(ilustration from google.com)
CLARISSA tampak kecewa ketika dia dan keluarga diundang untuk datang pada malam perjamuan di rumah orangtua David—lelaki yang menurutnya “cupu” dan sejak SMA menaksir dirinya. Clarissa enggan datang karena dia tahu bahwa malam itu akan ada kesepakatan perjodohan yang tidak dia inginkan: antara dirinya dengan si cupu, David.
Aku tak pernah melihat Clarissa semuram ini. Sungguh. Oh, ternyata, cinta yang dipaksakan bisa mengubah seseorang menjadi sosok di luar kebiasaannya. Aku kasihan padanya. Sungguh!
Aku mengenal Clarissa sejak pertamakali masuk SMA. Tepat ketika kami melangsungkan MOS. Aku teringat, bahwa ia dahulu—juga sampai sekarang—adalah sosok gadis yang memiliki daya tarik yang sangat spesifik. Cantik, dan yang lebih mencengangkanku, dia adalah gadis yang smart. Lebih-lebih dia sangat pandai berorganisasi, tak salah jika dia pernah menjabat di bagian OSIS bersamaku.
Dia juga menyukai dunia kepenulisan, bahkan dia dipercaya untuk mengasuh rubrik tetap di suatu majalah remaja. Dia seorang announcer di radio yang sama denganku. Juga model. Jadi, tidak heran jika baru masuk sekolah saja namanya cepat melambung menjadi sosok primadona sekolah. Yang aku herankan, meski banyak lelaki tampan yang mengejar cintanya, tapi dia tidak bergeming sedikit pun untuk memilih di antara sekian lelaki tampan yang menaksirnya.
Selama di sekolah, jujur saja, ke mana-mana kami selalu berdua. Meski kami memiliki banyak sahabat, tetapi aku dan Clarissa merasa cocok jika harus jalan berdua tanpa ada ikatan dalam sebuah hubungan khusus; pacaran barangkali. Entahlah, mengapa Clarissa merasa tidak risih jalan berdua denganku. Bahkan aku sempat curi-curi kesempatan untuk memegang tangannya sekalipun, dia tidak memarahiku. Yang pasti, kami berdua merasa cocok dan nyaman meski jalan berdua tanpa sebuah ikatan, seperti berpacaran.
Bahkan dia seringkali bercerita mengenai perasaannya yang tidak ingin memiliki pacar, seperti yang tengah ngetren di kalangan remaja. Menurutnya, ia takut jika sesuatu hal yang tidak ia inginkan akan terjadi di masa berpacarannya, seperti yang terjadi dengan beberapa sahabatnya; hamil di luar nikah. Sebab dia cuma ingin membuktikan bahwa zaman sekarang masih ada gadis yang bersikukuh menjaga keperawanannya. Dia ingin menentang salah seorang sahabat yang berkomentar seperti ini: “Hari gini, mana ada sih gadis yang masih virgin?” Maka, dia ingin membuktikan, bahwa moralitas remaja sekarang tidak sepenuhnya sebobrok seperti yang seorang sahabatnya tuturkan. Mendengar pernyataan seperti itu, lantas dia hanya bisa berkomentar, “Cumaorang bego dan frustasi yang sampai bilang begitu!”
Tapi, tidak begitu yang dilakukannya denganku. Aku merasa, akulah tempatnya untuk mencurahkan semua isi hatinya, keinginannya, harapan kedepannya dan bahkan segala permasalahan yang ada. Entah itu mengenai keluarga, sekolah dan tidak jarang dia juga mengemukakan masalah peribadinya terhadapku; sepertihalnya dia selalu jujur kepadaku tentang ketakutannya terhadap lelaki jika sudah menikah nanti; dia juga entah disengaja ataukah tidak sering bilang padaku setiap jadwal di mana dia akan menstruasi, pasti sehari sebelum “tamu” itu datang, dia akan bilang padaku.
Sehingga aku merasa bahwa dia sudah menganggapku “siapa-siapanya”. Tapi entahlah aku di dalam kehidupannya ditempatkannya pada posisi apa? Entah sahabat sejati, ataukah pacar barangkali? Tapi tidak mungkin aku ditempatkannya pada posisi pacar, dia tidak pernah sekalipun bilang padaku kalau dia sangat mencintaiku dan ingin menjalin hubungan yang lebih denganku.
Suatu ketika, problematika pelik menghantuinya, hingga mengubah pola pikirnya yang bersikukuh untuk menjaga keperawanannya, menjadi pudar. Saat kami berenang berdua, dia bilang padaku bahwa dia sangat ingin merasakan bagaimana berhubungan seks sebelum melakukan hubungan secara resmi bersama lelaki pilihan hidupnya kelak. Lantas saja aku terperangah mendengar pernyataannya. Apa kau sudah gila Clarissa? Kau adalah seorang yang bodoh jika sampai menyerahkan kehormatanmu pada lelaki belang sebelum menjalin pernikahan hanya untuk sekedar mencicipnya saja.
Aku tidak tahu apakah dia punya ketakutan khusus terhadap suatu hubungan seksualitas ataukah tidak? Tetapi yang pernah kudengar, dia sangat ketakutan sekali dengan sebuah penyakit—entahlah, ini dapat diklasifikasikan dalam sebuah penyakit ataukah bukan—pada wanita yang disebut Vaginismus. Dia pernah menemukan nama itu di sebuah majalah wanita. Ya, aku sendiri pernah mendengar istilah itu beberapa saat lalu.
Vaginismus adalah suatu keadaan di mana lingkaran otot yang mengelilingi vagina menjadi kejang, menjepit lubang vagina dengan erat sehingga penetrasi yang dilakukan oleh penis, atau pembalutnya sangat menyakitkan atau bahkan dokter dapat mengatakan itu mustahil. Menurut para ahli, Vaginismus hampir selalu merupakan suatu gangguan psikomatris. Vaginanya selalu akan menutup jika ada penis yang akan masuk. Para pakar pernah menyatakan jika hal seperti itu terjadi pada seorang yang trauma pada seksualitasnya, sehingga hal itu dibawanya ke bawah sadar.
Begitulah. Sahabatku itu adalah seorang gadis yang benar-benar ketakutan terhadap istilah tersebut. Vaginismus. Dia takut jika suatu saat akan mengidap penyakit seperti itu dan dia tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dalam sebuah pernikahan hanya karena dia tidak bisa berhubungan intim dengan sang suami. Tetapi aku pernah bilang padanya jika vaginismus bisa terjadi sebagai akibat dari masalah psikologis murni atau traumatik. Barangkali itu berbentuk perkosaan, hubungan seksual antara anggota keluarga atau penganiayaan pada masa kanak-kanak, atau bahkan suatu fobia seksual. Tetapi Clarissa masih saja ketakutan akan istilah penyakit yang baginya cukup mengerikan itu. Vaginismus.
Bahkan yang mengejutkanku, ketika Clarissa bilang padaku bahwa dia menginginkan ada seorang lelaki yang mencoba memasukkan penisnya pada vaginanya, tetapi itu hanya sebentuk testing saja, bukan untuk diteruskan hingga menemui titik klimaks. Sekiranya apakah vaginanya bisa menerima penis itu dan mempersilahkannya masuk ke dalamnya ataukah tidak.
“Aku rasa itu adalah sebuah hal yang bodoh, Clarissa. Kalau kau ingin melakukannya, barangkali kau bisa masturbasi. Tentu itu akan membuatmu aman karena tidak bakal terjadi sesuatu yang tidak kau inginkan, hamil barangkali.” Aku berpendapat saat Clarissa mengungkapkan sesuatu hal yang menurutku bodoh itu.
“Tapi, Charles, kami bisa memakai pengaman!” jawabnya.
“Pengaman tidak 100% melindungi, Clarissa,” aku tak kalah telak.
“Tidak masalah jika aku melakukannya dengan orang yang aku sayang, dan dia juga menyayangiku.”
“Gerangan, siapakah orang yang kau maksud itu?”
“Raymond!”
SEMUANYA telah berubah. Ya, ternyata Clarissa tidak seperti yang kukira. Nyatanya dia sama saja dengan gadis-gadis lain yang bodoh karena harus menyerahkan keperawanannya demi cinta—sebelum terikat pernikahan. Aku baru sadar, bahwa Clarissa enggan menerima perjodohan dengan David karena dia telah memberikan “segalanya” untuk Raymond. Dan pada pertemuan malam itu di suatu kedai kopi, dia bilang padaku bahwa dia ingin jujur tentang segala sesuatunya kepada orang tuanya. Dan berharap mereka mengizinkan dirinya menjalin kasih dengan Raymond.
Oh, Clarissa, kau benar-benar seorang gadis tidak seperti yang aku duga! Sungguh!
DAN semuanya benar-benar telah berubah setelah obrolan di kedai kopi itu. Kadar kebersamaanku dengan Clarissa, kini mulai berkurang. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan Raymond. Persahabatan kami seakan tak lagi memiliki arti. Sebab kini, dia tidak lagi menganggapku ada. Aku membencinya. Sungguh![]
Aku tak pernah melihat Clarissa semuram ini. Sungguh. Oh, ternyata, cinta yang dipaksakan bisa mengubah seseorang menjadi sosok di luar kebiasaannya. Aku kasihan padanya. Sungguh!
Aku mengenal Clarissa sejak pertamakali masuk SMA. Tepat ketika kami melangsungkan MOS. Aku teringat, bahwa ia dahulu—juga sampai sekarang—adalah sosok gadis yang memiliki daya tarik yang sangat spesifik. Cantik, dan yang lebih mencengangkanku, dia adalah gadis yang smart. Lebih-lebih dia sangat pandai berorganisasi, tak salah jika dia pernah menjabat di bagian OSIS bersamaku.
Dia juga menyukai dunia kepenulisan, bahkan dia dipercaya untuk mengasuh rubrik tetap di suatu majalah remaja. Dia seorang announcer di radio yang sama denganku. Juga model. Jadi, tidak heran jika baru masuk sekolah saja namanya cepat melambung menjadi sosok primadona sekolah. Yang aku herankan, meski banyak lelaki tampan yang mengejar cintanya, tapi dia tidak bergeming sedikit pun untuk memilih di antara sekian lelaki tampan yang menaksirnya.
Selama di sekolah, jujur saja, ke mana-mana kami selalu berdua. Meski kami memiliki banyak sahabat, tetapi aku dan Clarissa merasa cocok jika harus jalan berdua tanpa ada ikatan dalam sebuah hubungan khusus; pacaran barangkali. Entahlah, mengapa Clarissa merasa tidak risih jalan berdua denganku. Bahkan aku sempat curi-curi kesempatan untuk memegang tangannya sekalipun, dia tidak memarahiku. Yang pasti, kami berdua merasa cocok dan nyaman meski jalan berdua tanpa sebuah ikatan, seperti berpacaran.
Bahkan dia seringkali bercerita mengenai perasaannya yang tidak ingin memiliki pacar, seperti yang tengah ngetren di kalangan remaja. Menurutnya, ia takut jika sesuatu hal yang tidak ia inginkan akan terjadi di masa berpacarannya, seperti yang terjadi dengan beberapa sahabatnya; hamil di luar nikah. Sebab dia cuma ingin membuktikan bahwa zaman sekarang masih ada gadis yang bersikukuh menjaga keperawanannya. Dia ingin menentang salah seorang sahabat yang berkomentar seperti ini: “Hari gini, mana ada sih gadis yang masih virgin?” Maka, dia ingin membuktikan, bahwa moralitas remaja sekarang tidak sepenuhnya sebobrok seperti yang seorang sahabatnya tuturkan. Mendengar pernyataan seperti itu, lantas dia hanya bisa berkomentar, “Cumaorang bego dan frustasi yang sampai bilang begitu!”
Tapi, tidak begitu yang dilakukannya denganku. Aku merasa, akulah tempatnya untuk mencurahkan semua isi hatinya, keinginannya, harapan kedepannya dan bahkan segala permasalahan yang ada. Entah itu mengenai keluarga, sekolah dan tidak jarang dia juga mengemukakan masalah peribadinya terhadapku; sepertihalnya dia selalu jujur kepadaku tentang ketakutannya terhadap lelaki jika sudah menikah nanti; dia juga entah disengaja ataukah tidak sering bilang padaku setiap jadwal di mana dia akan menstruasi, pasti sehari sebelum “tamu” itu datang, dia akan bilang padaku.
Sehingga aku merasa bahwa dia sudah menganggapku “siapa-siapanya”. Tapi entahlah aku di dalam kehidupannya ditempatkannya pada posisi apa? Entah sahabat sejati, ataukah pacar barangkali? Tapi tidak mungkin aku ditempatkannya pada posisi pacar, dia tidak pernah sekalipun bilang padaku kalau dia sangat mencintaiku dan ingin menjalin hubungan yang lebih denganku.
Suatu ketika, problematika pelik menghantuinya, hingga mengubah pola pikirnya yang bersikukuh untuk menjaga keperawanannya, menjadi pudar. Saat kami berenang berdua, dia bilang padaku bahwa dia sangat ingin merasakan bagaimana berhubungan seks sebelum melakukan hubungan secara resmi bersama lelaki pilihan hidupnya kelak. Lantas saja aku terperangah mendengar pernyataannya. Apa kau sudah gila Clarissa? Kau adalah seorang yang bodoh jika sampai menyerahkan kehormatanmu pada lelaki belang sebelum menjalin pernikahan hanya untuk sekedar mencicipnya saja.
Aku tidak tahu apakah dia punya ketakutan khusus terhadap suatu hubungan seksualitas ataukah tidak? Tetapi yang pernah kudengar, dia sangat ketakutan sekali dengan sebuah penyakit—entahlah, ini dapat diklasifikasikan dalam sebuah penyakit ataukah bukan—pada wanita yang disebut Vaginismus. Dia pernah menemukan nama itu di sebuah majalah wanita. Ya, aku sendiri pernah mendengar istilah itu beberapa saat lalu.
Vaginismus adalah suatu keadaan di mana lingkaran otot yang mengelilingi vagina menjadi kejang, menjepit lubang vagina dengan erat sehingga penetrasi yang dilakukan oleh penis, atau pembalutnya sangat menyakitkan atau bahkan dokter dapat mengatakan itu mustahil. Menurut para ahli, Vaginismus hampir selalu merupakan suatu gangguan psikomatris. Vaginanya selalu akan menutup jika ada penis yang akan masuk. Para pakar pernah menyatakan jika hal seperti itu terjadi pada seorang yang trauma pada seksualitasnya, sehingga hal itu dibawanya ke bawah sadar.
Begitulah. Sahabatku itu adalah seorang gadis yang benar-benar ketakutan terhadap istilah tersebut. Vaginismus. Dia takut jika suatu saat akan mengidap penyakit seperti itu dan dia tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dalam sebuah pernikahan hanya karena dia tidak bisa berhubungan intim dengan sang suami. Tetapi aku pernah bilang padanya jika vaginismus bisa terjadi sebagai akibat dari masalah psikologis murni atau traumatik. Barangkali itu berbentuk perkosaan, hubungan seksual antara anggota keluarga atau penganiayaan pada masa kanak-kanak, atau bahkan suatu fobia seksual. Tetapi Clarissa masih saja ketakutan akan istilah penyakit yang baginya cukup mengerikan itu. Vaginismus.
Bahkan yang mengejutkanku, ketika Clarissa bilang padaku bahwa dia menginginkan ada seorang lelaki yang mencoba memasukkan penisnya pada vaginanya, tetapi itu hanya sebentuk testing saja, bukan untuk diteruskan hingga menemui titik klimaks. Sekiranya apakah vaginanya bisa menerima penis itu dan mempersilahkannya masuk ke dalamnya ataukah tidak.
“Aku rasa itu adalah sebuah hal yang bodoh, Clarissa. Kalau kau ingin melakukannya, barangkali kau bisa masturbasi. Tentu itu akan membuatmu aman karena tidak bakal terjadi sesuatu yang tidak kau inginkan, hamil barangkali.” Aku berpendapat saat Clarissa mengungkapkan sesuatu hal yang menurutku bodoh itu.
“Tapi, Charles, kami bisa memakai pengaman!” jawabnya.
“Pengaman tidak 100% melindungi, Clarissa,” aku tak kalah telak.
“Tidak masalah jika aku melakukannya dengan orang yang aku sayang, dan dia juga menyayangiku.”
“Gerangan, siapakah orang yang kau maksud itu?”
“Raymond!”
*
SEMUANYA telah berubah. Ya, ternyata Clarissa tidak seperti yang kukira. Nyatanya dia sama saja dengan gadis-gadis lain yang bodoh karena harus menyerahkan keperawanannya demi cinta—sebelum terikat pernikahan. Aku baru sadar, bahwa Clarissa enggan menerima perjodohan dengan David karena dia telah memberikan “segalanya” untuk Raymond. Dan pada pertemuan malam itu di suatu kedai kopi, dia bilang padaku bahwa dia ingin jujur tentang segala sesuatunya kepada orang tuanya. Dan berharap mereka mengizinkan dirinya menjalin kasih dengan Raymond.
Oh, Clarissa, kau benar-benar seorang gadis tidak seperti yang aku duga! Sungguh!
*
DAN semuanya benar-benar telah berubah setelah obrolan di kedai kopi itu. Kadar kebersamaanku dengan Clarissa, kini mulai berkurang. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan Raymond. Persahabatan kami seakan tak lagi memiliki arti. Sebab kini, dia tidak lagi menganggapku ada. Aku membencinya. Sungguh![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar