SEORANG gadis cilik berusia 12, duduk tercenung di sisi jendela. Matanya menatap tajam ke arah langit sore. Tatapannya tampak kosong. Warna kulitnya begitu pucat. Sehingga membikin gadis itu tampak seperti mayat.
Matahari berwarna merah yang sejak tadi ia perhatikan, perlahan bersembunyi di balik peraduannya. Matanya mengikuti matahari yang hendak beringsut secara perlahan. Bertahap akan tergelincir ke sisi lain dunia. Mata cokelat gelapnya yang sedaritadi seperti tak memiliki intrik kehidupan, kini tampak berbinar seperti matahari itu sendiri.
Begitu awan biru telah diselimuti guratan-guratan merah, ungu dan nila, gadis itu ke luar kamar, lalu memanjat ke atap. Semilir angin senja memberikan kecupan lembut pada kulit pucatnya. Segumpalan rambut yang ia biarkan tergerai, melambai-lambai dan beberapa di antaranya rontok akibat dipermainkan oleh sang angin.
Biasanya, ketika senja beranjak menyelimuti bumi, akan ada beberapa anak yang memandang ke luar jendela demi memasati saat-saat matahari terbenam; biasanya, pasangan akan duduk di sebuah bukit untuk menyaksikan matahari terbenam. Tapi, gadis itu mencoba memperlihatkan potret lain tentang bagaimana cara menikmati sunset—dengan mendaki dinding bangunan dan berakhir dengan duduk menekuk lutut di pojok atap berbentuk kubus itu.
Salah satu sinar yang berkilau muncul dan menghias langit yang mulai memudarkan warna nila. Membawanya satu detik untuk menyadari bahwa titik cemerlang itu adalah bintang.
Dia memandang sekeliling dan melihat warna hitam mengaburkan coretan nila yang menguasai langit. Dan bintang-bintang mulai tumbuh di mana-mana, seperti bunga ajaib yang bercahaya. Matanya tetap terpaku pada bintang pertama yang terlihat begitu cemerlang di antara bintang-bintang lain. Dia lalu memejamkan mata, dan memeluk kakinya. Seakan takut terjatuh dari dirinya sendiri. Dia lalu membuat satu harapan. Ya, hanya satu.
“Aku berharap setelah mati, bisa diberikan kesempatan untuk menjelajahi semesta ini….”
Suaranya berbisik ke udara malam, terjalin ke dalam pusaran angin.
Perlahan, suara itu terdengar melemah.
Dan kata-kata itu senantiasa terabadikan dan tetap terjalin dalam pusaran angin.
Tapi gadis itu dengan penuh perjuangan mengucapkan harapan yang sama, sampai kali ketiga.
Setelah itu, suaranya berhenti. Benar-benar berhenti.
Gadis itu masih duduk menekuk lutut di atas sebuah bangunan berbentuk kubus itu.
Tapi dia terdiam dan matanya tekatup.
Barangkali dia kini telah pergi meninggalkan dunia, dan sedang bersiap untuk merealisasikan harapannya untuk menjelajahi semesta.
Ya, gadis cilik itu sudah pergi.
Dia mati.[]
Matahari berwarna merah yang sejak tadi ia perhatikan, perlahan bersembunyi di balik peraduannya. Matanya mengikuti matahari yang hendak beringsut secara perlahan. Bertahap akan tergelincir ke sisi lain dunia. Mata cokelat gelapnya yang sedaritadi seperti tak memiliki intrik kehidupan, kini tampak berbinar seperti matahari itu sendiri.
Begitu awan biru telah diselimuti guratan-guratan merah, ungu dan nila, gadis itu ke luar kamar, lalu memanjat ke atap. Semilir angin senja memberikan kecupan lembut pada kulit pucatnya. Segumpalan rambut yang ia biarkan tergerai, melambai-lambai dan beberapa di antaranya rontok akibat dipermainkan oleh sang angin.
Biasanya, ketika senja beranjak menyelimuti bumi, akan ada beberapa anak yang memandang ke luar jendela demi memasati saat-saat matahari terbenam; biasanya, pasangan akan duduk di sebuah bukit untuk menyaksikan matahari terbenam. Tapi, gadis itu mencoba memperlihatkan potret lain tentang bagaimana cara menikmati sunset—dengan mendaki dinding bangunan dan berakhir dengan duduk menekuk lutut di pojok atap berbentuk kubus itu.
Salah satu sinar yang berkilau muncul dan menghias langit yang mulai memudarkan warna nila. Membawanya satu detik untuk menyadari bahwa titik cemerlang itu adalah bintang.
Dia memandang sekeliling dan melihat warna hitam mengaburkan coretan nila yang menguasai langit. Dan bintang-bintang mulai tumbuh di mana-mana, seperti bunga ajaib yang bercahaya. Matanya tetap terpaku pada bintang pertama yang terlihat begitu cemerlang di antara bintang-bintang lain. Dia lalu memejamkan mata, dan memeluk kakinya. Seakan takut terjatuh dari dirinya sendiri. Dia lalu membuat satu harapan. Ya, hanya satu.
“Aku berharap setelah mati, bisa diberikan kesempatan untuk menjelajahi semesta ini….”
Suaranya berbisik ke udara malam, terjalin ke dalam pusaran angin.
Perlahan, suara itu terdengar melemah.
Dan kata-kata itu senantiasa terabadikan dan tetap terjalin dalam pusaran angin.
Tapi gadis itu dengan penuh perjuangan mengucapkan harapan yang sama, sampai kali ketiga.
Setelah itu, suaranya berhenti. Benar-benar berhenti.
Gadis itu masih duduk menekuk lutut di atas sebuah bangunan berbentuk kubus itu.
Tapi dia terdiam dan matanya tekatup.
Barangkali dia kini telah pergi meninggalkan dunia, dan sedang bersiap untuk merealisasikan harapannya untuk menjelajahi semesta.
Ya, gadis cilik itu sudah pergi.
Dia mati.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar