dengannya, dengan seorang asing.
Tentu ada sebab kenapa aku sampai berani untuk (sekali lagi) bertemu dengan orang asing, selepas trauma karena kejahatan yang pernah dilakukan oleh orang asing tempo lalu. Jawabannya, sebab akhir-akhir ini, aku merasa menjadi seorang (ter)asing di antara orang-orang yang sudah tidak asing jika bersitatap denganku: semakin asing dengan kehidupan keluarga di kampung, tentu, sebab hidup terpaut oleh jarak. Semakin asing dengan sahabat, yang tiba-tiba satu per satu di antara mereka tidak pernah lagi berjumpa saat “rumpian” itu tiba (sebab, sejak tahun pertama aku kuliah di Bandung, aku punya partner yang mau menampung segala sampah permasalahan hidupku pada mereka, namun, satu per satu di antara mereka memiliki problematika pelik masing-masing, sehingga menyebabkan persahabatan kami renggang). Juga semakin asing dengan sang kekasih, yang sejak 3 bulan lalu menjalin hubungan LDR, dan kini, aku merasa asing dengannya, sebab cintaku serasa digantung olehnya. Kejam! Memang!
Maka, karena problem tersebut, lantas aku beranggapan, bahwa aku harus menemui satu saja di antara 500milyar orang asing di muka bumi, yang bersedia menampung curhatan hatiku. Ya, satu saja. Tapi adakah?
Hmm… ternyata, setelah meneguhkan tekad, kemarin, aku bertemu seorang asing di sebuah toko buku di daerah Soepratman (memang pertemuan itu sudah kami rencanakan. Hmm… tapi aku tidak akan bilang, darimana aku bisa tahu tentangnya). Yang pasti, aku beruntung bisa bertemu orang asing sepertinya. Sebab dia baik. Serasa ada chemistry saat pertamakali kami bertemu. Dia bukan seorang yang sombong apalagi jutek. Aku suka dengannya. Dan aku merasa nyaman menceritakan segala problematikaku dengannya. Akhirnya, di antara 500milyar makhluk bumi, masih ada 1 orang yang mau memasang telinganya untuk mendegarkan keluhkesah hatiku, yang juga seorang asing baginya.
Perlahan, aku ingin mendalami kisah persahabatanku dengannya. Sebab memang, menjadi orang asing itu memuakkan. Sehingga, aku terobsesi untuk menjadi seorang yang di(ter)kenal di antara orang asing (seperti selebritis, penulis, dan public figure lain). Biar orang asing yang bertemu denganku bisa menyapa tanpa ada perasaan malu, risih, jutek atau pun jaim (meski suatu saat aku akan merasa asing dengan seorang yang menyapaku, tapi, tidak apa, yang penting, mereka bisa menganggapku tidak asing dalam hidupnya).
Sebab aku sadar, bahwa sesunggunya aku muak menjadi orang asing di lingkunganku sendiri: kampus, kostan, tempat nongkrong, keluarga, tempat kursus, dan semua lingkungan tempatku menjajak hidup. Terlebih, aku muak menjadi asing dengan kekasihku sendiri. Mulai detik ini (ketika mengetik bagian ini) aku akan melupakan dia. Kekasih LDR yang terkadang mencintaiku tergantung mood. Yang barangkali dia mau kembali menjalin hubungan dengaku, oleh karena hanya menjadikanku sebagai pelariannya setelah putus dengan kekasih terdahulunya yang juga seorang pelatih vocalnya. Aku yakin, ketika membaca ini, dia akan marah besar. Tapi, sudahlah, aku sudah tidak nyaman menjadi seorang asing dikehidupannya. Sebab aku yakin, dia begitu karena dia ingin kembali dengan kekasih lamanya—yang juga seorang pelatih vocalnya! Good luck, MK!
Satu lagi, suatu saat aku ingin menjadikan Farida Susanty—seorang penulis Karena Kita Tidak Kenal—sebagai seorang yang tidak lagi asing, dan tidak menganggapku asing (haha… lucu sekaligus aneh aku ini!). Tentu, sebab dia sudah berjasa membagikan kisah tentang keterasiangan untuk orang-orang yang merasa asing, sepertiku. Sehingga, karena cerita-ceritanya, seseorang bisa mematahkan makna tentang keterasingan itu sendiri. Dan aku sadar, menjadi orang asing... itu memuakkan!
“Hey, […] nggak ada yang namanya orang asing di dunia ini! […] Pada dasarnya, mereka bakal menganggapmu sebagai keluarga juga, kalau kamu mau membuka diri pada mereka[…]”
Entah kenapa, tulisannya yang paling berkesan di benakku adalah pada dialog tokoh Indina yang berucap tentang keterasingan seperti yang aku cuplik di atas. Di sisi lain, aku merasa dialog tokoh Indina itu ada benarnya, tapi, di sisi lain, dialog itu bisa dipatahkan dengan realitas yang ada. Sebab aku percaya, tidak semua orang asing itu baik dan mau menerima diri kita apa adanya.
