#5. The Invisible Boy


SAAT aku terbangun dan mendengar gemericik hujan dari jendela, aku menduga bahwa aktivitasku hari ini tidak akan menyenangkan. Aku telah meninggalkan rumah saat bertengkar dengan ibu tentang cara dia memasak telur untukku yang masih meler dan setengah matang. Aku benci itu. Baiklah, tak apa jika saja aku hanya memberitahu tentang ketidaksukaanku hanya sekali, namun aku telah mengingatkannya berulang kali, bahwa aku membenci telur setengah matang—yang terkadang jika kusenggol sedikit saja, kuning telur itu akan meler! Menjijikkan memang!

Sepertinya Ibu tidak pernah mendengarkanku, jujur saja, aku merasa bahwa terkadang aku adalah seorang anak laki-laki yang tidak terlihat, hingga membikin ibu selalu mengacuhkanku. Sial! Aku lalu membanting pintu dan berangkat ke sekolah. Dan ternyata, sekolah tidak lebih menyenangkan daripada rumah. Sebab aku gagal ujian matematika, karena nilaiku benar-benar jelek! Karena itu, Bu Mega mengatakan, bahwa dia harus berbicara dengan orang tuaku, dia mulai berpikir bahwa aku sekarang mulai bengal dan 'menantang'. Sungguh, aku membenci si guru berbadan buntal itu. Fiuh!

Aku senang karena akhirnya bisa beristirahat, kesempatan untuk menjadi sendirian dengan pikiran sendiri, tetapi tidak beruntung. Ferdi datang dan menawarkanku setengah dari bekal roti telur-nya, namun, secara sopan aku menolaknya. Dia lalu duduk di sebelahku sembari mendengus dan terisak, hari ini jelas bukan hari baikku, karena aku harus mendengarkan curhat sampah dari si Ferdi, temanku. Oh, Ferdi, sungguh, sebenarnya aku tidak bermaksud menghinamu, karena memang bukan hanya kau, tetapi aku juga sedang mendapat masalah tentang orangtua, dan bahkan, sekolah.

Begitu bel akhir sekolah berdering, aku memakai jas hujanku (aku tidak peduli bahwa orang-orang telah menertawaiku ketika memakainya) dan cepat berlari pulang. Aku bisa merasakan hujan semakin berat, jadi aku memasang tudung jas hujanku dan berlari di seberang jalan. Saat aku berlari sambil menunduk, aku tidak melihat adanya sepeda motor yang melaju ke arahku. Aku mendengar teriakan bernada tinggi dari sisi lain jalan, tapi nampaknya aku telah kehilangan keseimbangan karena tiba-tiba saja badanku seperti dihempas bebesian dan aku tersungkur di aspal. Aku terbaring untuk sementara, terasa basah dan dingin hingga akhirnya aku membuka mata, dan cepat-cepat melakukan cek tulang, tidak ada yang terluka, tidak merasa patah, dan lebih baik aku cepat-cepat pergi. Aku berdiri dan bersiap untuk berteriak pada pengendara yang menyerempetku, tapi dia sudah pergi. Sial!

Aku mengayunkan pintu rumah yang terbuka, lantas berteriak, “Bu, kau tahu, aku tadi hampir mati di jalanan!” Ibuku, orang yang melahirkanku itu tetap dengan teganya telah mengabaikanku. Dia hanya duduk melihat TV sembari makan keripik singkong rasa barberque. Terkadang, saat melihat sikap ibu, aku akan merasa bahwa aku telah mati dan ini adalah arwahku yang tengah bergentayangan dan tidak menyadari jika aku telah mati. Ya, aku tahu, terkadang aku memiliki kecenderungan untuk bereaksi berlebihan, tetapi kematian adalah lelucon. Sebab Ibu setidaknya bisa mengakui kenyataan bahwa aku kini masih bernapas. Namun, seperti yang aku katakan sebelumnya, aku seperti tidak terlihat di mata ibuku sendiri! Aku kesal. Lalu aku berjalan keluar menuju pelataran, mencari Adit, dan Bima. Mereka bahkan juga tidak memperhatikan jika aku berada di antara mereka. Aku benar-benar kesal. Lalu melemparkan mobil-mobilan kayu mainan, dan pergi dengan perasaan kesal.

Aku kembali masuk ke dalam rumah, ketika telepon berdering. Ibu menjawab dan mulai berteriak histeris. Jujur, selama beberapa hari ini, dia adalah wanita yang aneh. Aku akhirnya meninggalkan pintu depan untuk berjalan-jalan ke taman dekat sekolah, pergi dari kegilaan, setidaknya hujan sudah berhenti. Aku menyeberangi jalan yang hanya satu jam lalu aku bisa saja tergencet berkeping-keping oleh lindasan motor. Aku terkejut, karena ada sekitar 30 orang di sekitar tempat itu. Ferdi menangis, aku bertanya apa yang terjadi tapi dia hanya bergumam sesuatu tentang roti telur. Bu Mega juga berada dalam segerombolan orang itu, kudengar dia berkata-kata, “Aku selalu tahu bahwa dia lebih suka menantang, bahkan tidak bisa menyeberang jalan.” Hey, apa maksudnya? Seperti menyindirku!

Ibuku tersedu di samping mobil ambulans yang terparkir di sebelahku dan si jahat, Bu Mega. Ibuku masih menangis, bahkan terkadang tangisnya terdengar meraung. Ibu lalu memandang ke arahku, “Aku akan ke rumah sakit, apakah kau ingin datang?” Katanya lembut. Bu Mega menunduk dan berkata, “Aku akan menyusulmu nanti, sebab sekarang aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan!”

Kupikir ibuku sedang berbicara kepadaku dan bukan dia. Sekali lagi aku diperlakukan seperti orang tak terlihat. Aku benar-benar sebal.

Sesampainya di rumah sakit, aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku memandang ibu ketika kami tiba di rumah sakit, dia tampak seperti hantu, benar-benar pucat! Kupikir, aku lebih baik tutup mulut untuk sekali ini; sebab ia tampak sangat serius kali ini.

Ketika menaiki tangga rumah sakit, kakiku tersandung, tapi Ibu seperti tidak menghiraukan, dan dia terus saja berjalan. Ibu memang jahat! Kami tiba di ruangan yang disebut ruang Anggrek. Kupikir ini adalah nama yang bodoh untuk sebuah kamar rumah sakit. Tidak ada kebun, bahkan tidak ada dedaunan di bagian bawah lantainya! Hanya ada ruangan putih yang berbau obat-obatan, membikin aku berasa mual.

Seorang pria dengan rambut botak mendatangi ibu. Dia berkata pelan, “Maaf tidak ada yang bisa kami lakukan.” Ibu menjerit dan seketika jatuh ke lantai. Aku benar-benar bingung sekarang, yang bisa mereka lakukan tentang apa!? Lalu aku melihat ke dalam ruangan, dan mendapati diriku sendiri tengah berbaring di tempat tidur dengan mata tertutup. Aku yakin ibu menyesal telah memberiku telur setengah matang, aku yakin Bu Mega menyesal karena telah mengataiku bebal, aku yakin seluruh kelas tertawa menyesal ketika melihatku memakai jas hujan yang kebesaran. Sekarang aku sadar, bahwa aku telah mati.[]

Tidak ada komentar: