KUSESAP sekali lagi secangkir kopi susuku sembari memandang langit jingga sore itu. Sudah hampir sepuluh menit aku duduk di sebuah gubuk di Caringin Tilu, namun, tiada sepatah katapun yang diucapkan oleh Kirana, pacar sahabatku. Sebelumnya, gadis cantik itu pernah bilang padaku, bahwa dia ingin aku mengajaknya kemari karena dia pengin curhat tentang kisah cintanya dengan Marlon, sahabatku.
Awalnya aku tak ambil peduli dengan apa yang dialami oleh Kirana. Toh, aku bukan siapa-siapa dia. Bahkan, pertemanan kami juga tidak terlampau akrab. Meskipun secara jujurnya, dulu aku pernah naksir sama dia. Ya, dia adalah gadis pertama yang membikin aku jatuh cinta. Gadis yang membuatku rajin kuliah hanya untuk bertemu dengannya. Gadis yang begitu baik, terlalu baik untuk disakiti hatinya.
Fiuhhh… tapi itu dulu. Dan sekarang, aku tidak lagi sanggup untuk memantau setiap aktivitasnya. Karena pasti aku akan cemburu setiap kali melihat kemesraannya bersama dengan Marlon, sahabatku. Barangkali dia menjadikanku sebagai tempat curhatnya, karena aku adalah sahabat dekat dari pacarnya. Sehingga dia berpikir, bahwa aku bisa menjadi mediasi untuk mempersatukan kembali cinta keduanya. Ya, mungkin saja.
Aku menyesap kopis susuku sekali lagi. Sembari kemudian kulirik wajah ayu Kirana yang sedang tersaput awan kelabu di pojok sebuah gubuk warung di puncak Caringin Tilu. Dia berbalik melirikku. Ketika mata kami saling bertemu pandang, seketika aku langsung mengalihkan pandangan dengan bimbang. Oh, Tuhan, dadaku berdesir tidak karuan!
Limabelas menit berlalu. Masih tidak ada sepatah katapun dari mulut Kirana, kecuali saat dia bilang ingin minta pesankan teh hangat kepadaku.
Akhirnya aku mengalah. Aku berinisiatif untuk mengajaknya turun dari gubuk dan berjalan menuju ke kursi panjang yang berdiri sedikit pincang. Dia mengangguk setuju, meski lagi-lagi dia masih membisu.
Di kursi panjang berbahan kayu dengan pahatan yang asal-asalan, aku bisa melihat daratan kota Bandung dari puncak Caringin Tilu. Sore menjelang surup seperti itu adalah saat yang tepat untuk memantau Bandung dari ketinggian. Sebab, aku bisa mendapati kota Bandung tampak berwarna. Kerlap-kerlip lampu-lampu yang berkilatan menjadikan suasana kami tampak romantis. Uppss… seandainya saja aku ke mari bersama dengan seorang pacar, pasti akan kudapati satu atmosfer yang lebih romantis lagi. Tapi sayangnya, hingga kini aku masih sendiri (mohon maaf ini hanya sedikit informasi).
“Respatih, aku patah hati.” Kirana akhirnya buka suara juga. Matanya semakin terlihat sembab, saat dia mulai menangis ketika mengawali ceritanya.
“Apalagi yang Marlon lakukan terhadapmu?”
“Masa kau tidak tahu? Kau kan sahabatnya!”
“Kirana, meskipun aku dekat dengan Marlon, tetapi aku tidak berhak mencampuri urusan dia.”
Kirana terdiam. Dia menahan isakan. Ingin rasanya kupeluk tubuh seksinya. Lantas mengelus rambutnya yang hitam dan terurai panjang. Dia lebih cocok menjadi model iklan shampoo ketimpang menjadi model percobaan cinta si brengsek Marlon.
Ya, diam-diam aku membenci sahabatku sendiri, Marlon. Aku iri dengan fisik dia yang selalu menjadi perhatian gadis-gadis cantik. Aku iri dengan ketajiran dia yang semakin menarik gadis-gadis cantik untuk masuk dalam buaian kebusukannya. Aku membenci dia, tapi aku juga begitu dekat dengannya. Barangkali aku cuma iri. Sehingga kebencianku tumbuh ketika Marlon mencampakkan perempuan-perampuan yang memuja kelebihannya begitu saja.
“Kenapa tidak kau tinggalkan saja lelaki brengsek itu?” Aku memberanikan diri mengatai sahabatku sendiri dengan kalimat “brengsek”. Oh, Marlon, maafkan aku. Karena kau memang pantas mendapat sebutan ini. Sebab kau memang brengsek!
Kirana masih bergeming. Matanya semakin sayu. Isakan tangisnya semakin membuatku terenyuh ingin memberikan perhatian kepadanya.
Kirana lalu menatap kembali hamparan Kota Bandung. “Sesungguhnya, aku berharap dia akan berubah.”
“Kirana, dengar kataku, dia tidak mungkin bisa berubah. Aku tidak ingin kau semakin terluka karena sikapnya yang semena-mena memperlakukanmu!” aku meradang.
Kirana masih menatap lurus ke depan, kali ini air matanya mengalir lembut di pipinya. Aku dapat melihat linangan air mata itu. Tuhan, aku pengin merelakan jemariku untuk menghapus air mata kesedihan dari pipi mulusnya.
Kirana lalu menatapku. Aku berbalik menatapnya sembari kusinkronisasikan dengan satu senyuman. Kirana lalu menghembuskan nafasnya. Dan sekali lagi mengarahkan pandangannya menuju hamparan kota Bandung yang semakin meriah dengan lampu-lampu yang bekilatan seperti bintang.
“Ya, barangkali kau ada benarnya,” ujarnya sembari terlihat menyibakkan rambut poninya ke atas, “mungkin Marlon tidak akan pernah berubah!” katanya sembari tersenyum kecut. Aku tahu, ada perasaan kecewa menyesaki dadanya saat Kirana mengucapkan kata itu.
“Oh, maafkan aku Kirana jika kau telah terprovokasi olehku!”
“Oh, tidak sama sekali. Aku malah berterimakasih, karena kau telah menyadarkanku.” Ujar Kirana. “Dulu, aku sering ke sini dengan dia. Dan di sini, dia pernah berjanji untuk setia selamanya bersamaku, apapun yang terjadi.” Kirana mulai lagi meneteskan air matanya. Aku menjadi semakin iba. “Tapi, nyatanya sekarang dia tidak benar-benar ingat atas janjinya, sekalipun aku berusha untuk mengingatkannya!”
Aku terdiam, tubuhku serasa bergetar. Aku turut berempati atas apa yang Kirana rasakan. Aku tidak tega melihat gadis pujaanku semakin larut dalam luka oleh karena kebusukan hati sahabatku sendiri. Tuhan, aku kepengin meluk gadis yang sedang lemah ini. Aku ingin menghapus air mata kepedihannya. Aku ingin mengobati luka hatinya. Aku ingin sekali menuntaskan segala lara di hatinya. Dan aku ingin bersama dia, selamanya.
Maka, demi semua itu, kuberanikan diri untuk menatap dan menyentuh pipinya dengan jemariku, lantas menghapus air mata keparat itu dari pipi mulus gadis pujaanku. Tanpa kuduga, dia tersenyum dan berucap terimakasih.
“Tidak sepantasnya wanita sepertimu disakiti, Kirana.” Aku mulai bergombal. Biarlah, ini demi mencari simpati gadis yang kupuja.
Kirana tersenyum.
“Sudahlah jangan terus menangis, aku janji akan selalu ada di dekatmu jika saja kau membutuhkanku!” kataku sembari menghapus air matanya sekali lagi.
Kirana tersenyum dan menatapku. Lantas, tanpa kuduga, tiba-tiba saja dia memeluk penuh erat tubuhku.
“Aku menyesal dulu mengabaikanmu!” ujar Kirana.
Aku tersentak dan menatap matanya.
Kirana tersenyum manis ke arahku.
Oh, Kirana, I love you!
Persetan dengan Marlon, sahabatku![]
Awalnya aku tak ambil peduli dengan apa yang dialami oleh Kirana. Toh, aku bukan siapa-siapa dia. Bahkan, pertemanan kami juga tidak terlampau akrab. Meskipun secara jujurnya, dulu aku pernah naksir sama dia. Ya, dia adalah gadis pertama yang membikin aku jatuh cinta. Gadis yang membuatku rajin kuliah hanya untuk bertemu dengannya. Gadis yang begitu baik, terlalu baik untuk disakiti hatinya.
Fiuhhh… tapi itu dulu. Dan sekarang, aku tidak lagi sanggup untuk memantau setiap aktivitasnya. Karena pasti aku akan cemburu setiap kali melihat kemesraannya bersama dengan Marlon, sahabatku. Barangkali dia menjadikanku sebagai tempat curhatnya, karena aku adalah sahabat dekat dari pacarnya. Sehingga dia berpikir, bahwa aku bisa menjadi mediasi untuk mempersatukan kembali cinta keduanya. Ya, mungkin saja.
Aku menyesap kopis susuku sekali lagi. Sembari kemudian kulirik wajah ayu Kirana yang sedang tersaput awan kelabu di pojok sebuah gubuk warung di puncak Caringin Tilu. Dia berbalik melirikku. Ketika mata kami saling bertemu pandang, seketika aku langsung mengalihkan pandangan dengan bimbang. Oh, Tuhan, dadaku berdesir tidak karuan!
Limabelas menit berlalu. Masih tidak ada sepatah katapun dari mulut Kirana, kecuali saat dia bilang ingin minta pesankan teh hangat kepadaku.
Akhirnya aku mengalah. Aku berinisiatif untuk mengajaknya turun dari gubuk dan berjalan menuju ke kursi panjang yang berdiri sedikit pincang. Dia mengangguk setuju, meski lagi-lagi dia masih membisu.
Di kursi panjang berbahan kayu dengan pahatan yang asal-asalan, aku bisa melihat daratan kota Bandung dari puncak Caringin Tilu. Sore menjelang surup seperti itu adalah saat yang tepat untuk memantau Bandung dari ketinggian. Sebab, aku bisa mendapati kota Bandung tampak berwarna. Kerlap-kerlip lampu-lampu yang berkilatan menjadikan suasana kami tampak romantis. Uppss… seandainya saja aku ke mari bersama dengan seorang pacar, pasti akan kudapati satu atmosfer yang lebih romantis lagi. Tapi sayangnya, hingga kini aku masih sendiri (mohon maaf ini hanya sedikit informasi).
“Respatih, aku patah hati.” Kirana akhirnya buka suara juga. Matanya semakin terlihat sembab, saat dia mulai menangis ketika mengawali ceritanya.
“Apalagi yang Marlon lakukan terhadapmu?”
“Masa kau tidak tahu? Kau kan sahabatnya!”
“Kirana, meskipun aku dekat dengan Marlon, tetapi aku tidak berhak mencampuri urusan dia.”
Kirana terdiam. Dia menahan isakan. Ingin rasanya kupeluk tubuh seksinya. Lantas mengelus rambutnya yang hitam dan terurai panjang. Dia lebih cocok menjadi model iklan shampoo ketimpang menjadi model percobaan cinta si brengsek Marlon.
Ya, diam-diam aku membenci sahabatku sendiri, Marlon. Aku iri dengan fisik dia yang selalu menjadi perhatian gadis-gadis cantik. Aku iri dengan ketajiran dia yang semakin menarik gadis-gadis cantik untuk masuk dalam buaian kebusukannya. Aku membenci dia, tapi aku juga begitu dekat dengannya. Barangkali aku cuma iri. Sehingga kebencianku tumbuh ketika Marlon mencampakkan perempuan-perampuan yang memuja kelebihannya begitu saja.
“Kenapa tidak kau tinggalkan saja lelaki brengsek itu?” Aku memberanikan diri mengatai sahabatku sendiri dengan kalimat “brengsek”. Oh, Marlon, maafkan aku. Karena kau memang pantas mendapat sebutan ini. Sebab kau memang brengsek!
Kirana masih bergeming. Matanya semakin sayu. Isakan tangisnya semakin membuatku terenyuh ingin memberikan perhatian kepadanya.
Kirana lalu menatap kembali hamparan Kota Bandung. “Sesungguhnya, aku berharap dia akan berubah.”
“Kirana, dengar kataku, dia tidak mungkin bisa berubah. Aku tidak ingin kau semakin terluka karena sikapnya yang semena-mena memperlakukanmu!” aku meradang.
Kirana masih menatap lurus ke depan, kali ini air matanya mengalir lembut di pipinya. Aku dapat melihat linangan air mata itu. Tuhan, aku pengin merelakan jemariku untuk menghapus air mata kesedihan dari pipi mulusnya.
Kirana lalu menatapku. Aku berbalik menatapnya sembari kusinkronisasikan dengan satu senyuman. Kirana lalu menghembuskan nafasnya. Dan sekali lagi mengarahkan pandangannya menuju hamparan kota Bandung yang semakin meriah dengan lampu-lampu yang bekilatan seperti bintang.
“Ya, barangkali kau ada benarnya,” ujarnya sembari terlihat menyibakkan rambut poninya ke atas, “mungkin Marlon tidak akan pernah berubah!” katanya sembari tersenyum kecut. Aku tahu, ada perasaan kecewa menyesaki dadanya saat Kirana mengucapkan kata itu.
“Oh, maafkan aku Kirana jika kau telah terprovokasi olehku!”
“Oh, tidak sama sekali. Aku malah berterimakasih, karena kau telah menyadarkanku.” Ujar Kirana. “Dulu, aku sering ke sini dengan dia. Dan di sini, dia pernah berjanji untuk setia selamanya bersamaku, apapun yang terjadi.” Kirana mulai lagi meneteskan air matanya. Aku menjadi semakin iba. “Tapi, nyatanya sekarang dia tidak benar-benar ingat atas janjinya, sekalipun aku berusha untuk mengingatkannya!”
Aku terdiam, tubuhku serasa bergetar. Aku turut berempati atas apa yang Kirana rasakan. Aku tidak tega melihat gadis pujaanku semakin larut dalam luka oleh karena kebusukan hati sahabatku sendiri. Tuhan, aku kepengin meluk gadis yang sedang lemah ini. Aku ingin menghapus air mata kepedihannya. Aku ingin mengobati luka hatinya. Aku ingin sekali menuntaskan segala lara di hatinya. Dan aku ingin bersama dia, selamanya.
Maka, demi semua itu, kuberanikan diri untuk menatap dan menyentuh pipinya dengan jemariku, lantas menghapus air mata keparat itu dari pipi mulus gadis pujaanku. Tanpa kuduga, dia tersenyum dan berucap terimakasih.
“Tidak sepantasnya wanita sepertimu disakiti, Kirana.” Aku mulai bergombal. Biarlah, ini demi mencari simpati gadis yang kupuja.
Kirana tersenyum.
“Sudahlah jangan terus menangis, aku janji akan selalu ada di dekatmu jika saja kau membutuhkanku!” kataku sembari menghapus air matanya sekali lagi.
Kirana tersenyum dan menatapku. Lantas, tanpa kuduga, tiba-tiba saja dia memeluk penuh erat tubuhku.
“Aku menyesal dulu mengabaikanmu!” ujar Kirana.
Aku tersentak dan menatap matanya.
Kirana tersenyum manis ke arahku.
Oh, Kirana, I love you!
Persetan dengan Marlon, sahabatku![]
2 komentar:
haha
pikiran laki-laki selalu sama yah???
Nice story, tapi gw bisa nebak ini tuh cowoknya yang ngarep setiap kisah cintanya berakhir seperti ini...
hehhe
emang sih, dari awal aja gue udah bilang kalo gue suka bangets sama si Kirana.
Emang kurang menarik jadinya kalau jalan ceritanya udah bisa ketebak. hehe...
But, Thanks for visiting and your comment to my work. :)
Posting Komentar