Dan jika aku ingat atas kejadian lalu—ketika bertemu dengan orang asing yang mengaku editor naskahku—aku akan berucap tidak setuju atas dialog tokoh Indina di atas. Sebab dengan teganya orang asing yang mengaku editorku itu, telah menggasak semua benda berharga yang saat itu tengah kubawa. Maka, karena kasus tersebut, membawaku berada pada satu kesimpulan: “nggak selamanya orang asing itu baik, meski kita sudah membuka diri pada mereka sekalipun!”
Hmm… meski begitu, entah kenapa, kemarin, aku berusaha memberanikan diri untuk bertemu dengan seorang asing. Meski benakku sedikit memberikan sinyal waspada saat bertemu dengannya, dengan seorang asing.
Tentu ada sebab kenapa aku sampai berani untuk (sekali lagi) bertemu dengan orang asing, selepas trauma karena kejahatan yang pernah dilakukan oleh orang asing tempo lalu. Jawabannya, sebab akhir-akhir ini, aku merasa menjadi seorang (ter)asing di antara orang-orang yang sudah tidak asing jika bersitatap denganku: semakin asing dengan kehidupan keluarga di kampung, tentu, sebab hidup terpaut oleh jarak. Semakin asing dengan sahabat, yang tiba-tiba satu per satu di antara mereka tidak pernah lagi berjumpa saat “rumpian” itu tiba (sebab, sejak tahun pertama aku kuliah di Bandung, aku punya partner yang mau menampung segala sampah permasalahan hidupku pada mereka, namun, satu per satu di antara mereka memiliki problematika pelik masing-masing, sehingga menyebabkan persahabatan kami renggang). Juga semakin asing dengan sang kekasih, yang sejak 3 bulan lalu menjalin hubungan LDR, dan kini, aku merasa asing dengannya, sebab cintaku serasa digantung olehnya. Kejam! Memang!
Maka, karena problem tersebut, lantas aku beranggapan, bahwa aku harus menemui satu saja di antara 500milyar orang asing di muka bumi, yang bersedia menampung curhatan hatiku. Ya, satu saja. Tapi adakah?
Hmm… ternyata, setelah meneguhkan tekad, kemarin, aku bertemu seorang asing di sebuah toko buku di daerah Soepratman (memang pertemuan itu sudah kami rencanakan. Hmm… tapi aku tidak akan bilang, darimana aku bisa tahu tentangnya). Yang pasti, aku beruntung bisa bertemu orang asing sepertinya. Sebab dia baik. Serasa ada chemistry saat pertamakali kami bertemu. Dia bukan seorang yang sombong apalagi jutek. Aku suka dengannya. Dan aku merasa nyaman menceritakan segala problematikaku dengannya. Akhirnya, di antara 500milyar makhluk bumi, masih ada 1 orang yang mau memasang telinganya untuk mendegarkan keluhkesah hatiku, yang juga seorang asing baginya.
Perlahan, aku ingin mendalami kisah persahabatanku dengannya. Sebab memang, menjadi orang asing itu memuakkan. Sehingga, aku terobsesi untuk menjadi seorang yang di(ter)kenal di antara orang asing (seperti selebritis, penulis, dan public figure lain). Biar orang asing yang bertemu denganku bisa menyapa tanpa ada perasaan malu, risih, jutek atau pun jaim (meski suatu saat aku akan merasa asing dengan seorang yang menyapaku, tapi, tidak apa, yang penting, mereka bisa menganggapku tidak asing dalam hidupnya).
Sebab aku sadar, bahwa sesunggunya aku muak menjadi orang asing di lingkunganku sendiri: kampus, kostan, tempat nongkrong, keluarga, tempat kursus, dan semua lingkungan tempatku menjajak hidup. Terlebih, aku muak menjadi asing dengan kekasihku sendiri. Mulai detik ini (ketika mengetik bagian ini) aku akan melupakan dia. Kekasih LDR yang terkadang mencintaiku tergantung mood. Yang barangkali dia mau kembali menjalin hubungan dengaku, oleh karena hanya menjadikanku sebagai pelariannya setelah putus dengan kekasih terdahulunya yang juga seorang pelatih vocalnya. Aku yakin, ketika membaca ini, dia akan marah besar. Tapi, sudahlah, aku sudah tidak nyaman menjadi seorang asing dikehidupannya. Sebab aku yakin, dia begitu karena dia ingin kembali dengan kekasih lamanya—yang juga seorang pelatih vocalnya! Good luck, MK!
Satu lagi, suatu saat aku ingin menjadikan Farida Susanty—seorang penulis Karena Kita Tidak Kenal—sebagai seorang yang tidak lagi asing, dan tidak menganggapku asing (haha… lucu sekaligus aneh aku ini!). Tentu, sebab dia sudah berjasa membagikan kisah tentang keterasiangan untuk orang-orang yang merasa asing, sepertiku. Sehingga, karena cerita-ceritanya, seseorang bisa mematahkan makna tentang keterasingan itu sendiri. Dan aku sadar, menjadi orang asing... itu memuakkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar