Dear My Best Teacher


Bandung, 07 Oktober 2009

Dear my best teacher,


Semoga surat pertama yang saya kirim teruntuk Ibu ini dapat sampai ke tangan Ibu. Terhitung barangkali sudah hampir enam bulan saya tak pernah lagi tahu keadaan Ibu. Maaf, bukannya saya lupa, sebab jujur saja saya malu kepada ibu, sebab saya ingin bertanya kabar tanpa memberikan oleh-oleh berupa kabar gembira dari saya untuk Ibu. Baiklah, barangkali pembuka surat ini saya hanya ingin menanyakan kabar dari Ibu: “apa kabar, Bu?” Satu harapan, semoga sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Bersama dengan surat ini, juga saya kirimkan teruntuk Ibu beberapa oleh-oleh dari hasil karya saya beberapa waktu lalu, berupa buku antologi prosa yang bertemakan tentang guru. Barangkali ini adalah kado terspesial teruntuk ibu dan para guru lain dari kami—sebab buku yang saya kirim ini bukan sepenuhnya milik saya, hanya saja saya ikut menyumbangkan dua buah cerita saya dalam buku tersebut—dalam judul: “Catatan Kecil Tentang Dia”. Meski cerita karya saya bukan merupakan kisah tentang Ibu, tetapi saya harap Ibu dapat berbangga sebab atas didikan Ibu saya bisa menjadi seorang yang mengerti dunia kepenulisan dan sastra. Jujur, saya bangga pernah memiliki guru seperti Ibu. Sosok guru yang mengerti akan anak didiknya. Sosok guru yang bagi saya—dan barangkali bagi semua siswa—adalah guru yang HEBAT! Sangat pantas jika Ibu dahulu bisa mendapat anugerah berupa Guru Berprestasi tingkat Nasional.

Ibu, buku mungil bersampul merah yang saya kirimkan untuk Ibu ini merupakan karya hasil saya memenangi sayembara menulis cerita untuk guru dan beberapa cerita penulis remaja lain. Di dalam surat ini, saya ingin bercerita banyak, banyak sekali, sekiranya Ibu dapat membaca curahan hati saya ini dengan tanpa bosan.

Bu, sebenarnya sekarang saya sedang proses penerbitan Novel saya yang sejenis Metropop yang bekerjasama dengan sebuah penerbit buku yang ternama di Indonesia. Saya bingung dengan judul yang saya pilih untuk novel saya—bukankah Ibu juga ingat kalau kelemahan saya dalam menulis adalah ketika harus membuat judul? Hehe. Awalnya saya membikin judul untuk novel saya tersebut “Just Mask of Love: Rahasia di balik topeng cinta”. Kemudian oleh sebab novel saya tersebut ditolak oleh sebuah penerbit X, maka saya merevisi total novel saya tersebut dengan judul: "Filosofi Ungu". Tapi gagal lagi setelah ada komentar katanya kurang nyambung dengan isi cerita. Maka saya mengganti lagi dengan judul: "Jejak Pelangi". Dan juga ada pilihan judul lain yakni: "Prahara Asmara"—namun karena "Prahara Asmara" sudah dipakai oleh novelis Zara Zetirra Zr untuk judul novel karyanya, maka saya mengganti judul novel saya tersebut dengan judul: "Dilema Asmara", dan sudah mendapat konfirmasi dari pihak penerbit kalau novel saya sekarang sedang proses untuk pencetakan.

Beberapa hari yang lalu hingga sekarang, sejak saya tahu buku karya saya yang sedang di edit, saya benar-benar kurang puas. Sebab karya saya banyak peng-editan dan sangat banyak adegan yang menurut saya nyawa dari karya saya tersebut dihapus oleh sang editor saya. Sebenarnya saya akan mengajukan komplain, sebab cerita saya ini kurang “gue bangeeetttsss”. Ya, tapi apalah daya saya, sebab saya adalah penulis yang belum punya nama sehingga saya tidak berani untuk mengajukan saran tersebut. Jika Ibu membaca dan membandingkan karya saya yang aslinya, pastilah Ibu akan tersenyum lalu geleng-geleng, dan berkomentar pasti inti ceritanya lebih menyentuh dari cerita sebelum penyuntingan—samahalnya yang dilakukan oleh dosen saya yang saya mintai pendapat walau pun hanya sebuah sempel saja.

