Bulan Putih #1

Jumali Ariadinata




Kepergian kami untuk meninggalkan rumah penuh kenangan yang tepat berada di tengah kota metropolitan Jakarta, sangat membuatku kacau. Sebab semua ini kami lakukan demi mamaku tercinta. Aku, Mas Al dan Dinar adikku ingin membantu sosok Mama untuk menghapus tuntas semua luka pedih dihatinya.

Sungguhlah hatiku ini selayaknya digores dengan selenjar belati setiap kali mengingat momentum beberapa tahun silam. Ayahku yang kami nilai selama ini sangat baik, penuh kasih pada keluarga, kini menikah lagi tanpa ijin dari Mama dan kami sebagai anak-anaknya. Dan yang lebih memilukan, perempuan yang sangat aku benci karena merebut Ayah dari Mama adalah sepupu Mamaku sendiri.

Menyebut namanya saja sebenarnya aku tidak sudi, apalagi menerima sosoknya untuk menjadi istri kedua Ayah, aku janji dalam lubuk hatiku yang paling dalam, tidak akan pernah rela menerima wanita itu sebagai istri Ayahku. Aku janji tidak akan pernah sudi, hingga namaku tertulis di batu nisan pun aku tidak akan pernah rela, sebab istri Ayah hanya Mama, wanita tegar yang telah melahirkan aku, mas Alfrino dan Dinar adik perempuanku.

Aku tidak habis pikir, sungguh teramat teganya perempuan itu membalas kebaikan Mama dengan cara yang laknat seperti itu. Mama mengajak perempuan itu jauh-jauh dari Sumatera ke Jakarta agar dia mendapat pekerjaan yang layak, serta agar dapat membantu perekonomian keluarganya di kampung.

Tapi ternyata, hingga malam itu kepahitan kembali menimpa hidup kami, terutama Mama. Pasalnya malam ketika itu sosok anak perempuan yang masih berusia balita dikenalkan pada kami. Aku baru tahu kalau selama ini aku mempunyai sosok adik lain.

Aku sangat benci dengan Ayah tapi rasa cintaku padanya jauh lebih besar, aku sangat menghormatinya. Tanggunag jawabnya terhadap kami sebenarnya tidak berkurang. Rumah baru yang kami datangi ini adalah sebuah hadiah khusus dari Ayah untuk Mama, entah apa maksud yang sebenarnya. Dan yang lebih aneh hampir disetiap sudut-sudut ruangan terpajang foto-foto Ayah dan Mamaku, aku sebenarnya tidak tahu pasti apa sebenarnya maksud Ayah, tapi mungkin Ayah ingin mengurangi rasa sakit hati mama akibat dilukai dengan tingkahnya itu.

Di tempat lain dengan kawasan yang sama yaitu di daerah Jakarta, sekitar beberapa kilometer dari rumah baru kami, Ayah mendirikan rumah untuk perempuan itu diatas tanah yang seharusnya menjadi hak Mama. Akan tetapi menurut informasi yang kami dapat, rumah yang didirikan ayah untuk perempuan itu jauh lebih kecil dari rumah kami. Tapi hatiku tetap ada perasaan tidak ikhlas, karena hak yang seharusnya menjadi milik mama sudah dirampas.

*

Menurut pandangan Dinar adikku, sebenarnya perhatian Ayah banyak tercurah untuk aku dan mas Al. Menurut penuturan teman-teman sekantornya, Ayah sering menyebutku sebagai anak yang berbakti, cerdas dan bisa diandalkan untuk menjadi harapan keluarga.

Kalau Mas Al, barangkali karena anak sulung, semua yang Mas mau selalu dipenuhi oleh Ayah, sayangnya Mas Al kurang bertanggung jawab atas semua pemberian Ayah. Mobil baru yang dibelikan ayah tidak pernah nongkrong di garasi rumah, malah mobil tersebut dia pergunakan untuk sibuk mengantar-jemput pacar dan teman-temannya. Sehingga karena di manja oleh ayah, Mas Al jadi sosok anak yang memberandal. lulus SMA dia memang sengaja tidak mau melanjutkan kuliah karena tahu bahwa Ayah bakal kecewa. Karena itu Mas Al memang sengaja ingin menyakiti hati ayah atas perbuatan Ayah yang menduakan Mama.

*

Sebenarnya aku sadar bahwa ada yang salah dalam keluarga ini. Tapi aku merasa semua merasa seolah-olah baik-baik saja dan cenderung mencoba mencari aman. Hingga maut yang pada akhirnya telah menjemput Ayah.

Sebelum maut menjemput beliau, Ayah sempat berkata padaku, dia ingin aku menjaga dan membiayai sekolah buah hatinya dari isteri keduanya. Jika memang Tuhan memberi tahu kalau itu adalah pesan terakhir ayah, barangkali secepat kilat aku akan bilang “Tidak mau!”

Dan aku selalu tidak kuasa melarang sosok bocah cilik buah hati ayah dan isteri keduanya itu mencium ayah untuk terakhir kalinya, sedangkan aku hanya bisa menangis histeris dalam hati, sedang mataku tampak basah dan berkaca-kaca.

“Ya Tuhan, tolong aku untuk bisa memaafkan”

Kemudian kutatap mata bening bocah itu. Tampak kulihat ada rasa takut pada mata itu. Sebenarnya sempat terlintas rasa kasihan pada sosoknya, akan tetapi rasa itu secepat kilat kembali berubah benci begitu mataku beradu pada mata ibu bocah itu.

Bersambung...


Tidak ada komentar: