Catatan Kecil Zuma: Revelations


Menjadi seorang yang cupu dan pemalu adalah sesuatu yang benar-benar harus kuhindari. Sebab jika dalam diriku memiliki kriteria itu, aku akan sulit untuk menjadi sosok remaja yang terbuka dalam sebuah pergaulan. Aku yakin aku akan banyak menemui keterbelakangan dalam sebuah pergaulan di kota ini—sebab aku pernah merasakan itu. Apalagi aku menemui banyak orang-orang di sekelilingku yang nampaknya acuh dan bahkan menganggapku terlalu “kampungan”; pernah disebut “alay” karena aku memang merasa berpenampilan selayaknya seorang yang istilahnya “kaget kota”, tidak bisa bergaul, pemalu dan tidak bisa membawa diri dalam pergaulan (baca: tidak mampu berkomunikasi dengan baik, sebab pemalu).

Semakin lama aku menyadari (baca: sadar diri!) kalau ternyata banyak orang memperhatikanku bukan karena terpukau dengan “penonjolan” diriku yang positif, tetapi malah sebaliknya. Sampai akhirnya aku benar-benar bertekad harus merubah semuanya sampai akhirnya tercetuslah sebuah motto hidupku beberapa bulan lalu; “nggak narsis itu najis!”. Aku merubahnya dengan berbagai cara; dengan sadar diri, membenahi penampilan yang (sedikit) “kaget kota”, untuk tidak lagi (sok) “jaim”, dan juga berusaha memperlancar komunikasi dengan mengikuti pendidikan non-eksak di bidang broadcasting.

Dan beberapa akhir pekan kemarin, di mana hari itu adalah akhir pekan yang tepat untuk mencari suatu intuisi. Setiap akhir pekan, aku punya beberapa waktu untuk merenungkan banyak hal yang telah aku pelajari.

Wahyu pertamaku datang sabtu beberapa pekan lalu ketika aku sedang “nongkrong” di Garmedia Merdeka sendiri. Di tempat itulah aku akhirnya bertemu dengan sahabat dunia cyber yang akhirnya menjadi sahabat akrabku, Ari—bukan nama yang sebenarnya. Kami belum pernah melihat satu sama lain dalam kurun waktu satu tahun sejak kami bertemu lewat dunia cyber, jadi kami harus banyak mengulik tentang “sesuatu” yang ada pada diri kami. Ari adalah sosok “mahasiswa abadi” (baca: selalu mencari pengetahuan baru. Meski dia sudah bukan lagi mahasiswa). Dia memiliki pengetahuan yang luas terutama dalam dunia seni, dan itu membuatku menyadari bahwa aku juga banyak tahu tentang seni. Dari situ, menjadi modalku untuk mudah “menyambungkan” pembicaraan secara seru dengan sahabatku itu.

Dari situlah aku mendapat sebuah wahyu, bahwa aku benar-benar harus menjadi sosok manusia yang tidak terbelakang dalam hal pergaulan (baca: dalam hal positif). Aku benar-benar berbangga hati telah memiliki sahabat semacam mereka (salah satunya Ari) dan sahabat nongkrong kami yang lain. Barangkali untuk saat ini dia dan sahabat “nongkrongny”-lah yang telah berjasa membuatku semakin percaya diri dalam dunia pergaulan. Sebab sekarang aku sadar dan mencoba untuk membiarkan orang-orang yang merasa tak nyaman berada di dekatku dengan sikap tanpa lagi pilu. Membiarkan semua orang yang menganggapku “kampungan” dengan sikap tanpa lagi mengeluarkan sebuah “kutukan” dalam hati.

Sebab, akhirnya aku menyadari, betapa beruntungnya aku memiliki teman-teman mendukung. Aku bergaul dengan berbagai orang seperti akhir beberapa pekan lalu, dan mereka yang menakjubkan. Aku punya teman yang tidak akan pernah menilai bagaimana aku, tidak peduli betapa aku adalah seorang yang “aneh”. Aku punya teman yang akan selalu muncul pada akhir pekan, bahkan jika hanya untuk mengatakan “hi”. Dan aku punya teman yang membuatku benar-benar dihibur di sebuah tempat-tempat “nongkrong” dengan perbincangan-perbincangan yang tanpa menyudutkan dan memperolok “keanehan”-ku. This is an amazing revelation for me.

Tidak ada komentar: