#1. Surat Elektra

Cerpen ini pernah dipublikasikan di weblog resmi GagasMedia Juni 2010

"you are a great storyteller"
[Christian Simamora]


Fiuh!
Pagi yang basah. Hujan semalam nampaknya belum usai, masih menyisakan gerimis yang merendam rerumputan di taman belakang rumah kontrakan yang kutempati. Dari balik lekukan teralis jendela, kucoba amati percikan air yang tempias meluncur dari atap genting. Pagi ini, aku benar-benar menjadi sosok yang linglung. Mungkin ini sebagai efek ketika aku mengangeni sahabat karibku, Elektra Antonio Lebenzon, yang sudah beberapa hari ini pergi tanpa ada kabar. Tak seorang pun yang tahu dia sedang berada di mana. Entahlah, barangkali dia tengah bersenyawa dengan langit, atau mungkin tengah berserah diri kepada samudera.

As I told you, aku dan Elektra adalah seorang mahasiswa semester akhir di Fakultas Ilmu Antropologi, National University of Colombia. Aku seorang yang berasal dari Indonesia dan bersuku Melayu, sedangkan Elektra, seorang asli Tibetan[1]. Nampaknya, akan banyak orang yang mengira jika Elektra merupakan sebuah nama yang disandang perempuan cantik, seperti yang tergambar dalam komik Frank Miller atau film karya Rob Bowman yang berjudul sama, Elektra. Namun ternyata malah sebaliknya, Elektra, sahabatku, merupakan sosok lelaki tampan dengan sejuta pesona, dan tak heran jika dia adalah sosok yang menjadi dambaan setiap gadis-gadis yang terpikat oleh pesonanya.

Tak banyak pula orang yang tahu jika dia adalah seorang Tibetan, dan mengiranya seorang keturunan Cina, termasuk aku. Meski sudah lama tinggal satu tempat dengannya di Bogota, namun, baru seminggu yang lalu aku tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Dan aku baru menyadari, bahwa seusai perbincangan yang penuh kedekatan itu, lantas dia menghilang dari kebersamaanku. Sebab dia harus pulang ke kampung halamannya di Bucaramanga. Dan setelah itu, tak ada lagi kabar darinya hingga kini.

Lagu My One True Friend[2] mengalun di playlist handphone-ku. Namun, secara mendadak lagu itu berhenti dan menandakan ada sinyal SMS masuk. Aku membukanya. Dan alangkah terkejutnya, ketika aku membaca SMS dari nomor yang tak kukenal, dan dibagian akhir SMS tersebut terselipkan satu nama; Elektra. Aku membaca dengan seksama.

“Aksan, apa kabarmu, Sobat? Hmm… aku yakin, saat sekarang kau sedang galau mencari tahu tentang keadaanku. Saat ini, aku masih beruntung sebab Izrail masih berbaik hati, dan membiarkanku bernafas untuk beberapa saat, sehingga aku berkesempatan untuk memberimu kabar tentangku. San, perlu kau tahu, sekarang aku sedang berserah diri menunggu ‘masa itu’ tiba di sebuah rumah sakit di Bucaramanga. Jika kau ingin tahu lebih jauh tentang keadaanku, kau bisa menjengukku di sini. Meski ketika kau datang nanti, barangkali aku sudah pergi. —Elektra.”

Aku benar-benar terkejut membaca pesan itu. Dan ketika aku membaca informasi pengiriman pesan, menunjukkan bahwa pesan tersebut sudah dikirim sejak 2 hari yang lalu. Aneh. Yang lebih mengejutkan, ketika aku berusaha menghubungi nomor itu hingga beberapakali, namun sambungan tak terkoneksikan. Lantas, tanpa basa-basi, ketika cahaya pagi yang menerpa luncuran air serupa jutaan jarum telah memudarkan kegelapan pagi buta, aku segera bergegas menuju Bucaramanga. Berharap sekiranya Elektra hanya berbohong atas segala ucapannya.

Di sepanjang perjalanan, benakku benar-benar resah. Gelisah. Gundah. Dalam hati aku merasa, jika sudah sampai di kampung halaman Elektra nanti, aku tidak akan lagi menemukan seraut wajah tampannya. Namun, aku tetap bersikeras, dan menepis pikiran konyol itu. Aku tetap optimis, bahwa SMS itu hanya akal-akalan Elektra untuk mempermainkanku.

Tidak munafik, hidup dan berteman dengan Elektra memang menawarkan suatu warna tersendiri. Kami bisa bertengkar karena berbagai hal. Lalu beberapa waktu tidak saling menghubungi. Ada banyak kesamaan antara aku dengannya: sama-sama keras kepala, sama-sama perhitungan, sama-sama sensitif dan suka mengatakan orang lain sensitif (dan tidak menyadari, jika kami lebih sensitif ketimbang orang yang kami bicarakan), suka sama-sama mupeng ketika melihat cewek bohay, suka memperhatikan dan mengomentari setiap penampilan penari-penari Cumbia[3], menyukai irama lagu Yo Me Llamo Cumbia[4] dan lain-lain, dan lain-lain.

Setiap kali badai usai, kami mulai bicara segala hal dan mengerjakan berbagai hal lagi bersama-sama: pesta lagi, rebutan cewek lagi, berantem lagi, baikan lagi, keluh kesah lagi, pujian lagi, bahagia lagi, lalu nasihat lagi dari dia supaya aku bisa mengurangi sesuatu kebiasaan burukku: merokok dan mempermainkan perasaan perempuan. Dan nasihat terakhir dari dia kudengar seminggu yang lalu. Dari pertemuan itu aku merasa, itulah pertemuan terakhirku dengannya.

Sesampainya di Bucaramanga, entah mengapa langkahku bukan bertujuan ke rumah sakit tempanya di rawat, namun, langkah kakiku bersikeras untuk mengunjungi rumahnya terlebih dahulu. Rumah Elektra berada di daerah pemukiman yang tidak padat penduduk. Aku harus melalui beberapa perkebunan untuk sampai. Elektra bukanlah seorang dari keluarga berada. Namun, aku sangat bangga dengan segala riak-riak jiwa semangatnya untuk menjadi seorang yang sukses demi mengangkat martabat keluarganya.

Diceritakannya, bahwa dia masuk di fakultas antropologi karena cita-cita untuk membantu negaranya dalam mencari solusi untuk segala sesuatu tentang perselisihan dengan Negara lain. Dia pernah bercerita, bahwa negaranya memiliki banyak masalah yang disebabkan oleh ketegangan politik antara gerakan marxis dan pihak kapitalis. Dan konsekuensi dari hal itu adalah gerilyawan, orang-orang hilang, petani pindah dari kampung halaman mereka dengan kekerasan, perang terhadap pendidikan publik, perkebunan ilegal, narco lalu lintas dan tentu saja terorisme berasal dari kedua bagian. Dalam konteks ini, maka dia telah memutuskan untuk studi Antropologi demi membantu mencari solusi untuk semua masalah di negaranya.

Setelah hampir seperempat jam melangkahkan kaki, akhirnya sampailah aku di pelataran rumah Elektra. Rumah mungilnya tampak ramai. Batinku terasa semakin tak enak. Sulit rasanya membendung kekhawatiranku. Namun, segalanya seakan mulai terjawab ketika aku telah masuk ke dalam rumahnya. Aku tahu di sini tentu tidak akan ada kegembiraan. Dan aku meyakini jika di sini hanya akan ada duka dan air mata. Dan tangisku seketika buyar setelah kudapati wajah tampan Elektra terbaring di dalam peti jenazah. Aku tidak kuasa menengok jasadnya yang tak asing bagiku, tetapi aku bisa membayangkan betapa perih dia menjalani saat-saat terakhirnya. Aku tidak mampu membendung airmata. Aku duduk di sampingnya dan mohon maaf padanya, sebab aku tak bisa menemani disaat-saat terakhirnya.

Mengenang Elektra Antonio Lebenzon sungguh tidak mudah. Dia adalah seorang sahabat yang sangat manusiawi. Lengkap dengan berbagai kekesalan yang diciptakannya, dengan kelucuan-kelucuan polahnya dan kebaikan-kebaikannya. Justru karena itulah, dia begitu lekat dalam kenangan. Kini ketika dia pergi, aku kehilangan cara untuk menghilangkannya dari pikiranku. Bagaikan sebuah film, semua hari-hari yang pernah kuhabiskan bersamanya seolah diputar kembali di hadapanku. Dan semuanya lagi-lagi mengantar jatuhnya airmataku, entah untuk kali ke berapa.

Ketika aku akan kembali ke Bogota, aku membuka tas dan mengambil satu titipan Elektra yang terbungkus kertas berwarna biru yang diberikan oleh ayahnya untukku. Perlahan aku membukanya, dan melihat satu aksesoris dinding yang bertuliskan “Aksan & Elektra, Best Friend Forever”, lengkap dengan karikatur wajah kami. Di dalam bungkusan itu, aku menemukan sebuah lipatan kertas putih dengan tulisan tangan Elektra. Dengan derai air mata, aku membacanya.

Aksan,

Aku telah memastikan, bahwa ketika kau membaca surat ini, I have gone forever. Maaf, sebab aku tidak pernah bersedia menceritakan sesuatu penyakit yang telah kuderita padamu. Aku telah menderita radang otak, dan kini, ketika menuliskan surat ini, aku telah terbaring lemah menunggu “masa itu” tiba.

Beberapa hari sebelum menuliskan surat ini, aku telah mengirim SMS untukmu, tapi sama sekali tak ada balasan darimu. Kau tahu, batinku serasa teriris pilu, sebab menunggu balasan SMS yang tak kunjung kudapat. Perlahan aku mencoba tetap optimis tentang sesuatu keadaan dirimu. Namun, ketika aku membaca info pengiriman SMS, ternyata pesan tersebut tertunda. Beberapakali aku mengirimnya kembali, namun selalu tertunda dan tertunda. Aku ingin menelfonmu, namun, aku tak kuasa untuk mendengar suaramu, Sahabatku. Entah mengapa. Lantas, aku hanya bisa menuliskan apa yang ingin aku bicarakan di kertas ini.

Aksan, kau adalah seorang sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Kau tahu, sedari dulu ketika kau bercerita tentang Indonesia, aku selalu bercita-cita untuk datang ke Indonesia. Aku ingin lihat Ibukota Jakarta yang kau bilang selalu macet. Aku ingin melihat sudut-sudut keindahan Bali seperti photo-photo yang kau perlihatkan. Aku ingin melihat pertunjukan Wayang. Belajar membuat Batik. Belajar kesenian Indonesia. Melihat Candi Borobudur dan beragam prasasti serta peninggalan zaman dahulu. Melihat Komodo. Melihat Raflesia Arnoldi. Mendengar dongeng Nyi Ratu Kidul dari sang ahli ceritanya. Menguak beragam misteri nama-nama hantu seperti ceritamu: Kuntilanak, Wewegombel, Sundel Bolong, Pocong, Gederuwo, Buto Ijo.

Diam-diam aku sangat tertarik dengan cerita-cerita yang kau tuturkan. Sehingga aku mencatat dan menghafalnya dalam otak. Sebab dulu aku berkeyakinan, bahwa aku akan dapat berkunjung ke negaramu. Namun nampaknya itu mustahil, sebab ketika kau membaca surat ini, kupastikan bahwa aku telah pergi.

Aku titip salam untuk kekasihku, Si Cantik Angela Kahlo, yang terkadang setia menjaga di pembaringanku, bilang, bahwa aku meminta maaf sebab tidak sempat menjaga cinta kami abadi, dan aku berpesan untuk mencari cinta lain yang lebih baik dan tentunya bukan dengan lelaki brengsek.

Sebelum aku mengakhiri semuanya, aku mengajukan satu permohonan untukmu, pajangkanlah satu pigura yang tertulis namamu dan namaku ini di dinding kamarmu. Atau jika kau kurang suka dengan kenangan ini, setidaknya kau bisa menyimpannya dengan baik. Dan kelak, jika kau pulang ke Indonesia, bawa serta kenangan dariku ini. Dengan begitu, meski aku tidak sempat menginjakkan kaki ke Indonesia, tetapi aku sudah berbangga jika kelak kau mau membawa serta kenangan dariku ke Indonesia.

Aksan, bahwa sangat banyak suatu janji untukmu yang belum kutepati. Maka, aku hanya bisa menyampaikan maafku di secarik kertas ini. Dan aku berpesan, BERHENTILAH MEROKOK! BERHENTILAH MEMAINKAN PERASAAN PEREMPUAN! JAUHILAH DUNIA MAKSIAT YANG SELAMA INI KAU MASUKI! TEKUNILAH STUDIMU, sebab sebentar lagi kau akan mendapat gelar sarjana. Aku yakin, kelak, kau akan menjadi seorang yang sukses. Namun, jika kau tidak mengindahkan pesan-pesan dariku, kau akan kudatangi, lantas menyentilmu. J

Big Hug,

Elektra Antonio Lebenzon


Aku meneteskan airmata ketika membaca surat Elektra. Sebab aku sungguh tidak siap menghadapi kematiannya. Namun aku tidak bisa menolak kuasa Tuhan. Aku hanya ingin meminta maaf dan berterima kasih untuk dunia yang telah diperkenalkannya bagiku, untuk semua yang dia bawa dan diberikannya dalam hidupku. Aku berharap semoga Elektra mendapatkan segala hal yang terbaik di sisi-Nya.

Kini, walaupun teman di Facebook, Twitter dan Plurk miliknya tidak akan bertambah lagi dan tidak ada lagi yang update status, menulis note atau berbalas testimoni di akun jejaring sosial miliknya. Meskipun caller-ID YM-nya tidak akan pernah nyala lagi. Biarpun namanya di handphone-ku tidak akan berdering lagi. Dan blog “Eyes of Mind” miliknya yang ter-follow di blog-ku tidak akan pernah terposting curhatan narsisnya lagi. Semua belum akan kuhapus dan mungkin tidak akan kuhapus. Biar waktu saja yang akan menghapus. Sebab itu akan menjadi kenangan tersendiri buatku.***

Catatan:
[1] Orang Tibet
[2] Merupakan lagu karya Bette Midler, yang menjadi favorit kami.
[3] Tarian rakyat Kolombia.
[4] Lagu rakyat Kolombia campuran antara Drum Afrika, dan campuran dari beberapa jenis harmoni Amerika, Eropa, dan Afrika

Komentar untuk Surat Elektra:

# Suci: dari tulisan udah ketauan kalo si zuma2 yang nulis. bagus, dan sudah pintar merangkai kata2... hohoh.. ayooo teruskannn penulisannya... =D
# Erick: Pertamanya kukira tokoh "Aku" itu cewek, dan Elektra juga cewek. Setelah membaca penjelasan kalau Elektra itu cowok jadi ngerti. Tapi masih mengira klo Aku itu cewek sampe ada tulisan "melihat cewek bohay" baru sadar klo dua-duanya itu cowok. Hahaha... Bagus juga cerita ini. Iri sama kelugasan kamu bercerita.
# Icky: THATS GREATS,,, 2 TUMBS 4 U,,, JOE,,,
# Ayu: Excited !!! ..........bagi-bagi ilmunya yah Ka...hehe,
# Nuy: Kereeeen... ceritanya ngalir gitu aja diksinya mantepp! dan aku kira juga si "aku" itu cewek...
# Angchan: 10 thumbs for u kak!!!!! awesome!!!! padahal jumlah huruf hanya ada 26 biji tapi kakak......merangkainya dengan.... hohohoho sampe g tau mo bilang apa
# Septa Mellina:
KEREN!!! Paling suka endingnya. Dulu, sempet berpikir "kabar" social network yg ditinggal sama si empunya, seperti kasus Elektra. Sedih baca endingnya... Tp jagoan deh ngerangkai katanya.

2 komentar:

Yogi Jay mengatakan...

Sumpahlah!
tadi'x gua kira cerita gay, ato cerita sex gay. hha.. :D
cz, si Aksan slalu memuji ke tampanan Elektra. hahahahaa... :D

tapi,, Notab Jummm...!!! :D :D
kepala Preman Kircon bae pasti nangis ngebaconyo.
hha :D

Jumali Ariadinata mengatakan...

aihhh... elu mah. di otak kau tu gay toroosss!!!! hahaha... gek lamo-lamo berubah kau Jay! haha

Thanks udah mampir dan kasih komen. hehe... :)