Catatan Kecil Zuma: Selasar Mimpi

10 tahun lalu...

GELAP!!!

Ya, aku merasakan di sekitarku hanya tampak gelap. Hanya gambaran hitam pekat yang senantiasa mengitari pandanganku, hingga membuat retinaku benar-benar tak mampu menembus gambaran kehidupan seperti apa di balik kepekatan gelap ini.

Namun, perasaanku yang pada mulanya berasa tenang, tentram, kini total menjadi sebuah kegelisahan. Pikiranku benar-benar berselirat tak karuan. Entah karena apa? Tetapi yang pasti, secara tiba-tiba saja firasat dan daksaku terasa tak nyaman dengan keberadaanku di tempat serba gelap ini. Sedangkan aku berusaha untuk menumbuhkan renjana dalam diri.

Secara mengejutkan, mataku tiba-tiba saja mendadak terpelotot saat mendapati sebuah cahaya berkilauan serasa menerobos di depan mataku. Aku kembali mencoba melindungi retina mataku dari kilauan sinar itu. Secara sepandurat, seberkas cahaya itu kontan terasa menggantikan kegelapan tempat yang saat ini tengah aku rasa.

Namun, saat semuanya berubah benderang. Aku mendapati banyak hal yang sangat mengejutkan pada tempat yang awalnya gelap pekat, dan kini berubah bak tersihir menjadi benderang ini. Aku merasakan jika semua ini hanya imajinasiku yang menari-nari liar dalam pentas mimpi. Tapi, aku rasa ini benar-benar nyata terjadi! Kali ini, sungguh, aku tak dapat menyembunyikan kegalauan dan ketakutanku. Terlebih saat aku dengar suara yang semakin lama terdengar sangat sentar. Aku sendiri juga tak mengerti suara apakah gerangan itu?

Dalam penglihatanku, mataku tampak tertuju pada satu objek yang membuat hatiku tergugah.
Aku merasa ada suatu keanehan di daerah yang ternyata ini adalah gubuk tempat tinggalku sendiri. Bagaimana tidak? Karena dalam pantauan retinaku ini tampak tergambar jelas segerombolan manusia dengan langkah beringas melintas di depan rumah gubukku. Entahlah, aku benar-benar tak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja mereka berseru dengan nada yang menggerutu sembari mengedarkan satu tatapan sinis dan penuh kenaifan ke arahku.

Mendengar gerutuan itu aku tambah merinding saja. Aku bukannya mencari tahu dengan apa yang sudah terjadi, tapi malah menunjukkan sebuah ketakutanku.

Mataku masih tak lepas mengawasi manusia-manusia aneh yang melintas di depan gubuk tempat tinggalku. Sampai akhirnya segerombolan massa itu menghilang tertelan rerimbunannya pohon-pohon liar di dalam hutan. Akhh, aman, pikirku!

Namun, belum sempat bernafas lega, menyusullah kembali segerombolan massa berduyun-duyun melintas di hadapanku. Yang lebih mengejutkan, segerombolan manusia itu menyeret paksa dua orang manusia dengan dikalungkan rantai pada lehernya. Mataku terbelalak ketika sekilas saja melihat kedua manusia yang diperlakukan bak binatang itu. Samar-samar aku seperti mengenal keduanya. Seperti ayah dan ibuku.

Akhh, tapi mana mungkin, aku tidak yakin jika itu ke dua orangtuaku. Namun, belum selesai menamati ke dua manusia itu secara jelas. Tiba-tiba tubuhku tersentak kaget. Dan kontan saja, gambaran sebuah proyektor dalam benakku itu kian lenyap memudar. Dan kini pikiranku terbawa kembali ke sebuah dunia nyata. Ya, sebuah gambaran kejadian tadi hanya kualami di sebuah alam maya dalam tidur. Sebut saja mimpi. Ya, sebuah mimpi yang terasa seperti nyata.
Lantas aku pun langsung bersimpuh menengadahkan tanganku di atas pembaringanku. Dengan sejuta harap, aku memanjatkan sebuah doa permohonan kepada Sang Penguasa agar semua mimpi itu tak akan nyata terbukti.

***

Ya, selasar mimpi yang kuceritakan ini benar nyata terjadi. Proloque ini aku tulis ketika delapan tahun lalu. Lebih tepatnya dua tahun setelah kejadian yang sampai sekarang benar-benar masih membekas di otakku. Betapa dulu hingga sekarang aku tak habis pikir, mengapa manusia-manusia “itu” begitu picik dan jahanam! Sungguh, tangisku akan kembali membuncah ketika aku mengingat tragedi 10 tahu lalu. Yang membuatku lebih tak habis pikirnya lagi, kenapa banyak warga di kampungku ketika itu acuh melihat demo dan pembantaian terjadi di keluargaku?

Cerita ini pernah kuangkat dalam sebuah cerpen yang akhirnya memenangi sebuah sayembara kepenulisan. Namun, ketika semuanya aku tulis dengan lebih spesifik dalam sebuah novel, entah mengapa novel itu beberapa kali ditolak media. Padahal dalam cerita itu aku hanya ingin mengungkapkan BETAPA PICIK, BIADAP DAN KEPARATNYA para begajul-begajul brengsek yang telah membantai keluargaku! Aku hanya ingin mengungkapkan sebuah aib yang pernah dilakukan kawanan warga di suatu daerah terhadap keluargaku. Sungguh, kalau mengingat itu, aku benar-benar tidak ikhlas, dan aku selalu mengutuk “mereka” dalam shalatku.

Sebab, sekarang, sebuah kebenaran dalam pembantaian psikis itu telah terungkap. Nyatanya, bukan keluargaku yang salah, tapi, SEKELOMPOK MANUSIA BIADAB YANG INGIN MENGHANCURKAN KESUSKSESAN ORANGTUAKU! Fuck buat kamu SANG BIADAB!!!! Kalianlah yang membuatku menjadi manusia tak berarti sedunia. Kalianlah yang membuatku lemah mental dan akhirnya… barangkali hal itulah yang membuatku menjadi sosok LELAKI FEMINIS!!!!!!! Sebab setiap aku mengingat ketika golok, celurit dan parang yang tampak terasah itu melingkar di leherku, aku akan menemui suatu phobia tersendiri. Ketakutan yang sampai saat ini kucoba untuk membinasakannya. Sebab sekarang aku sadar, aku tidak boleh menjadi anak yang terus-terusan terbelakang. Aku harus bisa bangkit dan memiliki kepercayaan penuh terhadap diriku sendiri.

CATATAN
Berselirat: berkecamuk dalam pikiran.
Daksa: tubuh.
Renjana: rasa hati yang kuat.
Sepandurat: Sekejap mata, tiba-tiba.
Begajul: Bajingan


Tidak ada komentar: