Menjadi Editor (yang Berciri Khas)

“Untuk menjadi editor yang baik, lo harus punya ciri khas!” kata Christian Simamora yang akrab dipanggil Abang, dalam sebuah perjalanan ke kantor redaksi GagasMedia. 

Meski yang diungkapkan oleh Abang hanya sebentuk obrolan ringan, tetapi saya benar-benar mencatat pernyataan tersebut secara cermat dalam kepala. Saya memang butuh motivasi dan sharing knowledge dari senior editor semacam Abang. 

Beberapa hari sejak obrolan di sebuah taksi tersebut, saya coba ingat kembali. Saya sadar, apa yang Abang kemukakan ada benarnya. Jika ingin survive dan menjadi editor profesional, maka, saya harus memiliki ciri khas. 

Jika Abang mencontohkan Gita Romadhona, yang memiliki ciri khas dalam hal gaya editing―yang sangat peka terhadap EYD, dan sebagainya―sementara saya pribadi, menganggap Abang sebagai seorang yang peka terhadap segala genre fiksi (terbaru)―terutama dalam hal romance. Abang adalah seorang yang kuat dalam hal riset. Bahkan, pengetahuannya dalam dunia perbukuan sudah “tingkat dewa”―setidaknya, itu yang saya rasakan ketika berdiskusi dengannya. 

“Terus, kalau ciri khas gue kira-kira apa ya, Bang?” Pertanyaan yang kira-kira hampir sama dengan saya itu, lebih dulu dikemukakan oleh Michan (salah satu Editor “seangkatan” dengan saya). Saya tidak ingat persis apa jawaban Abang. Tetapi, yang saya ingat, Abang juga meminta kami untuk fokus mencari hal yang kira-kira bisa kami angkat menjadi ciri khas. 

Abang bilang, jalani semua hal yang harus dikerjakan. Dalam artian, ketika saya diminta untuk mengedit sebuah naskah yang tidak menarik minat saya, saya harus tetap menjalaninya dengan senang hati. “Gue dulu sering disuruh ngedit naskah yang nggak gue ngerti. ‘I Can (not) Hear’ salah satunya. Gimana gue dulu bersusahpayah buat nyari angle dan bikin orang jadi menyukai cerita tersebut. Gue dulu, waktu awal-awal masuk, juga disuruh ngedit novel yang sastra banget, karyanya Ita Sembiring. Dan gue deg-degan banget, karena nggak terbiasa mengedit naskah kaya gitu. Nggak nyangkanya, ternyata novel itu cetak ulang.” 

Begitulah. Saya sendiri sebenarnya tipe orang yang suka mengeluh saat harus mengedit naskah yang “nggak saya banget”. Ketika awal masuk GagasMedia, saya ingin memfokuskan untuk menjadi editor fiksi. Saya seperti tidak percaya diri jika harus mengedit naskah-naskah non fiksi. 

Tapi, ternyata, Tuhan seperti menjodohkan saya pada genre non fiksi. Saya merasa nyaman saat harus mengedit tulisan-tulisan yang “berbau” non fiksi. Karena, pikir saya, sembari mengedit, saya juga bisa sambil belajar tentang topik-topik yang sedang dibahas dalam buku tersebut. 

Bahkan, saya adalah orang yang tidak menyukai buku-buku komedi (semacam personal literature), tapi ketika kepala desk non fiksi meminta saya untuk membantunya, saya mencobanya. Dan seiring ketelatenan saya mengedit naskah bergenre tersebut, saya seperti menemukan “jiwa” yang baru. Saya yang dulu tak menyukai genre komedi, secara tiba-tiba menjadi tertarik dan menikmatinya saat melakukan proses editing. 

Di sisi lain, saya juga diminta untuk mengerjakan proyek fiksi. Saya harus mengedit novel, dan bahkan mencari penulis. Tapi, saya tak berkeberatan. Saya mulai bisa menerimanya dengan senang hati, meski terkadang konsentrasi saya harus perpecah saat harus mengedit dua genre yang berbeda sekaligus: fiksi dan non fiksi. 

Saya percaya, dengan mendalami dua genre sekaligus, saya bisa menilai, di mana letak kemampuan saya. Dan seiring waktu berjalan, saya yakin, akan menemukan faktor X yang akan menjadi ciri khas saya sebagai editor. Mungkin, segera![]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Satu lagi untuk dijadikan motivasi. Thanks!