Ngomong-ngomong soal dosen yang beberapa waktu lalu saya mintai pendapat tersebut, setiap saat melihat beliau, pastilah saya akan teringat Ibu. Sebab saya merasa banyak kesamaan dosen English for Business saya tersebut dengan Ibu. Entah kenapa setiap saya tengah berdiskusi dengan beliau, saya serasa tengah bersama Ibu. Dosen saya tersebut juga seorang penulis, dan sekaligus penerjemah. Beliau memiliki hobby seperti saya: membaca, menulis.

Oh ya, Bu, sekarang saya melanjutkan pendidikan saya di Jurusan S1 Telecommunication Business Management and Informatics - Fakultas Business Telecomunication and Media – Institut Manajemen Telkom. Barangkali jurusan ini melenceng dari bakat saya: yang saya sadari ternyata bakat saya di bidang seni dan sastra. Namun, secara jujurnya saya juga ingin mengembangkan minat saya di bidang Teknologi dan Telekomunikasi. Sebab saya bercita-cita menjadi seorang berkedudukan di sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini. Hehehe... tak apa kan kalau hanya untuk bercita-cita. Sebab saya yakin jika cita-cita saya tersebut suatu saat dapat terwujud. Amin!

Oh ya, Bu, buku yang saya kirim ini satu untuk Ibu, dan satunya lagi saya sumbangkan untuk perpustakaan sekolah. Hehe… maaf lengkap dengan tanda tangan, sebab saya berobsesi pengen terkenal. Hehehehe…. Saya sekarang menyadari, kalau ternyata cerita saya yang dalam buku tersebut kurang “dapet”. Dan jika dibandingkan dengan karya remaja lain dalam buku tersebut, barangkali saya di rank terakhir. Hiksss…. Meski saya kurang puas dengan karya saya dalam buku, “Catatan Kecil Tentang Dia” ini, namun rasa puas saya terobati setiap saya membaca karya prosa saya yang beberapa waktu lalu memenangi "Lomba Cipta Cerpen 09". Meski tak Juara I, tapi cukup ada kebanggaanlah! Hehehe….

Baiklah, Bu, barangkali cukup sekian dulu surat dari saya. Saya juga minta doa restu untuk melangkah lebih maju. Sebab ketika saya mengingat akan kebersamaan saya dan para sahabat bersama Ibu, saya pasti akan melelehkan air mata. Dan saya pasti tak mampu membendungnya. Hanya yang bisa saya lakukan adalah membiarkannya mengalir dengan penuh penghayatan. Sebab saya adalah sosok murid yang bandel dan pernah membuat Ibu susah ketika saya GAGAL dalam presentasi LKTI Sejarah Derah Sumatera Selatan, tahun lalu. Saya benar-benar malu, Bu, ketika itu. Saya menganggap diri saya telah gagal sebab saya tidak bisa menampilkan performance terbaik saya ketika saya tengah disaksikan Ibu, sang guru yang menjadi kebanggan saya, dalam presentasi tersebut. Sebab waktu itu jujur saja, saya down ketika saya dengar langsung bahwa saya dan pemapar di sesi tersebut akan didiskualifikasi sebab ada api kemarahan yang tersulut ketika itu. Saya malu, Bu, sebab saya merasa gagal, saya cengeng, dan saya benar-benar merasa tidak berarti ketika itu. Sebab, mengapa saat penampilan saya disaksikan guru saya tetapi saya malah mengacaukan. Bahkan, ketika saya harus presentasi di ajang seperti "Jawara Lifebuoy Clear Skin 2007" lalu, saya merasa saya telas sukses besar, sebab saya bisa menampilkan performance terbaik saya di hadapan khalayak ramai dan banyak para pesohor Indonesia yang menyaksikan saya, dan bahkan aktivitas saya ketika itu banyak direkam oleh media.

Tapi tak apalah, sekarang saya sadar, bahwa saya yakin di balik semua itu, pasti ada hikmahnya. Di balik kegagalan saya berpresentasi ketika itu, saya yakin, barangkali Allah telah merencanakan sesuatu yang terbaik untuk saya. Amin!

Terimakasih, Bu, atas perhatiannya…

Salam.


PS: jika Ibu mau meluangkan sedikit waktu Ibu untuk menilik perkembangan saya dalam berkarya, barangkali Ibu bisa mampir di situs blog saya: http://singkong-gorengs.blogspot.com



Yours sincerely,

J.A


Tidak ada komentar: