Cicak di Dinding Kuning


Malam ini ada cicak kawin di dinding kamar saya. Sebelumnya, saya mengamati kedua pasangan cicak itu sedang berkejar-kejaran di dinding kuning yang terpapar luas. Seakan ketika mengamatinya, saya sedang menonton kisah pecintaan di sebuah bioskop. Dan yang saya bayangkan, saya sedang menonton film India. Dinding kuning itu sebagai layar monitornya, sedangkan kedua cicak itu adalah aktor yang menghibur saya. Bagai Kajol dan Syahrukh Khan yang berkejar-kejaran dan sedang berputar-putar di sebatang pohon sembari menyanyikan “Kuch Kuch Hota Hai”. Ah, tapi saya harus realitis. Sebab yang saya amati cuma sepasang cicak (yang hendak kawin).

Memang sejak beberapa hari ini, entah mengapa, cicak itu selalu ada bersama saya disaat saya sedang galau sembari mengurung diri di dalam kamar. Bahkan anehnya, kedua cicak itu sampai berani-beraninya turun ke lantai dan tanpa takut masuk ke dalam plastik putih yang berisikan makanan yang baru saja saya beli dari Alfamart di sebelah tempat kost saya. Aneh memang. Tapi saya biarkan cicak itu mengorek-koreknya, sampai plastik tersebut bergerak-gerak dan berbunyi.


Kali ini, kedua cicak itu masih asyik berkejar-kejaran di dinding kuning kamar saya. Sedangkan saya, mengamati keduanya dengan pandangan menerawang. Terkadang, saya berpikir, mungkin hidup mereka sangat indah. Terbuai dalam cinta di dunia yang tak saling banyak mengenal. Ya, dunia serasa milik berdua. Mereka tak ada beban. Mati pun (sepertinya) tak akan ada yang menangisi. Ah, entahlah. Hidup memang penuh misteri.

Ketika cicak yang dikejar (saya yakin itu betina) telah luluh, saya masih terpaku dengan pikiran menerawang. Dan ketika kedua cicak itu saling mendekat (mungkin sedang bercumbu), perasaan sedih saya kembali menyeruak. Sekali lagi saya bayangkan, betapa indahnya hidup keduanya. Terbuai dalam alunan asmara. Tanpa ada yang akan mengganggunya. Ah, lagi-lagi saya berpikir, dunia serasa hanya milik mereka berdua!

Sesungguhnya saya iri dengan kisah kasih kedua cicak tersebut. Mereka bisa saling mengeskpresikan perasaan cintanya. Saya tidak. Yang saya rasakan: saya kesepian di sini, di sebuah ruangan berdinding kuning ini. Ah, tapi saya yakin, kadang hidup memang tak harus “ramai” dan terisi.

Jujur, selama ini saya tak berniat mencari kekasih sejak dini. Saya lebih menomorsatukan pendidikan dan cita-cita saya ke depan. Bukan saya tak suka perempuan. Juga bukan karena saya takut pada pernikahan. Tetapi, hanya karena saya berusaha memenuhi komitmen saya untuk tidak membuang-buang waktu saya dalam hal percintaan. Bahkan saat saya bertanya pada sahabat saya yang tengah terbuai asmara, ia menganggap bahwa berpacaran itu sangat penting dan bisa dikatakan sebagai langkah awal untuk membina sebuah hubungan rumah tangga.

Saya bahkan setuju dengan anggapan tersebut.

Sebenarnya, pernah terpikir dalam benak saya untuk mengisi kekosongan relung hati saya, dengan mencari penawarnya. Tapi lagi-lagi saya tak sanggup. Sebab saya berbeda. Saya telah berjanji dan membuat sumpah, tidak akan menjalin cinta sebelum saya menyelesaikan pendidikan saya. Janji itu saya ucapkan ketika buyut saya hendak dipanggil Sang Kuasa. Beliau bahkan tahu tentang pribadi saya. Beliau pahan akan keadaan saya. Karena itu, saya tak boleh berpacaran jika hanya akan membuat fondasi masa depan saya hancur berantakan.

Yang saya tahu, saya gampang tersulut “gejolak” yang menjadi-jadi. Karena itu, saya memilih “diam”.

Malam ini, ada cicak kawin di dinding kamar saya. Saya berusaha mengganggu mereka. Karena saya takut berdosa, melihat mereka ‘bercinta’. Ha-ha-ha.[]

1 komentar:

Nona Nanlohy mengatakan...

to be honest .... u gak akan menyesal dengan janji u itu. karena that was me before. bedanya gw gak sampat mengenyam dunia university...ceritaku hanya seputar galih dan ratna..but im proud cos im nearly be there. to be right where i am now... dont worry ur step is forever worth it