Teman Perjalanan


Saya berdiri di lantai teratas sebuah kapal penyeberangan Bakauheni – Merak. Kapal kecil dengan ratusan manusia yang menggelepar di lantai, karena tak tercukupinya ruangan berkursi. Saya sendiri. Merasa terasing di tengah keramaian. Hanya menatap setiap inci sudut kapal yang berubah limpahan manusia yang bersesakan. 

Perlahan, saya tatap hamparan langit yang menghitam pekat. Puluhan bintang berkerlip, menempel pada dinding malam. Bahkan, pekat antara langit dan lautan tak mampu saya bedakan—karena seperti tak ada batas antara keduanya; laut dan langit seakan menyatu. Hitam. Ya, sejauh mata memandang, hanya hamparan hitam yang saya temukan. 

Pijar lampu membuat badan kapal ini terasa remang-remang. Saya tahu, di sudut kapal ini ada sepasang muda-mudi yang sedang bercumbu; beberapa pria sedang mengembuskan asap dari mulutnya yang bau tembakau; pedagang asongan berkeliling menawarkan mi dan kopi dalam gelas; sementara saya tak henti mengamati ragam manusia di kapal ini. Dan, saat itulah tatapan saya bertemu pandang pada seseorang yang sedang berdiri beberapa senti dari saya. Matanya yang teduh dan tatapannya yang hangat, membikin saya seketika canggung.

Saya, malam ini mengenakan kemeja merah muda, dipadu dengan celana cinos warna cokelat. Sembari bersandar pada tiang pembatas kapal, saya terus melayangkan pandangan pada apapun yang ada di sekitar saya. Tiba-tiba, dengan keadaan saya yang hanya sendiri, saya berharap akan ada seseorang yang mengajak saya berbincang malam ini.

Saya kembali melirik sekilas seseorang tersebut. Kali ini, perhatiannya tertuju pada hamparan pekat di sekelilingnya. Sementara saya berpikir: betapa mengerikannya jika mesin kapal ini rusak, atau nahkoda yang tiba-tiba membawa kapal ini berlabuh pada sebuah pulau tak berpenghuni di tengah Selat Sunda ini. Ah, saya jadi bergidik.

“Tujuannya mau ke mana, Mas?” Saya tersentak. Tiba-tiba, seorang bermata teduh itu telah berada lebih dekat dari saya. Saya benar-benar tak menyangka mendapati seorang asing membuka perbincangan pada saya. 

“Jakarta…,” jawab saya.

Lalu, kami memulai perbincangan hangat. Dari pengamatan saya, secara sekilas, lawan ngobrol saya ini adalah seorang yang cerdas, itu terlihat dari caranya bertutur. Malam ini, ia mengenakan setelan jeans dan dipadu dengan swet shirt berleher kura-kura. Sementara tas Jansport hitam menempel di punggungnya.

Dari perbincangan kami, saya menjadi tahu bahwa ia adalah seorang penggemar Chuck Palahniuk yang mengabdi sebagai jurnalis. Saya jadi teringat, selain dia, saya juga memiliki dua orang rekan yang memiliki kecintaan sama pada Chuck Palahniuk.

Kami berbincang sampai beberapa saat. Hingga kemudian, saat kami kehabisan topik perbincangan, saya kembali menyibukkan perhatian pada hamparan pekat di sekeliling saya. Saya coba menerawang jauh ke depan. Bisa saya saksikan sebuah garis berkerlap-kerlip keemasan tampak seperti membelah batas antara langit dan lautan. Saya menebak bahwa kapal ini tak lama lagi akan segera berlabuh, mengingat, garis keemasan yang saya perhatikan itu adalah pijaran lampu-lampu di sekitar bibir lautan ini.

Lalu, saya berusaha melongokkan kepala menuju hamparan lautan sembari tangan saya menggenggam erat pada tiang pembatas. Terlihat jelas oleh saya, beberapa sekoci tampak bertaburan di sekitar kapal yang kami tumpangi. Pijaran lampu berwarna keemasan tampak membikin sekoci itu terlihat indah di mata saya. Entah mengapa, sejak itu saya jadi berpikir, kelak, saya ingin menaiki sekoci tersebut di tengah kegelapan malam seperti saat ini.

“Ngeliat sekoci itu, gue jadi kepengen naikinnya.” Lagi-lagi, saya dibikin tersentak oleh ‘teman perjalanan’ saya tersebut.

“Oh, ya? Kok bisa sama, sih?” ujar saya. “Gue juga pengen, kelak bisa naik sekoci di tengah malem. Gue cuma pengen tahu rasanya. Ah, pasti mendebarkan banget,” tambah saya.

Mendengar saya, ‘teman perjalanan’ saya tersebut tersenyum hangat. Ia seperti menyetujui tentang pernyataan saya. Banyak hal yang kami perbincangkan sepanjang perjalanan, hingga kemudian kapal yang kami tumpangi memekikkan terompet sebanyak 3 kali, menandakan kapal akan segera berlabuh.

Saya, perlahan bersiap-siap turun. Hal yang sama juga dilakukan oleh ‘teman perjalanan’ saya tersebut. Memang, hal yang menyenangkan adalah ketika mendapat teman baru saat dalam perjalanan. Namun, hal yang membuat hati ‘sesak’ adalah saat harus berpisah dari ‘teman perjalanan’ tersebut.

Dan, hal yang paling menggelikan, sejak tadi, kami lupa saling mengenalkan nama. Namun, ‘teman perjalanan’ saya itu segera mengejar saya yang hendak menaiki bus yang saya tumpangi. Lalu, ia mengulurkan kepada saya sebuah kartu nama berwarna hijau muda. Saya berterima kasih padanya, dan berjanji akan menghubunginya segera. 

Kami pun berpisah.[]

1 komentar:

Cleopatrez mengatakan...

tambahin isi perbincangannya donk, biar seru *kepo mode: on*