Memory Lock: Goodbye, masalalu!

Gue baru nyadar bahwa perasaan gue ini sangat nggak berharga buat dimiliki lagi. Tak ubahnya seperti barang bekas yang harus sudah dibuang atau dibakar sampai musnah. Tak sepatutnya jika gue pengen jalan ke depan tapi kepala gue berputar ke arah belakang, bisa bisa gue tertabrak. Atau gue bakalan nyesel seumur idup karena telah menghabiskan sebagian waktu gue buat menyimpan perasaan nggak berguna ini sementara sisa hidup gue baru gue pakai buat menyesali dan baru menyadari ternyata gue telah membuang banyak kesempatan. Nggak. Jika gue harus bertahan untuk mengingatnya kembali, itu karena gue orang yang sangat bodoh.

Kecuali jika gue pengen menuliskannya kembali ke dalam bentuk cerita yang membuat semua orang yang membacanya bisa merasakan penyesalan yang sama. Kecuali gue menceritakan kisah lama dan perasaan ini ke dalam bentuk narasi yang tak bisa terlupakan. Jika saja itu terjadi, mungkin gue akan sedikit lega karena nggak akan menyimpannya lagi di dalam hati tetapi di dalam sebuah buku yang lebih gampang gue buang atau gue bakar sampai musnah.

Gue sudah berpisah lama dengannya. Bagaimana caranya agar gue bisa menaruh titik setelah kalimat itu. Tanpa koma atau tanpa cerita-cerita masa lalu lainnya yang sangat membosankan.

Apakah intinya adalah bahwa gue orang yang suka menyakiti perasaan sendiri dengan pisau-pisau memori yang tajam. Sementara itu, gue tahu dia tidak sama sekali merasakan hal yang sama dengan gue. Kecuali kalau gue berharap demikian dan seolah-olah gue mempercayai bahwa diantara kami timbul ikatan batin yang begitu kuat, saling berucap janji bahwa perasaan masing-masing akan tetap seperti dulu. Omong kosong!

Ada jarak yang jauh yang tak pernah lagi bisa saling bersinggungan bahkan dalam bentuk ikatan apapun. Gue dan dia meskipun berada dalam satu ruangan tidak lagi saling memberikan aura dan energi yang familiar. Seperti dua orang asing yang baru bertemu tapi enggan berkenalan. Karena kita mempunyai sejarah buruk, memori yang sulit dihapus, atau kegilaan berupa kesepian yang tak pernah tergantikan. Di titik itu, kami berdua memiliki pintu kosong yang hampa tapi tak pernah lagi terisi. Dan kita pun tak mau mengisinya lagi dengan cetakan-cetakan keburukan mengenai persahabatan palsu.

Jadi bagaimana teman, sahabat? Sebaiknya kita saling mengunci pintu masing-masing dan tidak lagi membuka-buka hanya karena ingin mencetak keburukan.

Tidak ada komentar: