Sore Ini, Aku Bercinta Kembali dengan Hujan.


Everybody wants happiness, 
 nobody wants pain. 
 But, you can’t have a rainbow, 
without a little rain. 

Aku duduk di sini, di kursi taman yang sepi. Cuma tercenung, seperti orang linglung. Kulirik kursi kayu di sampingku. Hanya tampak satu botol bening yang sudah tak berisi di atas situ. Aku tersenyum mengamatinya. Ya, karena botol itu merupakan simbol kehidupanku: transparan dan kosong!

Biasanya, jika musim panas, taman ini tak pernah sepi. Di tepi danau buatan yang dikelingi rumput segar ini orang-orang berjemur, membaca, dan bercengkerama. Angsa-angsa berenang ke sana-kemari. Tupai liar berlari lincah mencari biji-bijian dan menikmatinya di lubang-lubang persembunyian.

Namun, musim panas baru akan tiba empat bulan mendatang. Sekarang, sedang musim penghujan.

Bahkan, saat aku duduk di sini, langit hitam berarak dari arah selatan memayungi taman kota ini. Embusan angin membikin permukaan danau menjadi beriak kecil, bergerak dalam pusaran, seperti debu tergulung angin.

Kemudian, angin berhenti berputar. Tak ada lagi gerakan sama sekali. Kecuali kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya dengan gerakan penuh gesa—barangkali harus mencari perlindungan. Sebab, awan hitam di angkasa akan segera memuntahkan hujan. Bahkan, meledakkan petir, hingga memekakkan keheningan suatu sore di taman ini.

Dan, ya….

Dalam hitungan tak lebih dari sepuluh, rinai hujan berguguran dan menghunus kepalaku. Kupasrahkan hujan mencumbuku dan membiarkannya menari di atas kepalaku. Beberapa orang mungkin merasa suram saat hujan tiba. Namun, aku akan menyambutnya dengan sukacita. Aku tak marah-marah atau berlari ketakutan seperti yang dilakukan orang-orang saat hujan menyerbu mereka. Dengan hujan, seperti ada kebahagiaan yang kurasakan.

Kebahagiaan? Ah, telah lama aku merindu kata ini untuk mampir barang sejenak di kehidupanku. Ia seperti memudar, dan secepat kilat menghilang di balik kelambu kepedihan yang membekap setiap inci tubuhku.

Aku bahkan tak tahu lagi apa impianku sejak kebahagiaan mulai meredup. Sepertihalnya Cinderella, dulu, aku memimpikan seorang yang setia dan sudi menjagaku hingga akhir waktu.

Namun, sepertinya Cinderella lebih mujur ketimbang aku. Aku seperti telah terjebak karena mencintai seseorang yang lebih suka marah-marah. Sebenarnya, aku tak memedulikan pertengkaran-pertengkaran kecil yang seringkali menjadi kerikil tajam yang menghambat langkah kami. Namun, aku benar-benar seperti tercabik-cabik saat mendapati ia telah berkhianat: mengisap setiap putik lain yang berkelopak lebih indah.

Jika Cinderella berhasil mewujudkan setiap impian-impiannya yang berserakan, tidak denganku. Aku lebih dulu mematahkan impian Cinderella-ku karena aku seperti dibutakan saat permasalahan bertubi-tubi menyergapku hingga terpuruk dalam batas kepedihan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, sampai suatu hari, hujan mengepungku.

Dan, ya, aku bercinta dengan hujan malam itu.

Seperti malam itu, sore ini aku kembali bercinta dengan hujan. Di tengah desahan panjangku, aku seperti menginsyaratkan pada hujan, bahwa aku benar-benar membutuhkannya. Dan, sore ini, hujan masih mencumbuku dengan mesranya. Gigil yang dalam sampai menusuk belulang tak kuhiraukan. Karena seperti yang kukatakan sebelumnya, hujan bagiku adalah kekasih setia yang bisa kuajak bercerita—bahkan tentang aib—tanpa takut disiarkan ke banyak orang.

Setiap selesai bercinta dengan hujan, aku seperti mendapatkan mukjizat yang luar biasa—bahwa aku harus kembali memercayai “mantra”  Cinderella: “If you keep on believing, the dreams that you wish will come true”. Lalu, satu kesadaran seperti menamparku, bahwa senantiasa memendam perasaan pahit di masa lalu hanya akan menambah banyak kenangan buruk di masa sekarang. Maka, satu-satunya jalan agar aku bisa terus menatap masa depan adalah dengan memaafkan masa lalu dan melupakannya dengan perasaan gembira.

“Sebagai manusia, kita memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai. Untuk dapat melakukannya, kita harus mencintai diri kita terlebih dahulu. Itu berarti, berdamai dengan hal-hal yang sudah terjadi dalam hidup kita, dan melanjutkan hidup dengan terus melangkah ke depan.”*

Aku percaya, suatu saat akan kembali bangkit dan menemukan kebahagiaanku, sepertihalnya Cinderella yang berhasil menemukan sang Pangeran impian yang menjadi pusat kebahagiannya.

I just see happiness when it rains.
So, God, please don’t stop the rain!

*Cosmopolitan Men Indonesia, Edisi II/ 2013

Tidak ada komentar: