Multitasking

Menjadi editor memang pernah masuk daftar teratas dalam cita-cita saya―terutama saat saya masih menyandang sebagai pelajar berseragam putih abu-abu. Namun, sejak kuliah, saya telah mengubur impian tersebut―terutama saat memasuki tahun kedua. 

Terlebih, saya sadar, background pendidikan program S1 saya tak ada sangkut-pautnya dengan dunia editing atau perbukuan. Saya belajar ilmu editing, murni secara otodidak―karena pada dasarnya, saya sangat menyukai aktivitas kepenulisan. 

Namun, saat mendapat kesempatan itu (menjadi editor), entah mengapa, saya seperti menemukan kepingan “saya” di masa lalu yang sempat hilang. 

Saya memiliki beberapa pertimbangan, selain karena perjuangan untuk mendapatkan “tiket” menjadi editor di penerbit tersebut butuh perjuangan panjang, juga karena pada dasarnya, saya sangat menyukai kualitas buku-buku di sebuah penerbit yang akan menjadi tumpuan bagi hidup saya tersebut. 

Ini kesempatan langka, batin saya. Sehingga, saya mencobanya! 

Padahal, saat ini, saya masih harus menyelesaikan skripsi. Tapi, rupanya, saya terlalu muak untuk bergelut dengan “permainan” skripsi. Sehingga, ketika mendapat kesempatan menjadi editor, saya menerimanya. Dengan keyakinan, saya akan bekerja sembari menyelesaikan skripsi saya yang tinggal analisis data.

Ternyata, semuanya hanya teori. Saya baru menyadari, sangat susah untuk bisa multitasking; mengerjakan dua hal sekaligus dan bisa tetap fokus pada keduanya. Itu yang terjadi pada saya saat ini. 

“Kerja dan mengerjakan skripsi atau mengerjakan skripsi dan kerja!” 

Saat menuliskan kalimat di atas pun, tampak keraguan pada diri saya untuk menaruh kata kerja dan mengerjakan skripsi; manakah yang harus didepankan dan didahulukan. 

Sejauh ini, setelah beberapa minggu menjalani keduanya, ternyata yang benar-benar menjadi “korban” adalah proses pengerjaan skripsi saya. Sebenarnya, mudah saja untuk menyelesaikan skripsi saya yang tinggal olah data. Saya tinggal meminta jasa orang lain, dan membayarnya. Beres. 

Tapi, saya tak ingin seperti itu. Pikir saya, kuliah sarjana hanya sekali. Maka, saya harus benar-benar memaksimalkan hasil pengerjaan skripsi saya dengan hati dan pikiran saya sendiri―dengan harapan, saya bisa lulus sesuai waktu yang ditargetkan. 

Dan yang terjadi, saya harus mengorbankan lebih banyak jadwal tidur saya. Ah, bukankah hidup memang sebuah pilihan? Kalau saya bersikeras menjalani keduanya, berarti saya harus rela menanggung konsekuensi-konsekuensi tersebut. 

Dan sepertinya, saya akan terus maju menjalani keduanya!

1 komentar:

Nona Nanlohy mengatakan...

dont worry..someone watching over you, so living your dream.