Indonesia (Tak Perlu) Menangis


Oleh Jumali Ariadinata


Tuhan, marahkah kau padaku/ Inikah akhir duniaku/ Kau hempaskan jarimu di ujung bandang/ Tercenganglah seluruh dunia/ Tuhan, mungkin Kau kuabaikan/ Tak kudengarkan peringatan/ Kusakiti Engkau sampai perut bumi/ Maafkan kami ya Robbi….

[“Indonesia Menangis” – Sherina Munaf]

Kita tahu, bahwa semua yang ada di dunia ini berasal dari yang Maha Kuasa—ada anugerah, ada pula bencana—dan jika itu sudah digariskan oleh Tuhan, kita tidak bisa untuk menolaknya. Begitu pula dengan bencana yang gencar terjadi di Indonesia: mulai dari Merapi, Wasior, sampai gempa bumi & Tsunami di Mentawai. Mereka (para korban) juga nggak bakal menyangka jika ada sesuatu petaka dahsyat yang bisa membikin segalanya hilang: nyawa, harta dan bahkan harapan.

Dengan ini, saya telah menyiapkan (sejenis) rangkuman 3 berita yang “menghebohkan” mengenai bencana di Indonesia (untuk majalah dwi wulan yang saya asuh, namun ketika saya tampilkan di blog ini, sudah saya sunting sebegitu dalam). Tentu, berbagai bencana yang datang silih-berganti di sepanjang tahun ini adalah tonggak buat menjadi pengingat kita, bahwa kapan dan di mana saja musibah itu bisa terjadi. Dan mengingatkan kita, bahwa konsep destruksi massif bumi itu ada. Berikut ringkasan beritanya.

Letusan Merapi


Lokasi bencana ini cukup deket sama pemukiman warga, makanya ketika bencana ini terjadi, semuanya panik. Gunung Merapi sendiri berada di perbatasan wilayah Provinsi DIY dan Jawa Tengah. Bahkan, Merapi merupakan gunung berapi yang paling aktif di Indonesia. Kalau lagi tenang, gunung ini banyak membawa berkah, tapi kalau lagi ngamuk, semuanya dilibas sama “wedus gembel”-nya. Sebenernya merapi punya siklus 4 tahunan, tapi tahun 2010 ini adalah salah satu yang terdasyat. Korban tewas yang berhasil dihimpun ada sekitar 126 orang, termasuk juru kunci merapi, Mbah Maridjan.


Merapi yang lagi ngamuk ini bukan hanya “wedus gembel”-nya yang berbahaya, tapi juga abu vulkaniknya (yang sempet sampai Bandung, biarpun tipis), sampai banjir lahar dingin yang memenuhin sungai-sungai di Jogja dan Magelang. Semuanya terjadi dalam waktu yang cepat. Radius aman buat para pengungsi juga terus-terusan bertambah. Sehingga, rumah sakit dan pengungsian menjadi tempat yang padat oleh para korban bencana. Belum lagi pemerintah yang kelabakan menghadapi dasyatnya bencana. Semua orang juga berlomba-lomba menyumbang apa saja yang ia miliki, buat saudaranya yang sedang berduka.


Sekarang, merapi udah kembali tenang, para pengungsi juga udah dibolehin pulang ke rumahnya. Abu vulkanik yang kemarin sempet nutupin sebagian langit di Jawa Tengah, sekarang udah banyak berkurang. Menurut pakar, material abu vulkanik tersebut bisa menjadi aset buat kesuburan tanah di daerah sekitar terjadinya letusan Merapi. Semoga, dengan adanya letusan merapi ini, bukan hanya menimbulkan dampak bencana saja, tapi kelak, juga bisa membawa keberkahan bagi masyarakat Indonesia (khususnya DIY). Ya, semoga!

Gempa Bumi & Tsunami di Mentawai

Seperti diketahui, Mentawai juga mengalami musibah. Kepulauan Mentawai telah diguncang gempa dan tsunami dengan ketinggian gelombang 12 meter. Gempa bumi berkekuatan 7,2 SR tersebut terjadi di sebelah barat Pulau Pagai Selatan Kabupaten Mentawai pada Senin (25/10) pukul 21.42 WIB, kemudian pada Selasa (26/10) pagi terjadi tsunami yang merusak sebagian Pulau Pagai Selatan dan Pagai Utara.

Bencana Tsunami Mentawai emang cukup mengerikan, terhitung ada ratusan korban meninggal dan hilang sampi sekarang. Biarpun keganasan Tsunami Mentawai ini nggak seganas Tsunami Aceh beberapa tahun silam, tapi bencana ini telah menimbulkan banyak kerusakan dan korban jiwa. (dari berbagai sumber)

Banjir Di Wasior

Begitu juga dengan Wasior, banjir bandang di Papua Barat ini terjadi pada Senin (04/10). Lokasinya terletak di Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Daerah yang terkena dampak akibat banjir tersebut yakni Wasior I, Wasior II, Rado, Moru, Maniwak, Manggurai, Wondamawi, dan Wondiboy.

Menurut isu yang beredar, kalau banjir bandang tersebut terjadi karena kerusakan hutan di Wasior akibat illegal loging, sehingga hujan yang terus mengguyur daerah tersebut menyebabkan Sungai Batang Salai yang berhulu di Pegunungan Wondiwoy meluap. Namun, akhirnya isu tersebut dibantah oleh Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, yang menegaskan kalau penyebab banjir di Wasior itu bukan karena pembalakan liar atau illegal logging, melainkan adanya evolusi morfologi atau perubahan bentuk tanah yang terjadi di lokasi bencana. Sebab perubahan bentuk tanah yang terjadi berulang-ulang di wilayah datar dan terjal menyebabkan kondisi alam tidak seimbang.

Banjir bandang tersebut juga menyebabkan ratusan warga tewas dan menghilang. Sementara sebagian korban luka-luka dibawa ke Manokwari dan Nabire. Dan sebagian korban luka lainnya dan warga yang selamat, ditampung di tempat-tempat pengungsian. (dari berbagai sumber)

Jadikan Bencana Sebagai Tonggak Pengingat Kita Tentang Adanya Kiamat


Begitulah bencana tersebut terjadi, dan nampaknya Indonesia benar-benar harus tabah dalam menyikapinya. Akibat bencana tersebut, ternyata nggak sedikit manusia yang menangisi dan membuka posko-posko bantuan, dan bahkan banyak orang yang tergerak buat menjadi sukarelawan. Ingatkah kita, bahwa pemberitaan-pemberitaan tentang sumbangan tersebut kerap kali ditayangkan di berbagai media. Pemberitaan-pemberitaan yang begitu heroik dan berlebihan, sehingga berkesan “palsu”. Nggak tulus. Sementara aksi membantu terkesan egosentrik buat pamer.

Ironisnya, manusia sebagai makluk yang memiliki fungsi luhur—dalam hal ini, akal sehat dan etika—ada yang meratap. Mereka banyak yang mengutuk alam atau bahkan Tuhan yang murka. Padahal, kita nggak berhak menilai sesama manusia dan ganjaran Tuhan. Kita yang nggak tahu menahu tentang dosa, tapi mengapa ikut menyalahkan Tuhan atas apa yang Dia ganjarkan kepada sesama kita?

Masih banyak musiba-musibah yang menjadi tanda tanya besar yang bakal terjadi di dunia ini. Hanya saja kita nggak tahu kapan dan apa yang bakal terjadi nanti. Kita harus mempersiapkan segalanya dengan banyak beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Setidaknya kita harus tetap waspada dan tetap menjadikan segala isu tentang bencana (termasuk isu akan datangnya bencana di tahun 2012) itu sebagai sesuatu yang nggak ditakuti, tetapi malah menjadikan kita semakin gencar buat beribadah. Bukankah dalam agama, kita diwajibkan buat mempercayai akan adanya kiamat? Hanya saja, kita (benar-benar) nggak tahu kapan hal itu bakal terjadi? Namun, tampaknya Tuhan sering memperingatkan kepada kita akan adanya tanda-tanda kiamat dengan diturunkannya sejumlah bencana di belahan bumi ini. Tentu hal itu menjadi tonggak pengingat akan adanya destruksi massif bumi yang nantinya bakal membinasakan generasi manusia.

Jadi, mengapa kita ketakutan menanti wajah lain gempa, banjir, gunung meletus dan Tsunami atau bahkan resah menanti wajah badai matahari yang diprediksikan akan terjadi di tahun 2012 ini? Takut karena nggak ada parameter surga dan neraka yang kita pahami? Nggak ada satu pun manusia yang mampu mengintip akhirat sebelum mati. Nggak ada satu pun manusia yang bakal tahu kapan kematian dan kiamat akan terjadi. Dan yang harus kita lakukan sekarang adalah tetap mempercayai akan adanya kiamat, meski kita jangan segera percaya isu yang dibuat manusia mengenai kehancuran [sebagian] bumi yang katanya di tahun 2012. Kita jadikan saja isu itu sebagai sesuatu demi membangkitkan semangat kita dalam beribadah dan berserah diri kepada Tuhan dan bukan untuk ditakuti. Sebab kita aja nggak pernah tahu, kapan kiamat bakal tiba.

Barangkali, yang perlu kita lakukan kini adalah untuk menebar senyum tulus dari hati—sehingga Indonesa tak perlu menangisi keadaan yang sudah “terlanjut basah” seperti ini. lantas turut mengevaluasi diri, apakah kita sudah benar-benar menjadi manusia yang bersyukur terhadap karunia ilhi, atau malah sebaliknya? Tuhan, marahkah kau padaku/ Inikah akhir duniaku/ Kau hempaskan jarimu di ujung bandang/ Tercenganglah seluruh dunia/ Tuhan, mungkin Kau kuabaikan/ Tak kudengarkan peringatan/ Kusakiti Engkau sampai perut bumi/ Maafkan kami ya Robbi….

Kalau Sherina sudah mengakui kesalahannya melalui sebuah lirik indah, kapan kamu mulai benar-benar menyadari kesalahanmu terhadap Tuhan?[]

Tidak ada komentar: